Cari Blog Ini

Minggu, 26 Januari 2014

TENTANG SYI'AH - BAGIAN IV

Pokok-pokok ajaran Syi’ah adalah (sejak Abad pertama Islam dan dengan segala perkembangannya):

  Imam sesudah Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - adalah Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ‘anhu, bukan Abu Abakar Ash Shiddiq rodhiollohu ‘anhu.

  Keyakinan akan keutamaan bahkan sebagian darinya menyebut akan kejelma-tuhanan Kholifah ’Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, yang dideklarasikan ‘Abdullah ibnu Saba’ dan pengikutnya (yang pengikutnya akhirnya dihukum mati oleh Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - sendiri namun ’Abdullah bin Saba’ melarikan diri) sebagai sekte paling ekstrem dari Syi’ah, yakni Ghulat atau Ghula’iyyah, dan aksi disebut-sebut sebagai cikal-bakal Syi’ah, walau berbagai sekte Syi’ah generasi berikutnya tak lagi sampai menuhankan .

  Keyakinan pengutamaan Ali - rodhiollohu ‘anhu - terhadap Abu Bakar - rodhiollohu ‘anhu - dan Umar - rodhiollohu ‘anhu - (yang  Ali - rodhiollohu ‘anhu - sendiri  memutuskan hukuman cambuk kepada kaum yang meyakininya).

  Di antara keyakinan orang Syi’ah adalah pengharaman bermuamalat dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah kecuali dengan bentuk taqiyyah, melaknat kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang telah wafat, dan dilarang membayar zakat kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah (lihat ”Haqiqah as-Syi’ah Hatta la Nankhadi” karya ‘Abdullah al-Musili).    

  Keyakinan bahwa  Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan para Imam mengetahui rahasia ghaib masa lalu dan akan datang (di Kitab Syi’ah Al Kafi Jilid I hal 261), Imam mereka ma’shum (suci dari dosa dan tak dapat berbuat salah) bahkan dapat menentukan waktu kematian mereka (di Kitab Syi’ah ”Al Kafi” Jilid I hal 258), dapat menghidupkan orang mati (di ”Kitab ’Uyun al Mu’jizat”, hal 28), semua makhluk diciptakan untuk para Imam (Kitab ”’Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul ad-Din”, Jilid II, hal 597).

  Para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum Hari Kiamat untuk membalas dendam kepada para perampas hak keKholifahan muslim (Kholifah Pertama Abu Bakar As Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, Kholifah Kedua Umar bin Khottob - rodhiollohu ‘anhu -, dan Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -). Syi’ah percaya kepada kaidah ”Ar-Raj’ah” atau kembalinya roh-roh ke jasad masing-masing (reinkarnasi a la Syi’ah) di dunia sebelum Kiamat saat Imam Mahdi ghaib mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali - rodhiollohu ‘anhu - dan anak-anaknya untuk membalas dendam. Mengenai Raj’ah ini dapat dilihat di ”Firaq al-Islamiyah” halaman 207-208.

  Keyakinan untuk mencaci maki, menghujat, dan membenci (tasyayyu’) para sahabat Nabi  - shollollohu ‘alaihi wasallam - (terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, Umar bin Khottob - rodhiollohu ‘anhu -, dan Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -) dan keluarganya termasuk istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -.

Antara lain disebutkan di ”Dirasat Fil Ahwa’ wal Firaq wa Mauqifus Salah Minha” hal 237, oleh DR Nashir bin Abdul Karim, juga Ash-Shafy dalam Tafsir Al Quran Jilid V, hal 28, ”Ni’matullah al-Jazairy” dalam kitab Al-Anwar an-Nu-maniyah Jilid I hal 53, dan 63, lalu Zainudin al-Bayadhy di Kitab ”Ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim” Jilid II hal 30, dan 129, kemudian Al-Majlisy dalam Kitab ”Bihaar al-Anwar” Jilid XXX hal 237 dan di ”Mir’ah al-”Uqul” halaman 488, serta di dalam Kitab ”Tafsir al’Iyasi” (1/21), al-Barahan (2/208), dan ”ash-Shafi” (1/242).

  Syi’ah beranggapan Tuhan dari kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah berbeda dari tuhan mereka (Kitab ”Al Anwar An-Nu’maniyah”, Jilid I, hal 278 karangan Ni’matullah al-Jazairy) dan orang-orang dari golongan Rafidhah mereka (yang sekarang mendominasi Syi’ah), mengkafirkan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Kitab ”Minhaj an-Najah” hal 48 karangan Al-Faidl al Kasyany)

  Syi’ah meyakini bahwa para sahabat - rodhiollohu ‘anhu - sepeninggal Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - menjadi murtad, kecuali Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari, dan Salman Al Farisy (disebutkan di kitab Syi’ah, Ar-Raudhah minal Kafi, Juz VIII hal 245 dan Al-Ushul minal Kafi, Juz II hal 244).

  Rukun Imannya adalah:

(1) Tauhid (keesaan Allah)
(2) Al ’Adl (keadilan Allah)
(3) Nubuwwah (kenabian)
(4) Imamah (keimaman)
(5) Ma’ad (hari kebangkitan dan pembalasan) yang disebutkan di Al ’Aqaidatul Imamiyah oleh Muhammad Ridho Mudzaffar.

  Dan rukun Islamnya:

(1) Shalat
(2) Zakat
(3) Puasa
(4) Haji
(5) Wilayah (perwalian)
  • Syi’ah menggunakan senjata Taqiyyah (berbohong) dengan cara menampakkan sesuatu yang berbeda, untuk mengelabui lawannya (termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah), bahkan dengan makar, tipu muslihat dan permusuhan. Sesuatu yang amat serupa dengan taktik Yahudi.
  Syi’ah percaya akan (kaidah) ”Al Bada’” yakni bahwa baru tampak bagi Allah akan keimaman Ismail (anak Ja’far Ash-Shadiq, imam ketujuh Syi’ah) setelah sebelumnya tidak. Allah dapat salah, namun Imam adalah ma’shum.

  Syi’ah membolehkan melakukan Nikah Mut’ah (nikah atau hubungan seks kontrak berjangka waktu tertentu yang  disepakati tak untuk selamanya yang pelaksanaannya sangat berbeda persyaratannya dengan pernikahan biasa, bahkan dapat telah ditentukan waktu cerainya sebelum menikah.

Antara lain disebutkan di ”Tafsir Minhajus Shodiqin”, Juz II, hal 493) yang telah diharamkan oleh Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - sendiri yang bahkan diriwayatkan oleh Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - sendiri selain para sahabat lain, di berbagai Hadits.

Bahkan menurut mereka Mut’ah adalah pengganti larangan minuman khamr (disebutkan di ”Ar-Raudhah min al-Kafi” halaman 151 dan ”Wasa’il asy-Syi’ah” (14/438) dan bagi yang tak pernah melakukan mut’ah, akan datang pada hari Kiamat dengan tangan dan kaki yang putus, serta bahwa yang melakukan mut’ah sebanyak empat kali maka sama derajatnya dengan derajat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - (disebutkan di ”Manhaj ash-Shodiqin” halaman 356 karya Fathullah al-Kasani).

“Mut’ah itu adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Yang mengamalkannya, mengamalkan agama kami dan yang mengingkari nya mengingkari agama kami, bahkan ia memeluk agama selain agama kami. Dan anak dari mut’ah lebih utama dari pada anak istri yang langgeng. Dan yang mengingkari mut’ah adalah kafir murtad.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.356)

“’Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang mut’ah dua kali dimerdekakan dua pertiganya dari api neraka dan yang melakukan mut’ah tiga kali dimerdeka kan dirinya dari neraka.”

Ayatullah Khomeini juga berkata: “Semua bentuk menikmati, seperti meraba dengan penuh syahwat, memeluk , dan adu paha boleh walaupun dengan bayi yang sedang menyusui”. Tahrirul Wasilah 2/216.

  Ziarah ke makam Imam Husain adalah lebih utama daripada Haji ke Baitullah (Kitab Wasail asy-Syi’ah, karangan Al-Hurr al-Amily, Jilid I, hal 371).

  Al Quran yang sesungguhnya yang ditulis oleh Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ’anhu menurut kaum Syi’ah akan dibawa Imam Mahdi versi Syi'ah- yang sedang bersembunyi sejak lahir ratusan tahun lalu - pada akhir jaman nanti (”Ma Ba’da azh-Zhuhur” halaman 637 yang ditulis Muhammad Shadiq ash-Shadr dan ”Yaum al-Khalash” halaman 373 serta Kitab al-Ghaibah halaman 318) dan bahwa Al Quran telah diubah (lihat ”Al Fashl fi al-Ahwa’ wa al-milal wa an-Nihal” 5/182 dinukil dari al-Jama’at al Islamiyyah oleh Salim al-Hilali halaman 246).

  Perbedaan keyakinan akan Imam Mahdi:
  • Mahdi bagi Ahlus Sunnah Al Jama’ah bernama Muhammad bin ‘Abdullah (keterangan dari Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - riwayat Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzy, dishahihkan oleh Al Albani dalam Myskat al Mashabih).
Beliau dari keturunan Hasan bin Abi Thalib, belum dilahirkan, muncul dari arah Timur, memenuhi Bumi dengan keadilan (Shahih Sunan Abu Dawud 4/82) dan kesejahteraan selama 7 atau 8 tahun, menegakkan syari’at Islam, memakmurkan Bumi (Bumi mengeluarkan tetumbuhan, langit menurunkan hujan, ada harta-benda yang banyak, banyak binatang ternak, umat semakin mulia).

Beliau memerangi Yahudi dan Nasrani dan beserta Nabi ‘Isa ’alaihis salaam akan membunuh Dajjal.
  • Sedangkan Imam Mahdi Syi’ah adalah Muhammad bin Hasan Al Asykari
Beliau dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Tholib, yang telah dilahirkan tahun 255 Hijriyyah dan sampai sekarang masih hidup namun bersembunyi (Kitab ”Al-Ghummah” Jilid II, hal 236, oleh Al-Arbaly dan dikuatkan Syaikh mereka Abdul Hamid Al-Muhajir), muncul dari Sirdab Samira’, akan tinggal di Bumi selama 70 tahun untuk membalas dendam, menegakkan hukum keluarga Dawud (Bani Israil), akan menyeru keAllahdengan nama Ibraninya (Kitab ”Ushul Al Kafi” Jilid I, hal 398), menghancurkan semua Masjid (Kitab ”Al Gharib” hal 247 oleh Ath-Thusy).

Ia berdamai dengan Yahudi dan Nasrani, dan menghalalkan darah muslim (Kitab ”Bihar al-Anwar”Jilid 52 hal 376). 
Doktrin Mahdiyah (perihal al-mahdi) dan Raj’ah (kedatangan kembali) dihubungkan dengan status Imam Mastur (bersembuyi) yang dipercaya akan muncul kembali sebagai Mahdi yang membangun kerajaan Allah menjelang hari Kiamat kelak.

Ajaran ini bagi sebagian kalangan ditengarai memiliki akar dalam ajaran agama Zarathustra yang dianut bangsa Persia sebelum kedatangan Islam yang datang ke Persia pada masa Kholifah Umar bin Khoththob - rodhiollohu ‘anhu -.

Dari berbagai buku itu, berikut ini adalah sedikit tentang para penulis buku Syi’ah:

Al-Kulaini, Ia adalah pengarang kitab “Al Kafi”. Kitab tersebut di kalangan Syi`ah setaraf dengan kitab Shahih Bukhori Muslim di kalangan Ahlus sunnah. Di yakininya bahwa di dalam kitab itu terdapat 16199 buah hadits. Dan hadits sohih yang diriwayatkan dari Rosululloh Shallallahu Alaihi wa sallam (pengakuannya) kira-kira 6000 buah hadits. Dan kenyataannya di dalam kitab tersebut banyak terdapat hal-hal yang khurafat dan palsu.

Muhammad Baqir bin Syeikh Muhammad Taqiy “al-Majlisi”
Ia adalah pengarang kitab “Haqul yakin”, yang mengatakan bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawwiyah, Aisyah, Hafshah, Hindun dan Ummul Hakam – rodhiollohu ‘anhum - adalah makhluk yang paling jelek di muka bumi, mereka itu adalah musuh-musuh Alloh.

Ayatulloh Khumaini (Khomeini)
Sosok yang satu ini adalah salah satu tokoh Syi`ah kontemporer, pemimpin revolusi Syi`ah di Iran di Abad XX MAsehi, yang mengendalikan roda pemerintahan. Ia mengarang buku “Kasyful Asror” dan “Pemerintahan Islam”.
Ia pernah mengatakan bahwa agama Ahlus Sunnah belum sempurna, mengkafirkan Ahlus Sunnah, menghalalkan harta dan darah Ahlus Sunnah. Ia hendak memusnahkan golongan Sunni di Iran dan tidak memberikan kesempatan apapun pada golongan ini, sehingga nantinya hanya tinggal nama dan catatan sejarah semata-mata.

Padahal dari semua ini, jelas sekali:

Imam Ali bin Abu Thalib (radhiyAllahu 'anhu) berkata: "Rasulullah memanggilku dan mengatakan kepadaku: 'Engkau sama dengan Isa, orang-orang Yahudi membencinya sampai mereka memfitnah ibunya, dan Nasrani mencintainya sampai mereka menempatkannya dalam kedudukan yang tidak semestinya."

"Berkenaan denganku, ada dua golongan yang akan hancur, yaitu mereka yang mencintaiku berlebihan dan cinta membawanya jauh dari kebenaran, dan mereka yang membenciku berlebihan dan kebencian membawanya jauh dari kebenaran. Sesungguhnya, aku bukan seorang nabi, dan tiada apapun yang diwahyukan kepadaku. Tapi aku berjalan dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya (Shallallaahu 'Alaihi Wasallam) semampu yang aku bisa. Jadi apapun yang kuminta kepadamu dalam hal mentaati Allah, itu adalah kewajibanmu untuk mematuhiku, tak peduli kau suka atau tidak."

[Musnad Ahmad & Nahjul Balagha, khutbah 127]

Kaum Syi’ah juga menciptakan Maulid Nabi.

Tentang Maulid Nabi:



Al Imam Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa yg pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah Al ‘Ubaidiyyah yg dinasabkan kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi-.

Mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H - 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama jenis Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah (Al Bidayah Wan Nihayah 11/172).

Demikian pula yg dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490. (Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 43)

Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara pakar sejarah (tarikh) ada yang menilai, bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad IV H. Mereka menyelenggarakan ENAM jenis perayaan maulid, yaitu:

1) Maulid Nabi
2) Maulid Imam Ali Radhiyallahu ‘Anhu
3) Maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra,
4) Maulid Al Hasan
5) Maulid Al Husain
6) Maulid raja yang sedang berkuasa.

Aneka perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, versinya, hingga akhirnya DILARANG pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy.

Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ hal. 126)

===+++===+++===

Kesimpulan:

Perayaan ini TIDAK PERNAH ada di masa Nabi, dan TIGA GENERASI PERTAMA TERBAIK YANG JELAS DIJAMIN ALLAH sebagai YANG TERBAIK yakni kaum Shahabah, Tabi'iin dan Tabi'ut Tabi'iin (termasuk para Ahlul Bait/keluarga Rosululloh shollollohu 'alaihi wasallam di masa-masa ini) yg tentunya mereka lebih tahu, paham, dan lebih CINTA kepada Rosululloh Shollollohu 'alaihi wasallam.

Justru kaum Syi'ah dengan segala firqoh (pecahan aliran) nya lah ternyata yg memprakarsainya. Sedangkan dari sejarahnya, 'aqidah mereka ini amat dipengaruhi kaum Yahudi (terutama melalui 'Abdullah bin Saba) dan Persia termasuk mistisme dan filsafat  Jadi, Maulid Nabi sebenarnya adalah 'sunnahnya' kaum Syi'ah yany berkali-kali mengkhianati kaum muslimiin itu hingga kini.

Tidak pula ada anjuran tercatat tentang ini Al Quran dan As Sunnah-Al Hadits.

Bahkan sebenarnya belum ada hasil penyelidikan sejarah yang pasti dan diterima semua pihak pakar, bahwa hari lahir Rosululloh shollollohu 'alaihi wasallam adalah di 12 Robi'ul Awwal. Yang jelas ada dicatat di Hadits adalah bahwa beliau - shollollohu 'alaihi wasallam - dilahirkan di hari Isnin/Senin.

Maka jelas kebiasaan ini didirikan dinasti Fathimiyyah Mesir. Di antaranya para pakar Tarikh (Sejarah) menduga bahwa ini juga untuk menandingi perayaan Natal (perayaan kelahiran Yesus) yang juga marak di sana dan bahwa di saat-saat itu mereka hendak diserang tentara Tartar-Mongolia, maka mereka mencoba menggunakan memori tentang Rosululloh shollollohu 'alaihi wasallam guna membangkitkan semangat rakyatnya.

Lalu apakah jika dengan tidak merayakan maulid nabi lantas kita berarti tidak mencintai, tidak mengingati memori tentang Rosululloh shollollohu 'alaihi wasallam?

Tidak.

Karena justru beliau dan PARA NABI (seluruh 124.000 nabi dalam Islaam) - shollollohu 'alaihi wasallam - tidak merayakan ulangtahunnya.

Dan cara paling aktual dan paling benar bagi kita dalam mengingati memori dan mencintai beliau - shollollohu 'alaihi wasallam - adalah dengan setiap saat melaksanakan semua kemauannya, petunjuknya, sunnahnya; dengan cara yang jelas diridhoi ALLAH.

Sebaik-baiknya.

Aneka tindakan yang dilakukan dalam berbagai VERSI perayaan maulid banyak pula - sayangnya - yang menyimpang, dan diada-adakan, yang bahkan tidak ada petunjuk pelaksanannya dalam Al Quran dan Al Hadits, sedangkan ini dapat dimaknai sebagai ibadah bagi mereka yang merayakannya.

Maka Rosululloh - shollollohu 'alaihi wasallam - dan Nabi manapun jelas tidak pernah tercatat merayakan 'Happy Birthday' atau 'Birthday party' nya, juga dengan cara-cara seperti yang dikenal luas kini dalam apa yang dikenal sebagai 'perayaan maulid nabi' (dengan berbagai versinya).

TIDAK JUGA ini dilakukan oleh semua Ahlul Bait (keluarganya) beliau dan para Sahabatnya, Tabi'innya, dan Tabi'ut Tabi'iinnya di masa-masa itu.

Padahal kaum mereka inilah yang DIJAMIN SEBAGAI YANG TERBAIK SEPANJANG MASA oleh ALLAH di berbagai ayat Al Quran dan As Sunnah-Al Hadits.

Merekalah yang MENGENAL, melihat langsung, diajari langsung oleh Rosululloh shollollohu 'alaihi wasallam dalam segala hal sisi kehidupannya.

Dan telah puka terbukti sebagai orang-orang yang mulia dan sukses.

Dijamin pula masuk Surga.

Kita yang hidup jauh dari masa mereka pun dijamin diderajatkan SAMA seperti mereka, JIKA sudi melaksanakan CONTOH sunnah apa-apa yang mereka telah laksanakan. Jaminan ini jelas ada di berbagai kaidah Al Quran dan As Sunnah-Al Hadits.

Bukan dengan cara yang kita buat sendiri. Sebaik apapun kita kira itu. Karena kita tidak diberikan mandat membuat suatu bentuk ibadah. ALLAH melalui para nabilah yang berhak menentukannya.

Siapalah kita ini?

Demikian kiranya.

Mari bersholawat dengan teks yang benar sesuai Hadits:

Allohumma sholli 'ala Muhammad, wa 'ala azwajihi wa dzurriyatihi. Kama sholaita 'ala Ibrahim.

Wa baarik 'ala Muhammad, wa 'ala azwajihi wa dzurriyatihi. Kama barokta 'ala Ibrahim.

Dan marilah kita memohon ampunan Allah dan memuja Allah:

Astaghfirulloh.

Wallohua'lam. Walhamdulillah. Wa laa ila ha illallah. Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.

Laa ilaa ha illallah wahdahu laa syariikalahu, lahul mulku, wa lahul hamdu, wa huwa 'alaa kulli syai'in qodiir.



Dan diambil dari situs mengenai Syi’ah yang menggunakan berbagai rujukan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Syi’ah sendiri serta Sejarah, yakni Situs Web yang bernama “Hakekat” dan beralamat web di  http://www.hakekat.com yang ditulis oleh Husain al Musawi yang dulu adalah tokoh Syi'ah di Iran dan kemudian menjadi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dengan sejumlah perapian struktur  dan komentar terhadapnya namun in syaa Allah tidak mengubah makna:


Yang 'Aneh Tapi Nyata' dari Syi'ah


Batasan aurat (versi Syi'ah)

Karaki berkata bila kamu menutup kemaluanmu maka benar-benar telah menutup aurat (Al Kaafi 6/501 Tahdzibul Ahkam 1/ 374), sedangkan pantat, yang diangap aurat adalah lobang dubur, bukan dua pantat, dan paha juga bukan termasuk aurat.

Shodiq AS berkata bahwa, “Paha tidak termasuk aurat”, bahkan Imam Syi’ah, Al Baqir As, telah mengecat auratnya dan membalut lubang kemaluannya (Jamial Maqosid Lilkaraki 2 / 94. Al Mu’tabar karangan Al Hulli 1 / 222 Muntaha Tolab 1/39, Tahrirul Ahkam1/202,semuanya karangan Al Hulli Madarikul Ahkam 3/191)

Abu Hasan Al Madhi:

“Bahwa aurat itu hanya ada dua yaitu lubang depan dan lubang belakang, lubang belakang sudah ditutup oleh pantat, apabila kamu telah menutup keduanya maka berarti telah menutup auratnya, karena selain itu bukan tempat najis, maka bukanlah aurat, seperti betis”.( Al Kaafi 6 / 51, Tahzibul Ahkam 1/374 Wasa’ilusyiah 1/365 Muntaha Tolab 4/269 Al Khilaf karangan Tusi 1/396).

Dari Abu Abdullah As berkata:

“Paha tidak termasuk aurat” (Tahdhibul Ahkam 1/ 374, Wasa’ilusyiah jilid 1 hal 365).

Kotoran para imam menyebabkan masuk surga

Kotoran dan air kencing para imam bukan sesuatu yang menjijikan dan tidak berbau busuk, bahkan keduanya bagaikan misik yang semerbak. Barang siapa yang meminum kencing,darah dan memakan kotoran mereka maka haram masuk neraka dan wajib masuk surga

(Anwarul Wilayat Liayatillah Al Akhun Mulla Zaenal Abiding Al Kalba Yakani : th 1419 halaman 440).

Maka silahkan saja para Syi’ah menikmati ini semua.

Kentut dari imam bagaikan bau misik

Abu Jafar berkata : “ciri-ciri Imam ada 10:

- Dilahirkan sudah dalam keadaan berkhitan.
- Begitu menginjakkan kaki di bumi ia mengumandangkan dua kalimat syahadat.
- Tidak pernah junub.
- Matanya tidur hatinya terbangun.
- Tidak pernah menguap
- Melihat apa yang di belakangnya seperti melihat apa yang di depannya.
- Bau kentut dan kotorannya bagaikan misik.

(Al Kaafi 1/319) Kitabul Hujjah Bab Maulidul Aimmah)

Ayatullah Khomeini memperbolehkan menyodomi istri-istri

Dalam kitab Tahrirul Wasilah hal 241- masalah ke 11. Khumaini berkata : “pendapat yang kuat dan terkenal adalah diperbolehkan menyetubuhi istrinya lewat lubang belakang walaupun hal itu sangat dibenci”.

(*) Maksud dari "lewat belakang" adalah melakukannya melalui lubang dubur/lubang pantat atau anus. Padahal Rosululloh shollollohu 'alaihi wasallam bersabda: “Terkutuklah siapa-siapa yang menyetubuhi isterinya lewat duburnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).”


Meminjamkan istri itu untuk ditiduri orang lain itu diperbolehkan

Diriwayatkan oleh Thusi dari Muhamad bin Abi Jafar berkata dihalalkan bagi saudaranya Farji istri-istrinya ia berkata boleh-boleh saja boleh bagi temannya seperti boleh bagi suami terhadap istri sendiri.

(Kitabul Istibhsor 3/136)

Diperbolehkan menikmati bayi secara seksual

Khumaini berkata:

“Semua bentuk menikmati, seperti meraba dengan penuh syahwat, memeluk, dan adu paha boleh walaupun dengan bayi yang sedang menyusui”. Tahrirul Wasilah 2/216.

Al Khui memperbolehkan seorang laki-laki memegang-megang atau bermain dengan aurat laki-laki lain atau wanita bermain dengan alat kelamin wanita lain bila sebatas gurau dan canda sebatas tidak menimbulkan syahwat.

(Sirotunnajah fi Ajwibatil istifta’at jilid 3)

Nasehat dari kami kepada kaum beriman, terutama kaum perempuannya, berhati-hatilah bergaul dengan para pengikut Al Khui yang ternyata, ‘suka bercanda’ dengan aurat perempuan ini.

Diperbolehkan melihat sesuatu yang diharamkan dari kaca

Mereka memperbolehkan melihat kelamin banci mana yang lebih menonjol untuk kepentingan warisan, mereka berkata ia boleh melihat dengan cermin, yang dilihat adalah bayangan, bukan kemaluannya.

(Al Kaafi 7-158).

Jadi melihat kelamin atau aurat banci atau bencong, diperbolehkan Syi’ah, melalui cermin. Dan ini mungkin akan sangat menyenangkan kaum Homoseks atau Gay.

Muhammad Husein Fadhlullah memperbolehkan melihat wanita-wanita yang sedang telanjang.

Fadhlullah berkata pada kitab Anikah juz 1 hal 66:

Seandainya wanita-wanita itu telah terbiasa keluar dengan berpakaian renang maka diperbolehkan melihatnya. Sama juga halnya melihat aurat yang dibuka sendiri oleh si perempuan, seperti di nude club atau kolam renang, pantai dan sebagainya.

Aku (penulis ini adalah Husein Musawi salah satu tokoh Syi'ah yang kemudian bertobat) bertanya pada diriku sendiri : Agama apakah ini? Jika anda bertanya : Apakah boleh seorang laki-laki menyetubuhi seorang perempuan, lalu membiarkan perempuan itu pergi ke pelukan laki-laki lain hanya dengan sekedar mengucapkan beberapa kata tentang harga dan waktu atau tentang berapa kali, atau kaliamt “ aku mut’ahkan diriku kepadamu” (matta’tuka nafsi) tanpa saksi atau wali? Tanpa perlu mempersoalkan apakah perempuan itu memiliki suami ataukah dia itu pelacur? pasti akan dijawab berdasar pada sumber yang terkuat dan terpercaya: boleh, silahkan lihat kitab Al Kafi jilid 5/540.


Diperbolehkan mut’ah dan bercumbu dengan anak gadis bila sudah berumur 9 tahun –dalam riwayat lain 7 tahun- dengan syarat tidak memasukkan kemaluannya ke kemaluan anak perempuan itu karena ditakutkan menjadi aib bagi keluarganya (karena sudah tidak perawan lagi)

(Al Kafi jilid 5 hal 462)

Jadi ini dilarang, bukan karena haraam dan bukan karena tidak sesuai dengan akhlak mulia, yang ini justru tidak dikenal dalam Islam. Dan setelah membaca ini silahkan anda membayangkan masa depan akhlak dan perilaku anak perempuan yang dalam umur sekecil ini telah mendapat ‘pengalaman seks” dengan melihat alat kelamin laki-laki dan melihat gerakan-gerakan sex laki-laki, sedang laki-laki itu telah melakukan segalanya kecuali jima’ (coitus), jima’ dimakruhkan dari depan saja, berarti diperbolehkan lewat belakang(anal sex).

Apakah ada orang normal yang memperbolehkan seseorang berbuat demikian pada anak perempuannya, atau saudaranya, bahkan pada seluruh anak perempuan? Cobalah membayangkan perasaan anda, jika saja sekiranya hal itu terjadi pada anak perempuan anda?

Bagaimana dikatakan bahwa yang demikian itu adalah perkataan para Imam Ahlul Bait?

Syi’ah sekali lagi, memfitnahi Ahlul Bait.


Allah mengunjungi kuburan Husein

Diriwayatkan oleh Kulaini dan lainnya bahwa Abu Abdillah memarahi orang yang mengununginya tapi tidak mau berziarah kekuburan Ali. Dia berkat : “kalau kamu itu bukan orang Syiah aku tidak pernah akan melihatmu. Mengapa kamu tidak mau berziarah ke makam yang diziarahi oleh Allah, malaikat dan para nabi?

(Al Kafi 7/580 Tahzibul Ahkam 6/20, Wasa’ilusyi’ah 14/375 Biharul Anwar 25/361 Kamiluziyarot hal 38 kitabul Mazar hal 19).

Mendengar hal ini, salah seorang sahabat Abu Abdillah berkata demikian “Demi Allah, saya berangan-angan seandainya saya menziarahi kubur Ali dan tidak pergi melaksanakan Ibadah Haji

(Al Kafi jilid 4/583).

Barang siapa haji berulang-kali maka dikunjungi Allah

Barang siapa telah berhaji lebih 50 kali maka setiap hari Jum’at dikunjungi oleh Allah.

(Faqih man la Yahdhuruhul Faqih 2/217 Wasa’ilusyi’ah 11/127 )

Meminta pertolongan dari para Nabi dan Malaikat dalam sholat

Ucapkanlah pada akhir sujudmu, “Yaa Jibril, yaa Muhammad (diulang-ulang)!! berikan saya kecukupan, sesungguhnya kalian berdua yang memberikan kecukupan dan jagalah saya dengan ijin Allah karena kalian berdua menjaga saya.”

(Al kafi 2/406)

(*) perilaku seperti ini sayang sekali juga ada terdapat pada sekelompok orang yang mengaku Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Sunni) juga terhadap mereka yang dianggapnya sebagai orang suci, Habib, Wali, dan lain-lain, bahkan Nabi, misalnya di kuburan mereka atau di tempat lain.

Ini bahkan diajarkan oleh oknum dari mereka yang mengaku sebagai Ahlul Bait, Wali, Syaikh, Kyai, dan sebagainya. Dan kemungkinan besar, setelah interaksi berabad-abad, maka memang ini terjadi karena dipengaruhi paham Syi'ah ini, yang paham Syi'ah ini, sebagaimana sejarahnya, juga dipengaruhi aneka akidah lain di luar Islam. Juga di wilayah Indonesia dan sekitarnya.


Berlindung kepada makhluk dan berbuat dengan nama makhluk

Riwayat Al Kulaini. Dari Abi Abdillah ia berkata, “Aku berlindung pada Rasulullah dari kejelekan dan kebaikan yang kamu ciptakan.”

(Al Kafi 2/391)

Dari Ali Ja’far ia berkata, “Bila seseorang sedang sakit maka ucapkanlah (dengan nama Allah, dengan Allah, dengan utusan Allah).”

(Al Kafi 2/412)

Imamah menurut Syiah Rafidhoh

Imamah adalah sebuah jabatan yang ditentukan dari Allah. Allah telah memilih seorang Nabi dan menentukannya, begitu juga Allah memilih seorang Imam dan mengangkatnya.

(Ashlus Syiah wa ushuluha hal. 58).

Maka menurut Syi’ah, Allah telah memilih Ali bin Abi Tholib, rodhiollohu ‘anhu.

Akan tetapi ternyata dalam sejarah, Ali rodhiollohu ‘anhu berkali-kali menolak menjadi Kholifah dan mengatakan  untuk  meinggalkan beliau dan mencari selain berlia dan bahwa cukuplah menjadi wakil/pembantunya, yang itu lebih baik daripada menjadi Imam/Khalifah, sampai akhirnya terpaksa menerima jabatan itu, setelah Kholifah Utsman bin Affan, rodhiollohu ‘anhu, dibunuh kaum Khawarij.

Lalu tentu pula menurut Syi’ah, Allah telah memilih Al Hasan rodhiollohu ‘anhu, cucu dari Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, sebagai Imama. Tetapi ternyata dalam sejarah yang sangat jelas, Al Hasan menyerahkan kepemimpinan/imamah kepada seseorang Sahabat yang dianggap sebagai musuh bebuyutan syiah, yaitu Muawiyah, rodhiollohu ‘anhu.

Dengan demikian, maka Ali dan Hasan, rodhiollohu ‘anhum, ternyata justru telah merontokkan prinsip Imamah Syiah, sejak dari pondasinya, sejak awal.

Kepercayaan memakan debu dan kerikil kuburan al Husain

Abas Alqummi berkata: “Para ulama melarang memakan debu dan tanah, kecuali yang berasal dari kuburan Husain. Sebatas untuk pengobatan bukan untuk menikmati dan ini hanya sebatas biji kecil, lalu diletakkan dimulut dan ditelan dengan air secukupnya sambil berdoa ya Allah berikan rizqi yang luas yang bermanfaat dan disembuhkan dari berbagai penyakit

(Mafatihul Jinan 547)

Kita pantas takut bahwa rizki yang luas itu ternyata berupa sakit keras, setidaknya karena batu-batuan itu merusak ginjal dan lain-lain organ tubuh normal manusia.

Khasiat debu Kuburan Husain adalah seperti Madu

Tanah pusara Husain menurut kepercayaan mereka berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, dan menghilangkan rasa takut, bila diminum orang yang sakit akan menjadi sembuh, bila diletakkan bersama jenazah dalam liang lahat maka dia akan aman dari siksaan kubur, bila dibawa seseorang dan dimain-mainkan maka dia mendapatkan pahala orang yang bertasbih, karena tanah itu dapat bertasbih sendiri

(Biharul Anwar 11/118/140 Amali Tusi 1/326 Wasa’ilusyi’ah 10/415 )

Abu Abdullah berkata: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan debu kakekku Husain suatu obat dari segala penyakit dan menghilangkan rasa takut, jika salah seorang kalian memegangnya, maka hendaknya dicium, diletakkan di matanya dan menyapu dengan debu itu seluruh badannya sambil berdoa : Yaa Allah, dengan hak tanah ini dan Hak yang tinggal di dalamnya.”

(Amali Tusi 1/326)

Seperti orang Kristen

Suatu ketika istri Amirul Mu’minin datang dan berkata sambil menangis:

“Wahai Amirul mu’minin sesungguhnya saya telah berzinah, maka bersihkanlah saya” Ali pun berkata dengan suara keras, “wahai para manusia sesungguhnya Allah telah menjanjikan para Nabi dan Nabi menjanjikanku untuk melarang orang yang terkena hukuman untuk melakukan hukum cambuk , dan barang siapa punya kesalahan seperti perempuan ini maka jangan ikut mencambuk.” Maka seluruh manusia yang berkumpul di situ pergi meninggalkan tempat selain Ali, Hasan dan Husein, lalu mereka bertiga menghukum cambuk perempuan itu. Kulaini berkata: termasuk yang ikut pergi adalah Muhammad bin Ali bin Abi Tolib.

(Al Kafi jilid 7 hal 178)

Hal ini sama kiranya seperti yang tercantum dalam Perjanjian Baru dari Alkitab di Yohanes: 88:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."

Hamil dan melahirkan secara luar biasa

Imam Hasan Asykari berkata: “Sesungguhnya kami para penerima wasiat Imamah tidaklah dikandung didalam perut melainkan di pinggang dan tidak dilahirkan lewat rahim melainkan lewat paha sebelah kanan karena kami titisan cahaya Allah yang bersih dan tidak terkena kotoran sama sekali”.

(Kamaluddin 390, 393 Biharul Anwar jilid 51 hal 2, 13,17, 26 , Itsbatul Hudat jilid 3 hal 409,414 I’lamul Wara hal 394 Dala’ilul Imamah 264).

Betapa mirip hal ini dengan keyakinan Kristen tentang kehamilan yang suci.

Kepercayaan tentang sebuah penebusan

Umar bin Yazid berkata: “Saya berkata pada Ali Abdillah As. Tentang firman Allah Saw (Allah hendak mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang)” Surat Al Fath ayat 2.

Ia berkata: “Dia tidak berdosa dan tidak pernah berniat untuk berbuat dosa, tapi Allah membebankan dosa-dosa mereka pada Nabi, kemudian Allah mengampuninya” (Biharul Anwar 17/76).

Serupa sekali dengan kepercayaan Kristen mengenai penebusan dosa yang diajarkan Paulus, seorang Yahudi pengacau, yang sebenarnya justru berlainan dengan yang diajarkan oleh Yesus (atau yang dengan sejumlah catatan penting adalah hampir serupa dengan Nabi 'Isa 'alaihis salaam). Lihatlah:

GALATIA 3:13 Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!"

Menurut ajaran Paulus di atas, Yesus disalib untuk menebus dosa-dosa manusia. Tuhan – versi mereka – menebus dosa manusia ciptaannya dengan cara mengorbankan ‘salah satu bentuknya jelmaannya’ atau – yang mereka yakini sebagai - ‘anaknya’ yakni Yesus.

Dalam sudut-pandang Islam, ini adalah ajaran yang sangat sesat dan tak berdasar, tentu saja, dari banyak sekali dalil, karena bahkan dalam ayat dalam surat yang pendek seperti Al Quran Surat Al Ikhlas ayat 1-4 pun sungguh tak perlu Tuhan yang Perkasa yang tak sama dengan perkiraan manusia yang manapun, sampai memerlukan mempunyai anak, atau menjadi anak siapapun, apalagi sampai menebus dosa makhluk ciptaanNya sendiri.

Mengapakah manusia hina yang berdosa, namun Tuhanlah yang menebusinya? Atau bahkan ‘mengorbankan anaknya’? Kepada siapa anak itu dikorbankan oleh ‘tuhan’ itu?

Apapun juga, ajaran Paulus ini bertentangan dengan ajaran Taurat dan Yesus berikut ini:

YEHEZKIEL 18:20 Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya. 
MARKUS 10:14 Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. (lihat juga MATIUS 19:14).

Menurut Yehezkiel, setiap orang akan menanggung akibat perbuatannya masing2. Bahkan menurut Yesus sendiri, anak-anak adalah pemilik kerajaan surga, yang berarti keadaan mereka adalah suci tanpa dosa. Bagaimana mungkin anak-anak yang suci tanpa dosa harus ditebus pula dosanya?

TENTANG SYI'AH - BAGIAN III

Dan sungguh, daripada 10 orang yang dijamin Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - masuk surga, maka kaum Syi’ah lebih menghargai 12 Imam mereka yang mereka anggap ma’shum (suci tak mungkin salah dan berdosa) bahkan lebih daripada hanya itu, dengan berbagai legenda tentang kehebatan, keutamaan mereka yang beredar.
Golongan ini dikenal sebagai kaum Syi’ah Itsna asy Asy’ariyah. Dan keduabelas Imam yang dianggap suci (ma’shum) dan mendapatkan mandat atau ijin memimpin dunia (dalam istilah Syi’ah adalah ”Ishmah”) oleh mereka itu adalah:


  1. Ali bin Abi Tolib Rodhiyallahu ‘Anhu, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam yang mereka juluki dengan Al Murtadho, Khulafa Rosyidin IV, Amirul Mu’miniin, mati dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljim si Khawarij di masjid Kufah tahun 17 Romadhon 40 H.
  2. Hasan bin Ali Radhiyallahu Anhuma yang dijuluki almujtaba.
  3. Husein bin Ali Radhiyalahu Anhuma yang dijuluki syahid.
  4. Ali Zainal Abidin bin Husein (80-122) yang dijuluki Al sajjad.
  5. Muhammad Al baqir bin Ali Zainal Abidin (meninggal th 114 H) yang dijuluki Al Baqir.
  6. Ja’far Asshodiq bin Muhammad Al Baqir (meninggal th 148 H) dijuluki Asshodiq.
  7. Musa Al Kazim bin Ja’far Asshodiq (meninggal th 183 H) dijuluki Al Kazim.
  8. Ali Arridho bin Musa AL Kazim (meninggal th 203 H)dijuluki Arrodhiy.
  9. Muhammad Al Jawwad bin Ali Arridho (195 H-226H)dijuluki Attaqiy.
  10. 10.  Ali Al Hadi bin Muhammad Al Jawad (212-254 H) dijuluki Annaqiy.
  11. 11.  Hasan Al Askari bin Al Alhadi (232-260 H) dijuluki Azzakiy.
  12. 12.  Muhammad Al Mahdiy bin Hasan Al Askari, tidak diketahui kapan dilahirkan, ada yang berpendapat bahwa dia belum mati tapi menghilang di sirdaab dan akan kembai lagi membalas dendam. Dijuluki sebagai Alhujjah (Imam Mahdi) yang ditunggu-tunggu kaum Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjulukinya dengan sebutan “Mahdi Palsu” (*).
(*) Kaum Syi’ah pada umumnya percaya atau menyangka bahwa Imam Mahdi tersebut – yang dari garis keturunan Husain bin Ali rodhiollohu ‘anhum - telah menghilang di sebuah lobang dan akan kembali di akhir jaman untuk menuntut balas dan membunuhi musuh-musuhnya (yang dalam hal ini maka juga termasuk kaum Sunni yang tentu saja tak setuju dengan klaim ini).

Maka ini sangat berbeda dengan nubuat akan kedatangan dari Imam Mahdi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), yang memang belum dilahirkan, Berasal dari garis keturunan Hasan bin Ali - rodhiollohu ‘anhum – dan akan menyebarkan kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran bersama Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihis salaam kelak di akhir jaman.

Perlu dicatat kiranya bahwa, ada literatur Syi’ah sendiri yang membahas mengenai sekte-sekte sempalan Syi’ah menyebutkan bahwa ada kelompok yang beriman pada 13 imam, bukannya 12 Imam.

Mereka disebut Syi’ah 13 imam, dan mendasarkan pendapatnya pada ”Kitab Al Kafi” jilid 1 hal 534 (Kitab Syi’ah) riwayat dari Imam Muhammad Al Baqir bahwa Nabi Muhammad  - shollollohu ‘alaihi wasallam - bersabda pada Ali rodhiyallahu ’anhu, “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam), 12 imam dari keturunanku dan kamu hai Ali adalah rahasia bumi”.

Maka dari ’sabda’ ini, selain Ali rodhiyallahu ’anhu sendiri, berarti ada 12 Imam lain, dan berarti jumlah para imam seluruhnya adalah 13, bukan 12.

Dan juga riwayat lain dari Jabir yang tercantum adalam kitab Al Kafi jilid 1 hal 532, bahwa dia berkata, dia masuk menemui Fatimah rodhiollohu ‘anha dan didepannya ada papan yang berisi nama-nama penerima wasiat (washiy, imam), dan menghitung bahwa nama2 mereka ada 12 orang, yang terakhir adalah anak Mahdi yang akan bangkit, yang artinya adalah bahwa kata-kata ”12 Imam” di sini tidaklah benar.

Oleh karena itu dalam riwayat yang juga dari Jabir disebutkan: “Kuhitung nama-nama mereka ada duabelas, yang terakhir adalah Mahdi, tiga di antara mereka bernama Muhammad dan tiga di antara mereka bernama Ali”.  

Ini semua memanglah masih menuai perdebatan, bahkan di kalangan Syi’ah sendiri.

Apapun juga, putra tertua Husain, Ali Zainal Abidin (wafat tahun 714 Masehi) dikenal sebagai Imam Keempat oleh kaum Syi’ah (sesudah Ali bin Abi Tholib yang dianggap sebagai Imam Pertama, lalu diteruskan Hasan bin Ali bin Abi Tholib, dan Husain bin Ali bin Abi Tholib), dan kepemimpinannya diteruskan oleh Muhammad al Baqir (wafat tahun 735 Masehi) sebagai Imam Kelima.

Sepeninggal Zainal Abidin, sebagian besar pengikut Syiah membaiat Muhammad al-Baqir dan sebagiannya lagi membaiat Zaid. Saudara laki-laki Muhammad al Baqir, Zaid ibnu Ali, berkecimpung dalam pergerakan politik revolusioner praktis, dan kemudian terbunuh dalam perangnya melawan Daulah KeKholifahan Bani Umayyah pada tahun 740 Masehi.

Zaid sendiri menyatakan dirinya sebagai Imam, namun ini dibantah oleh Muhammad al Baqir yang menyatakan bahwa ilmu khusus dari Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - hanya diwariskan kepada keturunan langsung Ali bin Abi Tholib, dan setiap Imam akan menunjuk secara khusus penggantinya.
Maka sehubungan dengan itu, Muhammad al Baqir lah yang menerimanya dan Zaid tidaklah demikian.

Walaupun demikian, gerakan revolusioner dan berani Zaid itu memanglah lebih populer di kalangan massa muslim Syi’ah, terutama di sekte Zaidiyah pengikutnya yang menginginkan perubahan nyata dan praktis, bukan retoris.
Sekte Zaidiyah karenanya tidak membedakan hak imamah antara keturunan Hasan maupun Husain rodhiyallahu ’anhum, karena keduanya sama-sama anak keturunan Fatimah dan Ali, walaupun Hasan rodhiyallahu ’anhu lebih tua. Mereka juga memperkenankan adanya kepemimpinan ganda untuk wilayah yang berbeda, sejauh memenuhi kriteria dan syarat-syarat sebagai imam.

Maka Syi’ah juga dikenal memiliki kelompok atau Madzhab yang berbeda-beda (antara lain ada madzhab Ja’fari yang dinisbatkan kepada ajaran Ja’far ash Shadiq), namun pembedaan seperti di atas, lalu keimaman Syi’ah dan simbol ketuhanan yang dijabat oleh pemimpin spiritual dan qadi yang sempurna (termasuk dalam pengambilan keputusan dan hukum), keyakinan Syi’ah akan keberadaan sesuatu yang suci yang hanya dapat dilihat dengan tafakur (lebih kurang serupa dengan meditasi), juga pemahaman filsafat serta spiritualitas yang cukup rumit yang menggunakan matematika dan ilmu pengetahuan sebagai sarana kebangkitan tanpa batas; kiranya dapat dipakai sebagai pegangan umum dalam memahami Syi’ah.

Dalam aliran Syi’ah muncul beberapa sekte yang sebagiannya ekstrim (ghulat) yang BAHKAN pernah menganggap Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu 'anhu - sebagai jelmaan Tuhan,  dan sebagian lainnya moderat. Di antara sekte-sekte ekstrim tersebut ada yang berfaham bahwa Ali menempati derajat ketuhanan, seperti diyakini sebagian pengikut Saba’iyah (mengikuti paham ‘Abdullah ibnu Saba’ Yahudi dari Madinah itu).

Ada juga yang melebihkan kedudukannya di atas Nabi Muhammad  - shollollohu ‘alaihi wasallam - seperti dipercaya Syi’ah Ghurabiyah. Sebagiannya lagi, seperti dilakukan aliran Kaisaniyah, mengangkat kedudukan cucu dan pewaris ilmu Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ’anhu, yaitu Muhammad bin al-Hanafiyah, sejajar dengan para nabi.

Tetapi dalam perkembangan sejarahnya, terdapat hanya dua sekte syiah yang terkenal, yaitu Syi’ah Imamiyah dan  Syi’ah Zaidiyah. Sekte Imamiyah berkeyakinan bahwa imamah sesudah Nabi sudah menjadi hak dan harus diberikan kepada Ali. Umumnya kaum Syi’ah sekarang adalah para penganut sekte Imamiyah ini yang mempunyai dua aliran utama, yaitu Ismailiyah (Sab’iyah atau mengakui Imam yang tujuh) dan Itsna Asy’ariyah (mengakui Imam yang dua belas).

Dalam ajaran Syi’ah Imamiyah dikenal 5 doktrin fundamental, yaitu: imamah, ishmah, mahdiyah, raj’ah dan taqiyah. Imamah sudah menjadi salah satu rukun Islam bagi mereka. Maka barangsiapa meninggal dunia dan tidak mengetahui imamnya, ia termasuk dalam kategori mati secara jahiliyah.

Berbeda dengan sekte Imamiyah, Zaidiyah berpendapat bahwa nash tentang imamah Ali itu cenderung merujuk pada pengertian sifat, dan bukannya kepada pribadi Ali.

Atas dasar ini, sekte Zaidiyah melihat bolehnya umat mengangkat imam dari orang yang kurang utama, sekalipun di tengah-tengah mereka ada orang yang lebih utama. Maka dari itu pula, mereka masih memandang keabsahan atau mengakui kekholifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman rodhiyallahu ’anhum sekalipun secara pribadi, Ali rodhiyallahu ’anhu dinilai oleh mereka memiliki keutamaan lebih dibanding ketiga Kholifah sebelumnya.

Sifat ’moderat’ paham ini kemudian berubah menjadi ekstrim di tangan penganut Zaidiyah pada generasi selanjutnya, tetapi kaum Zaidiyah yang sekarang berkembang di Yaman lebih dekat kepada faham aliran Zaidiyah generasi pertama.

Dan bila Syi’ah Duabelas (Itsna Asy’ariyah) cenderung menarik diri dari politik dan kehidupan publik kebanyakan, maka Syi’ah Tujuh (Ismailiyah) justru mengembangkan sistem politik yang dapat dijabat secara aktif oleh pengikut mereka.

Dari masa itu mulai dikenal pula golongan Syi’ah yang terbagi-bagi (beberapa yang utama saja yang disebutkan di sini) antara lain menjadi – yang kiranya adalah yang terpenting dan terbesar - yakni Syi’ah (Imam) Keduabelas (atau tepatnya adalah Syi’ah Itsna Asy’ariyah yang juga dikenal sebagai juga dikenal sebagai Syi’ah al Rofidhah yang arti harfiahnya ”menolak”, karena sikap penolakan mereka atas keabsahan Khulafahur Rosyidin Abu Bakar, Umar dan Utsman dan para sahabat Rosululloh shalallahu ’alaihi wasallam rodhiyallahu ’anhum) yang percaya kepada mandat kekholifahan atau Daulah dari keduabelas Imam Syi’ah keturunan Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan atau Imam Ali bin Abi Tholib sampai Imam keduabelas dari keturunannya yang kemudian menghilang secara misterius dan kelak dipercaya akan kembali lagi membawa kedamaian, versi Syi’ah.

Imam terakhir ini diyakini Syi’ah berada dalam keadaan tidak hadir (mastur), ghaib, dan akan muncul kelak di waktu yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’aala. Maka pada masa ketidakhadirannya ini, kekuasaan dipegang oleh wakil imam yang memenuhi kriteria mujtahid.

Aliran ini dikenal juga dengan sebutan al-Musawiyah karena imamah itu berpindah dari imam Syi’ah VI yaitu Ja’far bin Muhammad kepada Musa al-Kadzim. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai Syi’ah al-Rofidhah yang arti harfiahnya adalah menolak, karena sikap penolakan mereka atas keabsahan kekholifahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Kemudian juga terdapat Syi’ah Ismailiyah (yang dikenal juga sebagai golongan Syi’ah Ketujuh) yang percaya kepada kekholifahan atau Daulah imam-imam Syi’ah keturunan Ali bin Abi Tholib hanya sampai pada keturunan Imam Keenam Syiah yakni Imam Ja’far As Shadiq saja.

Perbedaannya adalah bahwa Syi’ah Ismailiyah hanya mengakui keimaman sampai Ismail, putra pertama Ja’far Ash Shadiq yang ditunjuk sebagai Imam namun dan seharusnya menjadi Imam VII Syi’ah namun meninggal dunia sebelum ayahnya meninggal dunia, dan tidak mengakui keabsahan Musa al Kazhim, putra kedua Ja’far ash Shadiq yang kemudian menjadi Imam dari Syi’ah Itsna Asy’asriyah, yang berlanjut sampai Imam Syi’ah yang Keduabelas melalui keturunannya, yang kemudian Imam Kedua Belas ini diberitakan dan dianggap telah menghilang secara misterius untuk nanti akan kembali lagi sebagai imam Mahdi versi Syi’ah.

Agaknya sebagai reaksi terhadap keimaman Syi’ah ini, Kholifah Abu Ja’far Al Mansur (memerintah dari tahun 754-775 Masehi) dari KeKholifahan Daulah Bani Abbasiyah (dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah), membunuhi semua pemimpin Syi’ah yang dipandang membahayakan kekuasaannya dan memenjarakan Imam Ja’far As Shadiq.
Ini tentu saja memicu ketegangan antara kaum Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun keturunan Kholifah Al Mansur, Kholifah Al Mahdi (memerintah dari tahun 775-785 Masehi), kemudian memindahkan ibukota Daulah Abbasiyah dari Damaskus ke Kufah lalu ke Baghdad, dan berusaha memperbaiki suasana tegang itu, mengambil hati kaum Syi’ah dengan berbagai cara, termasuk menggunakan julukan ’Al Mahdi’ tersebut.

Keturunan dari anaknya, Kholifah Al Ma’mun (anak dari Harun al Rasyid) yang telah memindahkan ibukota pemerintahannya dari Baghdad ke Samarrah, bahkan kemudian bergerak lebih jauh dalam mengambil hati meredam kemarahan kaum Syi’ah. Ia mencoba menunjuk Ali ar Ridha atau Imam Syiah VIII untuk menjadi penggantinya, sesudah menumpas pemberontakan Syi’ah dan Khawarij yang cukup hebat di masa pemerintahannya.

Namun kekerasan antara Syi’ah dan Daulah Abbasiyah terus berlangsung dan bahkan Kalifah Abbasiyah selanjutnya, Al Mutawakkil, menempatkan Imam Kesepuluh Syi’ah, Ali al Hadi dalam tahanan rumah. Akibatnya sang Imam tak dapat berhubungan dengan para pengikutnya secara langsung, dan komunikasi itu hanya dapat dilakukan melalui para perantara.

Dan ketika Imam XI Syi’ah meninggal dunia, dan tak meninggalkan keturunan laki-laki, muncul kabar bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki yang masih muda dan sedang bersembunyi demi keselamatannya.
Karena tak ada kabar resmi tentang keberadaannya yang misterius itu, ’para perantara’, ’para wakil ini’, memimpin kaum Syi’ah, membimbing studi esoterik Islam, mengumpulkan zakat, dan mengeluarkan pertimbangan hukum atas namanya.

Pada tahun 934 Masehi, ketika kehidupan fana Imam Yang Tersembunyi (mastur) itu akan segera berakhir, para wakil memberikan pesan bahwa sang Imam telah berada di alam ghaib, yang dengan suatu keajaiban, disembunyikan Tuhan dan akan kembali lagi satu saat nanti untuk memulai jaman keadilan, sebagai Imam Mahdi versi Syi’ah (Muhammad bin Hasan Al Asykari).

Seorang imam bagi Syi’ah dipercayai memiliki kualitas ishmah (keizinan) karena mewarisi posisi kenabian yang ma’shum (infallible, terjaga dari kesalahan). Jika mereka melakukan kesalahan, maka Allah pasti menurunkan wahyu untuk meluruskan kesalahannya.

Sedangkan doktrin mahdiyah (perihal al-mahdi) dan raj’ah (kedatangan kembali) dihubungkan dengan status imam mastur yang dipercaya akan muncul kembali sebagai mahdi yang membangun kerajaan Allah menjelang hari Kiamat kelak.

Ajaran ini tampaknya bagi sebagian kalangan ahli agama, memiliki akar dalam ajaran agama Zarathustra (Zoroaster) penyembah api yang lazim dianut bangsa Persia sebelum kedatangan Islam ke Persia.

Yang pantas pula dicatat kiranya, Syi’ah sendiri, mungkin terutama akibat pertentangannya dengan  Kekholifahan Sunni Abbasiyah saat itu, Imam Ja’far Ash Shadiq salah seorang imam terkemuka Syi’ah, membenarkan perilaku Taqiyyah, atau berpura-pura, untuk melindungi diri dari musuh-musuh mereka, bahkan lebih jauh lagi, sebagian kalangan Syi’ah menerjemahkannya dan memanfaatkanya untuk tujuan yang kurang terpuji atau untuk menyebarkan pahamnya secara diam-diam, bahkan pada saat tidak sedang terancam bahaya, sampai saat ini.

Paham taqiyyah yang berarti ”perlindungan”, dimaksudkan sebagai taktik strategis untuk merahasiakan eksistensi kesyiahannya, dengan berpura-pura patuh di bawah dominasi kekuasaan Kholifah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memerangi mereka hingga kekuatan yang dipersiapkan cukup memadai untuk melakukan perlawanan terbuka.
Taqiyah ini pada awalnya bersifat politis, tetapi pada gilirannya menjadi corak yang kental dalam konstruksi keberagamaan mereka.

Perlu kiranya disadari, sebagai catatan penting, bahwa sikap berpura-pura ini juga adalah kebiasaan kaum Yahudi, dan mengingat bahwa campur-tangan Yahudi cukup dalam, dalam pembentukan agama ini, maka menarik untuk merenungkan premisa akan keterkaitannya.

Syi’ah juga memiliki apa yang dikenal sebagai budaya Irfan dengan metode riyadlah, yang lebih kurang serupa dengan kelompok-kelompok Thariqat Dzikr (Shufi) di golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (bahkan sebagian kalangan ahli menduga, sesungguhnya Shufi atau Tashawwuf dan Syi’ah berhubungan erat pada masa awalnya), dan tokohnya yang terkenal adalah Mullah Sadra.

Menarik untuk merenungkan bahwa Syi’ah berkembang pesat di Persia (Iran dan sebagian Iraq kini), wilayah yang diislamkan oleh tentara Islam pimpinan Kholifah Umar bin Khottob rodhiollohu ‘anhu, yang ini sudah diramalkan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dan dengan sendirinya menghancurkan agama Persia dan segala tiang-tiang dan budaya serta akidah agamanya, dan kemudian bahwa Kholifah Umar bin Khoththob - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh oleh tawanan perang Persia bernama Abu Lu’lu’ah al Majusi.

Dan saat ini, makam pahlawan tak dikenal yang dipercaya sebagai Abu Lu’lu’ah di Iran menjadi obyek wisata dan ziarah kaum Syi’ah.

Yang terbesar dari semua golongan kaum Syi’ah adalah yang disebut oleh Sunni sebagai kaum Syi’ah Rofidhoh. Kata “Rofdh” secara bahasa memiliki makna menolak. (“Qamus Al Muhith”, Fairuz Abadi 2 atau 332, Maqayiis Allughoh, Ibnu Faris 2 atau 422.) karena mereka tak sejalan dengan Imam Syi'ah mereka - keturunan Ali RA yang mereka jadikan imam - yang justru tak mau memaki para Sahabat.

Rofidhoh secara istilah bermakna, sebuah firqoh (kelompok) yang menyatakan diri mendukung dan mencintai ahlul bait dari Rosulullah  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dengan memusuhi Abu Bakar dan Umar serta Utsman rodhiollohu ‘anhu (padahal mereka adalah mertua, dan menantu dan masih kerabat Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam dan dijamin Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam masuk Surga dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) serta para sahabat rodhiollohu ‘anhum kecuali beberapa orang sangat sedikit darinya, mengkafirkan mereka, dan mencela, memaki, memusuhi para sahabat rodhiollohu ‘anhum, ribuan darinya.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulloh berkata bahwa golongan Syi’ah Rofidhoh adalah mereka yang memusuhi sahabat nabi shollollohu ‘alaihi wasallam, yang memaki-maki dan menghina mereka (“Tobaqot Al Hanabilah Ibn Abi Ya’la” 1 atau 33).

Anak beliau, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Aku bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal) tentang Rofidhoh maka dia menjawab bahwa mereka adalah yang memaki Abu Bakar dan Umar." (Riwayat Al Khollal dalam kitab “As Sunnah no 777 dengan sanad sohih menurut peneliti kitab tsb).

Imam Abu Qosim Attaimiy yang dijuluki “Pembela Sunnah”, berkata tentang Rofidhoh, bahwa, "mereka adalah yang memaki Abubakar dan Umar rodhiollohu ‘anhuma, semoga Allah meridhoi mereka berdua dan para pecinta mereka berdua" (“Al Hujjah fi Bayan Al Mahajjah“ 2 atau 478). Tidak ada kelompok lain selain Rofidhoh yang mencela Abu Bakar dan Umar.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah kemudian berkata, "Hanya Rofidhoh yang memusuhi dan melaknat Abu Bakar dan Umar, tidak ada selain mereka yang membenci kedua sahabat tersebut." (“Majmu’ Fatawa” 4 atau 435)

Dalam literatur Rafidhoh telah dijelaskan bahwa cinta kepada Abubakar dan Umar adalah batasan yang membedakan mereka dengan kelompok lain yang mereka sebut sebagai Nawasib. Darrazi meriwayatkan dari Muhammad bin Ali bin Musa, "Aku menulis surat kepada Ali bin Muhammad Alaihissalam (Abul Hasan  Ali Al Hadi bin Muhamad Al Jawad yang adalah salah seorang Imam Syi’ah) tentang masalah mengenai Nasibi, apakah perlu untuk mengujinya atau mengetahuinya dengan lebih jauh dari sekedar mendahulukan Jibt dan Toghut (yang dimaksud adalah Abubakar dan Umar, disebutkan dalam tafsir Al Ayyasyi 1 atau 246 dalam keterangan Al Quran surat Annisa’ ayat 51) daripada Ali dan meyakini bahwa mereka berdua adalah Imam? Maka beliau menjawab bahwa siapa saja yang begitu berarti nasibi." (“Al Mahasin Anifsaniyyah” karangan Muhamad Al Asfur Addarrozi hal. 145).

Sementara itu kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa sebab mereka disebut Rofidhoh adalah karena mereka menolak Zaid bin Ali dan keluar dari tentaranya setelah sebelumnya mereka adalah tentara Zaid bin Ali saat beliau memberontak kepada Kholifah Hisyam bin Abdul Malik tahun 121 Hijriyyah setelah mereka mengumumkan permusuhan terhadap Abubakar dan Umar lalu dilarang oleh Zaid.

Abul Hasan Al Asy’ari berkata, ”Zaid bin Ali berpendapat bahwa Ali adalah sahabat yang paling utama dan berpendapat boleh memberontak kepada pemerintahan yang zolim serta mencintai Abubakar dan Umar. Setelah muncul orang yang memaki Abu Bakar dan Umar di kalangan tentaranya maka dia memarahi mereka. Lalu sebagian tentaranya menolak perkataan Zaid dan memisahkan diri dari kelompoknya lalu Zaid berkata, "Kalian telah menolakku (rofadhtumuunii)", maka dikatakan bahwa mereka disebut sebagai Rofidhoh karena perkataan zaid di atas” (“Maqolatul Islamiyiin” 1 atau 137).

Qowamussunah (Alhujjah fi bayanil mahajjah 2/478), Arrozi (I’tiqod Firoqul Muslimin wal Musyrikin halaman 52), Syihristani (Al Milal wannihal 1/155), Ibnu Taymiyyah (Minhajussunnah 1/8 Majmu’ Fatawa 13/36) juga berpendapat demikian.

Sementara itu Abul Hasan Al Asy’ari memiliki pendapat lain, yaitu mereka disebut Rofidhoh karena mereka menolak kepemimpinan Abubakar dan Umar – rodhiollohu ‘anhu - [Maqolatul Islamiyin 1/89].

Kaum Rofidhoh sangat tidak senang dengan sebutan ini dan berpendapat bahwa julukan ini (rofidhoh) adalah sebutan yang berasal dari musuh mereka. Muhsin Al Amin berkata “Rofidhoh adalah ejekan kepada mereka yang mengutamakan Ali bin Abi Tolib dalam khilafah dan kebanyakan digunakan untuk ejekan” (A’yanu Syi’ah 1/20).
Dan Syi’ah Itsna asy Asy’ariyah (12 Imam) yang sekarang berkuasa di Iran, tentulah biasanya termasuk Rofidhoh ini.

Satu hal yang mengherankan, apakah Sunni tidak harus dan patut mencintai Ahlul Bait sedangkan ini bagian dari akidah Sunni? Mengapa sampai dikesankan demikian? Padahal jumlah hadits dari kaum Ahlul Bait dalam kitab-kitab Sunni amat-sangat lebih banyak daripada di kitab-kitab Syi’ah?

Dan ini pun dengan kualitas hadits yang terjaga verifikasinya? Berbeda dengan yang ada di kitab-kitab Syi’ah? Dan hadits-hadits itu pun dijalankan oleh Sunni.

Mengapa Syi’ah berusaha menonjolkan klaim mereka akan ’kecintaan kepada Ahlul Bait’ ini sebagai ciri khas mereka, padahal Keduabelas Imam mereka tidak berusaha membenci dan menyebarluaskan kebencian terhadap Sahabat Nabi, yang sebenarnya juga adalah Ahlul Bait, dan mereka pun saling berkerabatan?

Padahal mereka saling berbesan? Saling bermenantu? Saling bermertua?

Dan ini termasuk Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam yang mulia sendiri, yang demikian?

Maka sungguh, kaum Syi’ah, berlindung di balik klaim kecintaan terhadap Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam
dan kaum Ahlul Bait, namun justru sebenarnya memfitnahi mereka, menjerumuskan mereka, dengan halus, namun sebenarnya amat keji. Kejam.

BERSAMBUNG KE BAGIAN KEEMPAT.

TENTANG SYI'AH - BAGIAN II

Pada Abad pertama Islam, ajaran Syi’ah masih terbatas pada pengutamaan Kholifah Keempat Ali - rodhiollohu ‘anhu - terhadap Kholifah Keempat Utsman (dinyatakan oleh Imam Sya’bi dan Ja’far Ash Shadiq) rodhiollohu ’anhu. Lama kelamaan ini berkembang menjadi madzhab tersendiri bahkan gerakan makar yang tak mau mengakui keKholifahan Kholifah Pertama Abu Bakar As Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, Kholifah Kedua Umar bin Khoththob - rodhiollohu ‘anhu -, dan Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, bahkan mengkafirkan ribuan sahabat Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam lain.

Termasuk karenanya menjadi bahkan tak mempercayai Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka, yang kemudian tentunya termasuk tak mempercayai bahkan mengkafirkan muslim pengikutnya (yang kemudian jamak disebut sebagai kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Sunni atau Al Ghuroba’ atau Ath Thoifatul Manshuroh atau Al Firqotun Najiyah dan sebagainya itu).

Syi’ah karenanya lebih mempercayai Hadits dan ajaran yang dibawa oleh imam mereka sendiri, yang sayangnya ternyata banyak yang tak melalui verifikasi Hadist yang ketat. Dan karenanya, terutama kaum atau sekte ekstrem dari Syi’ah juga menganggap Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai golongan Nawashib atau golongan yang membenci Ahlul Bait, satu hal yang tentu saja sangat tak masuk akal dituduhkan kepada kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, setidaknya karena jelas kaum ini menuruti Hadits, dan salah satu Hadits menyuruh muslim untuk mencintai kaum Ahlul Bait atau keturunan dari Rosulullah shollollohu ‘alaihi wasallam.

Jadi kemudian Syi’ah berlindung kepada kecintaan – berlebihan – terhadap golongan Ahlul Bait, dan pengikutnya. Dan sudah pula disampaikan di atas, namun, tak semua Ahlul Bait mau menjadi Syi’ah versi mereka ini, yang kemudian ritual ibadah dan akidahnya menjadi aneh dalam pandangan Sunni berdasarkan Al Quran dan Al Hadits.  

Perlu diketahui kemudian, bahwa sekte dalam Syi’ah ada banyak pula. Dan sekte yang paling moderat dari Syi’ah, masih mau bergaul dengan Sunni, bahkan beribadah bersama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), dan tak mengkafirkan Sunni.

Namun bagi kaum Syi’ah tertentu, harta dan darah kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah halal bagi kaum Syi’ah. Dan bahkan di akhir jaman, mereka percaya bahwa Imam Mahdi Syi’ah akan tinggal di Bumi selama 70 tahun untuk membalas dendam, menegakkan hukum keluarga Dawud (hukum Bani Israil), akan menyeru ke Allah dengan nama Ibraninya (Kitab ”Ushul Al Kafi”Jilid I, halaman 398), menghancurkan semua Masjid (Kitab ”Al Gharib” halaman 247 oleh Ath-Thusy), berdamai dengan Yahudi dan Nasrani, dan menghalalkan darah muslim (Kitab ”Bihar al-Anwar” Jilid 52 halaman 376).

Sebagai catatan, sebagian (kecil) dari kaum Syi’ah, ada yang tak mau menerima kitab ”Al Kafi” ini.

Apapun juga, mengenai sejarah munculnya Syi’ah, dalam sejarah dengan proses verifikasi yang ketat, dicatat bahwa sepeninggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, pemimpin atau Khulofahur Rosyidin (Kholifah yang diberi petunjuk) sebagai Kholifah penggantinya, adalah (I) Abu Bakar Ash-Shiddiq (Attiq bin Usman) - rodhiollohu ‘anhu - (dengan gelar Kholifatur Rosul atau Pengganti Rosul), (II) Umar bin Khottob - rodhiollohu ‘anhu -, (III) Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, dan (IV) Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -. Pemerintahan para Khulafahur Rosyidin, dipusatkan di Madinah al Munawaroh. Cerita sejarah ini ditulis dengan bagus di kitab ’Al Bidayah wan Nihayah” tulisan Ibnu Katsir dan ringkasannya adalah sebagaimana berikut.

Maka dipilih oleh umat, secara aklamasi, dan dicatat pula bahwa dalam masa pemerintahannya, Kholifah Abu Bakar - rodhiollohu ‘anhu – yang adalah mertua Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, hingga akhir hayatnya dan dalam pemerintahannya yang cukup singkat, terutama disibukkan memerangi kabilah-kabilah muslim yang murtad, mereka yang tak mau membayar zakat, munculnya para pengaku sebagai nabi baru walau belum lama ditinggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, lalu pembukuan Al Quran, dan administrasi umum umat, sepeninggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam. Beliau meninggal dunia setelah sekitar 2,5 tahun menjabat.

Beliau digantikan Kholifah Umar bin Khothtob - rodhiollohu ‘anhu -, atas dasar wasiat dari Kholifah Abu Bakar ash Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, yang juga adalah mertua Rosululloh sholollohu ’alaihi wasalla, dengan disetujui Umat pula. Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ’anhu, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, menolak untuk menjadi Kholifah, saat itu.

Pemerintahan Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - setelahnya, terutama disibukkan dalam urusan mengatur dan melembagakan dasar-dasar hukum bernegara serta perluasan syi’ar Islam dan wilayah muslim termasuk mengalahkan Romawi dan mendapatkan Persia serta Daarussalaam atau Yerusalem. Dengan sendirinya, Persia, yang saat itu mayoritas rakyatnya adalah penyembah api dalam agama Zarathustra (Zoroaster), serta ada pengaruh aneka Filsafat dan Mitos lain juga paham Yahudi, suka atau tidak suka, menjadi wilayah Islam. 

Beliau dibunuh oleh seorang budak, tawanan perang Persia yang menyaru masuk Islam, Abu Lu’lu’ah Fairuz al Majusi, saat sedang memipin sholat Subuh berjama’ah di Madinah. Abu Lu’lu’ah – laknatulloh (semoga Allah melaknatnya) - menikam berkali-kali Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - dari belakang, dengan belati beracun, dan kemudian juga menikami, melukai, juga membunuh banyak jama’ah lain, sebelum akhirnya membunuh dirinya sendiri.

Disebutkan Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - masih sempat menarik Abdurrohman bin Auf - rodhiollohu ‘anhu - untuk menggantikan dirinya memimpin sholat Subuh, dan setelah sampai rumahnya, sholat Subuh sendirian, dalam keadaan terluka, dan meninggal tiga hari kemudian. Kuburan Abu Lu’lu masih ada hingga kini di Iran, dan juga ada diziarahi kaum Syi’ah. 

Tugas Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - kemudian lebih-kurang dilanjutkan Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - yang adalah menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam sebanyak dua kali (karena istri pertamanya yang adalah anak Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam meninggal dunia dan istri keduanya yang dinikahinya setelahnya juga adalah anak Rosululloh solollohu ’alaihi wasallam), semakin merapikan ketatanegaraan. Di masa beliau pulalah sudah dikenal kompilasi Al Quran yang sudah melalui verifikasi sangat ketat, termasuk dicocokkan dengan standar hapalan ribuan Sahabat.

Sebagai catatan, penulisan Al Quran ini sudah dimulai sejak jaman Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang memang memiliki para Sekretaris penulis, dan verifikasinya diawasi langsung oleh Malaikat Jibril ’Alaihissalaam, namun finalisasinya kira-kira di masa antara Kholifah Umar dan Utsman, rodhiollohu ‘anhum. Jadi bukan dimulai di masa Utsman rodhiollohu ’anhu.

Para kaum Muslimiin generasi Salafus Sholih ini, mau membukukan Al Quran, yang selesai di masa Utsman, rodhiollohu ‘anhu karena sudah jelas bahwa dengan wafatnya Rosulloh shollollohu ‘alaihi wasallam, firman-ayat Al Quran tak akan turun lagi dan bahwa susunannya sudah paripurna seperti yang diajarkan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam.

Namun Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh oleh kaum yang menuduhnya melakukan Nepotisme tak adil dalam mengangkat para Pejabat, yang terutama dari kalangan kabilahnya sendiri, demikian tudingan kaum itu.

Ini suatu hal yang sebenarnya sudah terbantahkan dengan sendirinya, karena keputusan beliau biasanya sudah melalui rapat dengan Dewan Syuraa’ dan sudah melalui tahapan verifikasi bertahap dan juga berdasarkan penilaian berkelanjutan (ini semua dicatat di kitab Al Bidayah wal Nihayah tulisan Ibnu Katsir).

Kaum itu datang dari Fustat (Mesir) dan mengepung rumah Kholifah Ustman - rodhiollohu ‘anhu - dan membunuhnya, kemudian menyusup, berlindung ke umat dan termasuk menjadi pendukung Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -. Kaum ini adalah bentuk pertama dari Kaum yang kemudian dikenal luas sebagai kaum Khawarij, golongan ekstrem dalam Islam yang mudah mengkafirkan orang atau golongan yang dianggap berdosa oleh mereka, yang benihnya sebenarnya telah ada di jaman Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dimulai oleh Dzul Khuwaishirah.

Umat kemudian melantik Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ’ahu, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, menjadi Kholifah Keempat. Dan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang sudah diminta menjadi Kholifah sejak lama, akhirnya tak kuasa menolak.

Dan mengawali masa kekholifahannya dengan adanya kejadian pembunuhan terhadap Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - justru oleh sesama Muslimiin (kaum Khawarij) yang menggemparkan umat ini, Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - praktis berada dalam posisi sulit saat itu.

Walaupun sebagai orang beriman ia tentunya tidak dapat memaafkan pembunuhan terhadap Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu, namun para pendukungnya (yang termasuk juga yang sudah disusupi Khawarij) juga bersikeras bahwa Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu memanglah pantas dibunuh, kafir, setidaknya karena tidak memerintah dengan baik dan tidak sesuai dengan cita-cita luhur Islam, walau itu semua ternyata di kemudian hari terbukti adalah juga hasil dari kebohongan fitnah.

Sementara itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan rodhiyallahu ’anhu menuntut haknya untuk menuntut balas kematian saudara satu kabilahnya, Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - itu. Sebagai pimpinan Kabilah Bani Umayyah, sesuai tradisi Arab tradisional, tentu adalah tugas Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - untuk menuntut balas kematian Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - yang adalah termasuk kerabatnya.

Dan apapun pula, itu adalah pembunuhan besar, justru oleh kaum Muslimiin sendiri. Dan tuntutan ini, semakin lama, semakin mendapatkan dukungan sebagian dari sebagian umat juga.

Peristiwa perang saudara yang kemudian mengikuti rangkaian perselisihan ini selama sekitar lima tahun sesudah terbunuhnya Kholifah Ketiga Usman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - kemudian dikenal sebagai periode Fitnah (cobaan atau ujian atau bencana) Pertama dalam Sejarah Islam. Saat Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh, istri-istri nabi, para Umahatul Mu’minin (para ibunda orang-orang beriman) berangkat menunaikan haji pada tahun ke tiga puluh lima (35) hijriyah ke Makkah dari Madinah. Ketika sampai ke telinga orang banyak berita terbunuhnya Utsman rodhiollohu ‘anhu, yaitu ketika mereka hendak pulang dari haji, mereka kembali lagi ke Makkah dan menetap di sana. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh umat.

Ini setelah dibai'atnya Ali - rodhiollohu ‘anhu - dan orang-orang yang paling berpengaruh di sekitar beliau -yaitu karena desakan kondisi dan dominasi mereka bukan atas keinginan beliau pribadi – yang juga adalah para pemimpin-pemimpin Khawarij yang telah membunuh Utsman bin Affan rodhiollohu a’nhu.

Padahal Ali - rodhiollohu ‘anhu - sebenarnya tentu saja, sangat membenci mereka. Akan tetapi in syaa Allah demi pertimbangan strategis, maka beliau menunggu ketenangan umat, menunggu kehancuran mereka dan sangat ingin kalaulah berhasil menguasai mereka, beliau akan mengambil hak Allah dari mereka. Namun karena kondisinya seperti itu, justru mereka yang menguasai beliau dan bahkan mereka menghalangi para sahabat yang lainnya dari beliau, maka larilah sekelompok Bani Umayyah dan yang lainnya ke Makkah dari Madinah.

Setelah sedikit jeda waktu, ’Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq - rodhiyallahu ‘anha – kemudian mengajak orang-orang agar menuntut balas atas tertumpahnya darah Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu -, dan jumlah mereka menjadi sekitar tiga ribu orang. ’Aisyah rodhiyallahu ’anha yang adalah janda Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan juga anak Kholifah Abu Bakar Ash Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, bersama-sama kerabatnya yang juga adalah para sahabat Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam, Thalhah - rodhiollohu ‘anhu - dan Zubair - rodhiollohu ‘anhu -, berangkat untuk mendamaikan potensi peperangan antara Kholifah Ali dan Mu’awiyah.

Ummul Mu’minin (ibunda kaum beriman atau istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam) ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berada dalam haudaj (sekedup) unta yang bernama 'Askar yang dibeli oleh Ya'la bin Umayyah. Kedua belah pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan persoalan dengan baik. Namun malam harinya, mereka diserang oleh gerombolan penyusup pengadu-domba Khawarij pimpinan Yahudi ’Abdullah bin Saba’. Maka terjadilah peperangan yang kacau. Mereka diserang oleh gerombolan yang menamakan dirinya Syi’ah (pengikut) Ali, padahal adalah pengadu-domba pimpinan Yahudi ’Abdullah bin Saba’. Perang ini, kemudian lazim disebut sebagai Perang Unta (Harbul Jamal) karena ’Aisyah rodhiyallahu ’anha yang turut melakukan perjalanan dengan pasukannya itu menyaksikan pertempuran ini dari punggung untanya.

Saat Kholifah Ali rodhiollohu ’anhu mengetahui ini dan akhirnya datang ke sana, kedua sahabat besar Rosululloh shalollohu ’alaihi wasallam yang dijamin masuk surga itu telah terbunuh. Dicatat bahwa Ali sangat sedih meratap karenanya.

Salah satu ummahatul mu’minin (para ibunda kaum beriman atau para istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), ‘Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq rodhiyallahu ’anha itu pun tetap dimuliakan dan diantarkan ke Madinah, yang ternyata ini membuat kaum Khawarij marah atas kebijaksanaan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ’anhu karena seharusnya tawanan pun harus ditawan.

Kaum Khawarij ini kemudian dibantah serta diinsyafkan tiga perempat darinya oleh juru perunding Sahabat ‘Abdullah bin Abbas - rodhiyallahu ’anhu - kemudian, dengan menggunakan dalil-dalil  ayat-ayat Al Quran dan Hadits terutama mengenai keutamaan salah satu dari Ummahatul Mu’miniin, para ibunda kaum beriman, ‘Aisyah - rodhiyallahu ’anha - tersebut.    

Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang diduga oleh ahli sejarah secara manusiawi tak sedang dapat berpaling dari para pendukungnya dan harus menghadapi perpecahan umat, kemudian keluar dari Madinah ke Kufah dan menjadikannya sebagai ibukota pemerintahannya.

Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -, terutama didukung oleh antara lain golongan Anshar Madinah, orang-orang yang menolak kebangkitan Umayyah yang dipandang mempunyai reputasi buruk oleh mereka, dan oleh para Muslim tradisional yang masih menjalani kehidupan tradisional nomaden terutama mereka yang berada di Iraq tempat kota garnisun Kufah.

Dan periode perang saudara antar Muslimiin pun telah dimulai. Peristiwa perang saudara yang kemudian mengikuti rangkaian perselisihan ini selama lima tahun sesudah terbunuhnya Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - kemudian dikenal sebagai periode Fitnah (cobaan) Pertama dalam Sejarah Islam.

Hadits riwayat Usamah - rodhiollohu ’anhu -: Bahwa Nabi - shollollohu ‘alaihi wasallam - menaiki salah satu bangunan tinggi di Madinah, kemudian beliau bersabda: Apakah kalian melihat apa yang aku lihat? Sesungguhnya aku melihat tempat-tempat terjadinya fitnah di antara rumah-rumahmu bagaikan tempat turunnya air hujan. (Shahih Muslim No.5135)

Arti dari ”fitnah” dalam Bahasa Arab, adalah ”Ujian” namun juga dapat saja ujian itu berbentuk ”kebohongan” sebagaimana yang dipahami dalam Bahasa Indonesia.

Umatku ini dirahmati Allah dan tidak akan disiksa di akhirat, tetapi siksaan terhadap mereka di dunia berupa fitnah-fitnah, gempa bumi, peperangan dan musibah-musibah. (HR. Abu Dawud)

Hadits  riwayat Abu Hurairah - rodhiollohu ’anhu -, ia berkata: Bahwa Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - bersabda: Akan terjadi fitnah di mana orang yang duduk (menghindar dari fitnah itu) lebih baik daripada yang berdiri dan orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari (yang terlibat dalam fitnah). Orang yang mendekatinya akan dibinasakan. Barang siapa yang mendapatkan tempat berlindung darinya, hendaklah ia berlindung. (Shahih Muslim No.5136)

Pemerintahan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - juga tidak cukup diterima di Syam (Syria) yang berada dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - yang berkuasa di Damaskus, dan gelombang ketidakpuasan, perlawanan terhadap Kholifah Ali pun meningkat cepat di sana. Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - sendiri semakin memperoleh dukungan simpatisan, dan pendukungnya disebut Syi’ah Mu’awiyyah (artinya sekutu atau orang-orang yang bersimpati pada), walaupun di lain pihak masih banyak pula kaum Muslim yang bersikap netral terhadap kesemua pihak yang sedang bertentangan ini.

Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - didukung oleh kabilah-kabilah kaya Makkah dan Arab Syam (Syria) yang menghargai atmosfer pemerintahannya yang kuat dan bijaksana, dan dengan dukungan kuat ini, seusai perundingan arbitrase di Shiffin di dataran tinggi Eufrat pada tahun 657 Masehi yang menghasilkan keputusan yang banyak menentang kekholifahan Ali, Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - pun menggantikan kekuasaan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -.

Sebagian pendukung radikal-fanatik Kholifah Ali rodhiollohu ‘anhu  – yang masih menyisakan kaum Khawarij di dalamnya - sungguh terguncang dengan mundurnya Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - dari hak kekholifahannya, dan mereka menolak hasil Arbitrase itu.

Dalam pandangan mereka, Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - telah gagal hidup dalam standar Al Quran, karenanya pantas dibunuh, dan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - pun telah memberikan kelonggaran kepada para pendukung ketidakadilan dengan gagalnya ia membenarkan kesalahan yang dilakukan Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu -. Menurut pendapat mereka, ini tentunya bukanlah sikap seorang Muslim yang sejati.
Kaum ini kemudian keluar dari kelompok besar ummat yang dipimpin Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang mereka anggap mengkhianati semangat Al Quran dan mereka mendirikan perkampungan sendiri dengan pemimpin sendiri pula, dan dalam khazanah Islam kemudian mereka ’resmi’ dikenal sebagai kaum Khawarij.

Kaum Khawarij ini bersikeras bahwa pemimpin masyarakat Islam seharusnya bukanlah yang terkuat tetapi adalah seorang Muslim yang paling taat beragama. Pembunuh Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu – yang mereka anggap kafir - adalah dari golongan ini. Dan karenanya pula menurut mereka, seorang Kholifah seharusnya bukanlah seorang ’pencari kekuasaan’ seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu -.

Sehubungan dengan gerakan separatis ini, Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - kemudian bertindak menindas kaum yang dianggap sebagai ekstremis ini, dan mau tak mau tindakan ini kemudian menyebabkan hilangnya pula dukungan luas kepadanya, bahkan juga di Kufah, kota yang tadinya sangat banyak terdapat pendukung tradisionalnya.

Sementara itu, masih banyak pula kaum Muslim yang bersikap netral terhadap kesemua pihak yang sedang bertentangan ini. Kiranya Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - bermaksud menangani ini dengan hati-hati, termasuk dengan memerangi kaum Khawarij dan kaum ekstrem lainnya, bahkan pendukungnya sendiri, Syi’ah Ali, secara bertahap, dan tercapailah masa tenggang ketegangan ini dengan arbitrase gencatan senjata antara pihak yang bertikai.

Perundingan arbitrase kedua yang mencoba mencari kandidat lain untuk kekholifahan (atau dengan kata lain, untuk Daulah), mengalami kegagalan titik temu, dan dominasi Mu’awiyah mampu mengalahkan pengaruh Kholifah Ali. Mu’awiyah pun lalu diangkat pendukungnya sebagai Kholifah di Daarussalaam (Yerusalem).

Akhirnya pada tahun 661 Masehi, Kholifah Keempat dari Khulafahur Rosyidin (Kholifah Yang Diberi Petunjuk, atau empat Kalifah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, seorang sahabat, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam; dibunuh oleh al-Fasiq Ibnu Muljam, dari kaum Khawarij.

Sebagian umat yang tetap setia kepada Ali yang menyebut dirinya sebagai kaum Syi’ah Ali (pendukung Ali), kemudian mengangkat anak pertamanya, Hasan bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, sebagai Kholifah penerus.

Namun, Hasan bin Ali bin Abi Tholib kemudian membuat kebijakan untuk berdamai dengan Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - dengan sejumlah syarat penting yang diajukannya yang mengutamakan kemaslahatan kedamaian umat setelah puluhan-ratusan ribu dari dua golongan Muslim (antara pendukung Hasan dan pendukung Mu’awiyah) telah berhadap-hadapan untuk siap berberperang tumpas tuntas (antara lain disebutkan panjang-lebar di Kitab ”Al Bidayah wan Nihayah” Jilid VII hal 245 tulisan Ibnu Katsir). Ini adalah sebuah langkah luar-biasa. Demi kemaslahatan umat.

Dan beliau pun, Al Hasan, memilih mundur dari perseteruan tentang pemfitnahan dan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan rodhiyallahu ’anhu dan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - itu, yang berujung menjadi perebutan kekuasaan ini, untuk kemudian tinggal di Madinah tanpa terlibat gerakan politik apapun, sampai wafatnya pada tahun 669 Masehi.

Kiranya sangat penting untuk dicatat bahwa pendamaian umat oleh cucunya ini, yakni Hasan bin Ali bin Abi Tholib, bahkan telah diramalkan oleh Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam sendiri. Dalam kitab ash-Shahih telah diriwayatkan dari Abu Bakrah, demikian pula diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Abdillah bahwa Rosululloh sholalallahu ’alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid, kelak Allah subhanahu wa ta’aala akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimiin melalui dirinya."  

Maka, Al Hasan - rodhiollohu ‘anhu -, cucu Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - pun dicatat oleh sejarah, turun jabatan, dan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu'awiyah rodhiollohu ‘anhu. Terjadilah, apa yang dikatakan oleh Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dalam Haditsnya ini, dan Rosulullah  - shollollohu ‘alaihi wasallam - adalah Utusan Allah, manusia yang benar, dan dikenal jujur bahkan sebelum beliau menjadi Nabi.

Allahu akbar!

Maka secara praktis, kekuasaan Kekholifahan saat itu dipegang oleh Mu’awiyah rodhiollohu ‘anhu. Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - kemudian memindahkan pusat Kekholifahannya ke Damaskus, Syria. Dinastinya disebut sebagai Dinasti Umayyah.

Terus demikian, dengan pemerintahan yang cukup baik dinilai banyak kalangan, sempat hampir ditandingi oleh Dinasti Marwan, namun baru terdesak oleh kekuatan baru beberapa Abad kemudian oleh Dinasti Abbasiyah dari garis paman Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, Al Abbas - rodhiollohu ‘anhu - (yang juga diakui sebagai Ahlul Bait berdasarkan Hadits), dan Dinasti Umayyah ini berpindah ke Spanyol hingga masa akhir pemerintahan mereka yang diakhiri oleh serbuan Kristen Katolik Spanyol dan Eropa dalam proses Masa Inkuisisi Eropa.

Dinasti Abbasiyah sendiri mendirikan pusat pemerintahan di Baghdad, dan antara lain Kholifah yang terkenal darinya adalah Kholifah Harun al Rasyid sampai hancur beberapa Abad kemudian, menjelang masa akhir Abad Petengahan atau menjelang  masa Renaissance, oleh serbuan Mongol yang dibantu Syi’ah.

Sebagai catatan, bangsa Mongol itu kemudian masuk Islam, dan kembali ke daerah mereka di Asia Tengah, bercampur dengan berbagi bangsa, dan melahirkan wilayah-wilayah kedaulatan seperti India yang sempat diperintah Dinasti Mogul Islam (dan kini berpecah menjadi Pakistan yang Islam dan India yang Hindu), juga wilayah-wilayah lain yang masih ada hingga kini seperti Kazakshtan, Azerbaijan, Uzbekistan, Tarjikistan, Chechnya, dan lain-lain. 

Dan dengan menelaah sejarah, dinamika peristiwa kejayaan dan juga kemunduran dunia Islam yang silih berganti kiranya dapat mulai lebih jelas ditengarai (di antara berbagai sebab lain yang mungkin), katakanlah sejak pada waktu adanya bibit perpecahan di antara pertama, mereka yang kemudian menamakan dirinya golongan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah (lazim disebut Sunni) dengan golongan Islam yang kedua, yakni golongan Syi’ah Ali (lazim disebut Syi’ah), sesudah masa pemerintahan Khulafahur Rosyidin.

Dan apa yang kemudian disebut sebagai masa perang saudara periode Fitnah Kedua, dimulai saat di Kufah sewaktu umat yang setia kepada Kholifah Keempat dari Khulafahur Rosyidin, Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - (Syi’ah Ali) yang sebagian besar tinggal di Kufah, mendukung anak kedua Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -, yakni Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, untuk menjadi kholifah pengganti Ali (dan dengan sendirinya juga untuk menggantikan Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - serta Hasan bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -). Mereka, mengirimkan banyak surat dukungan kepada Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - untuk menjadi kholifah pengganti.

Dan akhirnya Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan rombongannya keluar dari Madinah ke Kufah untuk bersatu dengan para pendukungnya itu. Namun saat itu, kaum yang mengklaim sebagai Syi’ah (pendukung) Husain - rodhiollohu ‘anhu - penduduk Kufah yang telah diintimidasi oleh gubernur setempat dari Bani Umayyah menarik dukungannya dari Husain, dan tak muncul di Karbala mendukung Husain - rodhiollohu ‘anhu -.
Padahal Husain - rodhiollohu ‘anhu - bergerak ke Kufah, karena diberitahu akan adanya dukungan terhadapnya. Namun dukungan dari kaum yang menyebut dirinya sebagai Syi’ah itu, pendukungnya, tidak pernah muncul, di Karbala.

Tinggallah Husain - rodhiollohu ‘anhu - dan sedikit pendukung serta keluarganya berhadapan dengan pasukan besar suruhan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Yazid I), anak Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang dipersiapkan Mu’awiyah menjadi Kholifah penggantinya yang memintanya untuk kembali ke Madinah serta mendukung Yazid. Husain - rodhiollohu ‘anhu - menolak untuk mundur menyerah serta meyakinkan masyarakatnya akan teladan keluarga Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - pada perjalanan mencari nilai-nilai Islam sjati, dan terus mengingatkan umat akan tugas utama mereka.

Al Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu – kemudian meninggal dibantai bersama para pengikutnya, dan di antara sebabnya kiranya adalah justru karena tak menemukan bantuan yang dijanjikan kaum Syi’ah sendiri yang berjanji berbaiat kepadanya di Iraq yang konon mencapai ratusan ribu orang namun tak menjumpainya di Karbala, yang akhirnya menjadi tempat pembantaian Husain dan pengikutnya (termasuk juga yang syahid adalah anak-anak Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - lainnya yang di antaranya bernama Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengikuti nama-nama para sahabatnya dan sahabat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - itu). Disebutkan pula bahwa Husain bin Ali bin Abi Tholib, - rodhiollohu ‘anhu -, cucu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, meninggal paling akhir sambil menggendong bayi laki-lakinya.

Saya sedang memangku (Imam) Husain (bin Ali bin Abi Tholib) ketika Nabi – shololollohu ‘alaihi wasallam - datang dan memandangnya sambil menitikkan air mata. Saya bertanya kepada beliau mengapa menangis. Rasululloh – shololollohu ‘alaihi wasallam - mengungkapkan bahwa Jibril telah memberitahunya bahwa para pengikutnya akan membunuh cucunya, Husain – rodhiollohu ‘anhu -. (Baihaqi meriwayat dari Ummu al-Fadhl). 

Maka sebagian kalangan kemudian berasumsi menyebutnya sebagai pembunuhan terencana oleh Kholifah Yazid bin Mu’awiyah. Namun sebagian lainnya, yang lebih besar dan lebih didasarkan kepada sumber pustakan yang lebih terjaga meyakininya sebagai kesalahpahaman dan ketakjelasan tafsir perintah Kholifah Yazid bin Mu’awiyah terhadap panglimanya dan juga dikisahkan Yazid sangat menyesal dan kemudian bertobat atas ini,  karenanya.
Selain dicatat oleh sumber pustaka Ahlus Sunnah wal Jama’ah (misalnya oleh Ibnu Katsir di Al Bidayah wan Nihayah).

Ini dicatat bahkan oleh sumber Syi’ah, antara lain ini dapat ditemukan di ’Alaa Khutha Husain hal 94, Faaji’atu ath Thaff hal 6, Muntaha al Amaal (1 atau 430), Asy Syii’ah wa Asyuura; hal 67 oleh Ridha Husein Shubh Al Huseini, Siiratul Amimmati al Itsna’asyar 2 atau 57-58, Maqtal Husain oleh Al Muqarram hal 147, Ma’saatu Ihda wa Sittiin hal 24, Muntaha al Amaal 1 atau 437, Tadhallum Az Zahra hal 149, Bahru al’Ulum hal 191-192, Muntaha al Amaal 1 atau 466, An Nafsu al Mahmuum hal 177, Muntahaa al Amaal (1 atau 462), Majlisi di Bihaarul Anwar (44 atau 374), Muhsin al Amin dalam Lawaij al AsyHaan hal 67, Abdul Husein al Musawi dalam Al Majaalisal Faakhirah hal 85, Abdul Hadi ash Shalih dalam Khoirul Ashaab hal 37 dan hal 10, ’Ala Khutha Husain hal 130-131.

Sepeninggal Kholifah Ali bin Abi Tholib dan anaknya Hasan serta Husain rodhiollohu ‘anhum, setelah Masa Fitnah Kedua, di kemudian hari, kaum Syi’ah membentuk komunitas sendiri dan mengangkat Imam mereka sendiri. Syi’ah sendiri menjadi populer di kemudian hari di Iran dan Iraq.

Bahkan sebagian dari Syi’ah yang radikal dan ekstrim juga kemudian menimpakan tanggungjawab segala carut-marut kekacauan dunia Muslim dan bahkan kekacauan dunia, kepada ketiga Kholifah pertama Khulafahur Rosyidin yakni Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khottob, dan Utsman bin Affan, dan tak pelak juga mencaci-makinya alias tasyayyu’. Kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau yang lazim disebut sebagai Sunni, pada prinsipnya secara umum tentu sangat tidak menyetujui hal-hal ini.

Paling tidak ada dua pendapat dan golongan besar pula mengenai penyebab utama kekacauan antara Syi’ah dan Sunni ini:

Golongan pertama adalah mereka yang percaya bahwa sunguh ada Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang menyatakan bahwa Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - tidak menyatakan ada penggantinya yang beliau tunjuk secara khusus, dan golongan ini biasanya adalah golongan Sunni dan sebagian Ahlul Bait yang mendukung apa yang dapat disamakan sebagai paham demokrasi dan egaliterianisme, atau persamaan akan hak dan kewajiban dan musyawarah.

Golongan kedua, adalah mereka yang percaya bahwa sungguh ada Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang menyatakan bahwa Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - menunjuk dengan jelas penggantinya berasal dari golongan ahlul bait (keluarga atau keturunan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), dan penggantinya tersebut dengan sendirinya adalah Ali bin Abi Tholib, sebagai yang terdekat berdasarkan garis keturunan saat itu sepeninggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dan golongan kedua ini biasanya tergolongkan dalam golongan Syi’ah dan sebagian Ahlul Bait.

Hadits yang dimaksud itu adalah:

Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - (HR. Muslim) 


Mengenai Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang dimaksudkan keduanya ini, kedua golongan ini juga umumnya sangat berbeda pendapat mengenai redaksi kalimat lengkapnya (entah siapa sebenarnya yang menyebarkan fitnah kebohongan ini). Kaum Syi’ah mempercayai bahwa dalam Hadits tersebut jelas ada kalimat yang menunjuk kepada Ahlul Bait (keluarga atau keturunan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), Ali lah sebagai keluarga terdekat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang pantas memimpin, sebagai pemimpin pengganti Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dan ada yang berpendapat bahkan jelas disebutkan dalam Hadits tersebut.
Kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Sunni, secara umum tidak menemukannya dan karenanya juga tidak mengakui Hadits ini, lagipula menurut mereka, Rosululloh sholollohu‘alaihi wa salaam jelas tidak dikaruniai keturunan anak laki-laki yang hidup cukup lama untuk menjadi dewasa dan memimpin, sehingga azas kaidah pernasaban menjadi tidak kuat lagi dipakai untuk dijadikan landasan suksesi kepemimpinan, selain alasan makna Islam sebagai agama untuk seluruh umat manusia atau prinsip rahmatan lil ’alaamiin, sehingga siapapun berhak menjadi Kholifah, asalkan dipandang mampu.

Ada pula perbedaan tafsir mengenai peristiwa di Ghadir Khumm mengenai pengangkatan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -  sebagai Kholifah atau tidak, mengenai keutamaan Ali - rodhiyallahu ’anhu - terhadap yang lain, mengenai warisan Rosulullah  - shollollohu ‘alaihi wasallam - mengenai Tanah Fadak dan sikap Fathimah binti Muhammad terhadapnya, mengenai peristiwa pengangkatan Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallahu ’anhu sebagai Kholiah pertama, mengenai isu penyerangan terhadap Fathimah binti Muhammad, mengenai Perang Unta, dan lain sebagainya.

Beberapa hal ini, masih menjadi batu ganjalan yang relatif cukup besar dalam proses rekonsiliasi umat, bahkan hingga kini, walau sudah banyak bukti yang meluruskannya.

BERSAMBUNG KE BAGIAN KETIGA

TENTANG SYI'AH - BAGIAN I

Syi’ah

Definisi Syi’ah menurut Ensikoledi Islam (1997), adalah ”Syi’ah dari segi bahasa berarti Pengikut, Kelompok atau Golongan. Dari segi terminologi berarti satu golongan dalam Islam yang meyakini bahwa Kholifah Keempat dari empat Khulafahur Rosyidin (Kholifah yang diberi petunjuk) Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam”.

Disebutkan pula bahwa jumlah pengikutnya adalah sekitar 20% muslim seluruh dunia, dan berada tersebar di negara-negara Iran, Iraq, Afghanistan, Pakistan, India, Libanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, bekas negara Uni Soviet, serta beberap negara Amerika dan Eropa.

Di antara pengikutnya, terbagi-bagi menjadi berbagai Firqoh (perpecahan) yang in syaa Allah akan diterangkan. Ada yang masih mau beribadah bersama kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan golongan lain, namun ada pula yang memusuhi (bahkan menganggap kafir)  Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik secara sembunyi-sembunyi (taqiyyah) maupun terang-terangan.

Dalam perkembangannya, istilah Syi’ah ini melekat dengan pengikut (Syi’ah) Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang memilih beroposisi terhadap kekuasaan Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - pasca peristiwa arbitrase perdamaian antara Ali - rodhiollohu ‘anhu - dan Mu’awaiyah - rodhiollohu ‘anhu -, bahkan setelah perdamaian antara Hasan bin Ali bin Abi Tholib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, rodhiyallahu ’anhum.

Kaum ini berkeyakinan bahwa yang sesungguhnya berhak menggantikan Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - sebagai pemimpin adalah hanya keluarganya (ahl al-bait atau ahlul bait). Dan di antara keluarganya yang paling berhak, adalah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - sebagai menantu dan sepupu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, karena tak ada anak laki-laki Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang hidup sampai akil-baligh atau dewasa.

Pendeknya, sepeninggal Ali - rodhiollohu ‘anhu -, hak imamah (kepemimpinan umat Islam) tersebut semestinya beralih kepada anak-anak keturunannya dari Fatimah binti Muhammad al-Zahrah, putri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam; menurut mereka. Maka dalam paham Syi’ah, imamah (kepemimpinan umat), haruslah berdasar pada nash (keturunan) dan penunjukan.

Dan fenomena yang menarik, ada sebagian dari kalangan yang populer di Indonesia, yaitu kalangan Habib atau Haba’ib yang dikenal juga sebagai ’Alawiyyin atau Ba Al(a)wi atau Sayyid-Sayyidah atau Syarif-Syarifah, pendeknya mereka yang merasa masih termasuk sebagai Ahlul Bait (keturunan atau keluarga besar Nabi  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang bagi kalangan lain masih dapat diperdebatkan keabsahan nasabnya); bersimpati kepada, mengajarkan secara tak sengaja, atau bahkan sengaja dan terang-terangan mengikuti Syi’ah dan melakukan ritualnya serta mengajarkannya.

Maka golongan ini mempopulerkan Madzhab baru, yangdisebutkan Madzhab Ahlul Bait, dengan argumen bahwa siapapun juga dari keturunan Nabi shollollohu ‘alaihi wasallam (dan mungkin pula keturunan para Nabi yang lain), pasti benar, apapun juga yang terjadi, lebih-kurangsecara singkat.
Sebagai catatan penting, sebagian lain dari golongan Ahlul Bait ini, masih tetap Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan bahkan cukup banyak juga yang sangat menentang kaum mereka sendiri yang menjadi Syi’ah dan Madzhab baru itu.

Maka Syi’ah berlindung di balik pemahaman kecintaan terhadap Ahlul Bait.

Satu hal yang mengherankan, apakah Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) tidak harus dan patut mencintai Ahlul Bait sedangkan ini bagian dari akidah Sunni?

Mengapa Syi’ah berusaha menonjolkan ini sebagai ciri khas mereka, padahal Keduabelas Imam mereka tidak berusaha membenci dan menyebarluaskan kebencian terhadap Sahabat Nabi, yang sebenarnya juga adalah Ahlul Bait, dan mereka saling berkerabatan?

Saling berbesan? Saling bermenantu? Saling bermertua?

Dan ini termasuk Rosululloh Muhammad bin ’Abdullah bin Abdul Muthalib shollollohu ’alaihi wasallam sendiri?

Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - sendiri adalah anak dari bangsawan Quraisy Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu – kerabat dari Rosululloh – shollollohu ‘alaihi wasallam - yang dulu memerangi dengan sangat sengit kaum Muslimiin generasi pertama namun berhenti dan bertobat masuk Islam kira-kira pada masa dalam pembebasan atau pemenangan kota Makkah (Fathu Makkah) oleh kaum muslimiin, bahkan kemudian ikut berperang di pihak muslimiin dengan setia. Beliau, Mu’awiyah bin Abu Sufyan – rodhiollohu ’anhu - , adalah salah satu sahabat pula, tentu saja, dan bahkan juga meriwayatkan Hadits.

Pendapat yang paling menonjol tentang munculnya Syi’ah adalah bahwa golongan ini muncul setelah Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - terbunuh oleh kaum pemberontak Khawarij. Maka pada saat itu golongan umat menjadi terbagi antara lain lebih-kurang menjadi:

1)    Golongan Jumhur (mayoritas umat, yaitu para sahabat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan para tabi’in serta solihiin).
2)    Golongan Khawarij (yang menginginkan kehidupan agama idealis ekstrem dan mudah memvonis kafir orang yang melakukan dosa).
3)    Golongan Syi’ah (pendukung) Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - (yang oleh Ali - rodhiollohu ‘anhu - sendiri, dicermati dengan was-was, kiranya) untuk semakin menguat setelah ada pertentangan antara Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan Mu’awaiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - mengenai pembunuhan Kholifah Utsman dan lain-lain hal.

Jumhur ahli bersepakat bahwa ini juga terjadi akibat campur-tangan hasutan ‘Abdullah bin Saba’ (’Abdullah ibnu Saba’), Yahudi Madinah yang berpura-pura masuk Islam dan menghasut-mengacau dari dalam umat, di Abad Pertama Islam pada masa pemerintahan Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -. Adalah ‘Abdullah Ibnu Saba’, yang pertama kali dikenal mengakui Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - sebagai Kholifah, berkedudukan lebih tinggdir daripada kesemua Khulafahur Rosyidin yang lain dan bahkan – lebih jauh - sebagai jelmaan Tuhan.

Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi berasal dari Shan’a, Yaman yang datang ke Madinah kemudian berpura-pura setia kepada Islam pada masa Khilafah dari Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - padahal dialah yang sesungguhnya mempelopori kudeta berdarah dan melakukan pembunuhan kepada khalifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, dialah juga pencetus aliran Syi’ah yang kemudian mengkultuskan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -.

Kelahiran Syi`ah diawali ketika seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah Bin Saba muncul dan berpura-pura memeluk Islam, mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), berlebihan dalam menyanjung Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ‘anhu , dan menda’wahkan adanya wasiat khusus dari Nabi - shollollohu ‘alaihi wasallam - bagi Ali rodhiollohu ‘anhu untuk menjadi Kholifah sepeninggal beliau shollollohu ‘alaihi wasallam, serta pada akhirnya ia mengangkat Ali rodhiollohu ‘anhu  ke tingkat ketuhanan.

Ia mentransfer apa-apa yang ditemukannya dalam ide-ide Yahudi ke dalam ajaran Syi`ah, seperti Raj`ah (munculnya kembali Imam), menetapkan sifat bada` bagi Allahyaitu Allahbaru mengetahui sesuatu bila sudah terjadi, para Imam mengetahui hal-hal yang ghaib dan ide-ide lainnya. Ia pernah berkata ketika ia masih menganut agama Yahudi, bahwa Yusha Bin Nun telah mendapat wasiat dari Nabi Musa ‘alaihis salaam, sebagaimana dalam Islam bahwa Ali juga telah mendapat wasiat dari Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam.

‘Abdullah Bin Saba telah berpindah-pindah dari Madinah ke Mesir, Kufah, Fusthath dan Basrah, kemudian berkata kepada Ali: “Engkau, Engkau”, maksudnya “Engkau (Ali) adalah Allah”, sesuatu yang mendorong Ali memutuskan diri untuk membakarnya sebagai hukuman, tetapi Abdulloh bin Abbas rodhiollohu ‘anhu menasihatinya agar keputusan itu tidak di laksanakan. Kemudian ia di buang ke Madain.

Saif bin Umar at Tamimi mengatakan (lihat Tarikh ath-Thabari, 4 atau 340 dan sesudahnya) bahwa sebab terjadinya pemberontakan beberapa kelompok terhadap Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - adalah seorang Yahudi bernama ‘Abdullah bin Saba' yang berpura-pura beragama Islam dan pergi ke daerah Mesir untuk menyebarkan idenya sendiri di beberapa kalangan masyarakat.

la mengatakan kepada seseorang, "Bukankah ‘Isa bin Maryam akan kembali ke dunia?" Jawab orang itu, "Ya!" la berkata lagi, "Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - lebih baik daripada ‘Isa. Apakah kamu mengingkari bahwa beliau akan kembali ke dunia sementara beliau lebih mulia dari pada ‘Isa bin Maryam?", kemudian ia berkata, "Beliau telah memberikan wasiatnya kepada Ali bin Abi Tholib. Muhammad Nabi terakhir dan Ali penerima wasiat yang terakhir. Berarti Ali lebih berhak untuk menjabat sebagai kholifah dari pada Utsman bin Affan dan Utsman telah merampas hak yang bukan miliknya."

Demikian dicatat di Kitab “Al Bidayah wan Nihayah”.

Di antara isu-isu yang disebarkan oleh ‘Abdullah bin Saba’ untuk memecah belah Umat Islam pada saat itu antara lain:
  1. Bahwa Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - telah menerima wasiat sebagai pengganti Rosululloh sholollohu ‘alaihi wa sallam. (An Naubakhti , firaq As Syi’ah, hal. 44)
  2. Bahwa Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, rodhiollohu ‘anhum, adalah orang-orang zalim, karena telah merampas hak khilafah Ali - rodhiollohu ‘anhu - setelah wafatnya Rosululloh shalollohu ‘alaihi wa sallam. Umat Islam saat itu yang membai’at ketiga khilafah tersebut dinyatakan kafir. (An Naubakhti, op cit, hal. 44)
  3. Bahwa Ali bin Abi Thalib - rodhiollohu ‘anhu - adalah pencipta semua mahluk dan pemberi rezeki. (Ibnu Badran, Tahdzib al Tarikh al Dimasyq, Juz VII, hal. 430)
  4. Bahwa Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam akan kembali lagi ke dunia sebelum hari Kiamat, sebagaimana kepercayaan akan kembalinya Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam (Ibnu Badran, op cit, juz VIII, hal. 428)
  5. Bahwa Ali - rodhiollohu ‘anhu - tidak mati, melainkan tetap hidup di angkasa. Petir adalah suaranya ketika marah dan kilat adalah cemetinya. (Abdullah Al Thahir Ibnu Muhammad Al Baghdadi, Al Firaq Baina Al Firaq, hal. 234)
  6. Bahwa ruh Al Quds berinkarnasi ke dalam diri para Imam Syi’ah. (Al Bad’u wa Al Tarikh, juz V, hal. 129, th 1996)
  7. Dan lain-lain
Dapat ditambahkan pula bahwa Abu Muhammad  al Hasan Ibnu Musa An Naubakhti, seorang ulama Syi’ah yang terkemuka, di dalam bukunya  “Firaq As Syi’ah” hal. 41-42 mengatakan bahwa Ali – rodhiollohu ‘anhu - pernah hendak membunuh Abdullah bin Saba’ karena fitnah dan kebohongan yang disebarkan, yakni menganggap Ali sebagai tuhan dan mengaku dirinya sebagai Nabi, akan tetapi tidak jadi karena tidak ada yang setuju.

’Abdullah bin Saba’ sendiri justru kemudian dihukum mati oleh Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - namun melarikan diri ke Qarqisita. Ini dapat dilihat di Kitab Al Bidayah wan Nihayah dan Al Aqidah ath-Thohiriyah halaman 488.

Pengikutnya bahkan ada yang menyatakan bahwa Ali rodhiyallahu ’anhu adalah jelmaan Tuhan.

Namun beberapa kalangan Syi’ah - bahkan berkeras - mengatakan bahwa ’Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif. Di Indonesia, M. Hashem (sebagian orang mengatakan ia adalah O. Hashem) antara lain adalah satu di antaranya, dan ini ia tuliskan dalam bukunya yang berjudul “Abdullah bin Saba’ Benih Perpecahan Ummat” yang diterbitkan oleh YAPI, Bandar Lampung. Ini adalah saduran dari buku yang berjudul “Abdullah bin Saba’” yang ditulis oleh Murtadha Al Askari, seorang imam Syi’ah yang bermukim di Irak.

Menurutnya:
  1. Seluruh berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ yang ditulis dalam buku-buku sejarah baik oleh Ibnu Katsir, Ibnu Atsi, Ahmad Amin, Nicholson, Wehausen maupun yang lainnya, mengutip dari buku sejarah tulisan Ath Thabari.
  2. Sedangkan Ath Thabari memperoleh berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ melalui jalur Saif bin Umar At Tamimi.
  3. Padahal Saif bin Umar At Tamimi dikenal sebagai perawi yang lemah, suka berdusta dan tidak bisa dipercaya. Demikian menurut ahli-ahli hadits seperti Ibnu Hajar, Ibnu Hibban, Al Hakim, nasa’i dan lain-lain.

Oleh karena itu, menurut M. Hasem, berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ yang ditulis dalam buku sejarah dengan mengambil sumber buku Ath Thabari tak dapat dipercaya, karena dalam setiap jalur riwayat (sanad) yang diambil oleh Ath Thabari, terdapat Saif bin Umar At Tamimi yang tak dapat dipercaya.

Begitulah kata M. Hashem (lihat skema di halaman 81). Dan buku tersebut ternyata ada juga pengaruhnya di kalangan intelektual - kiranya yang kurang tahu atau tidak berpendirian kuat - di Indonesia seperti pada mendiang Nurcholis Majid (sebagaimana di tulisannya di majalah Tempo, 19 Desember 1987, hal. 102) atau yang serupa dengannya dan mereka yang tidak mempunyai pengetahuan cukup tentang sejarah Islam.

Sebenarnya yang mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif, sudah agak lama juga muncul.

Pendapat tersebut dipelopori oleh para Orientalis dan dikembangkan oleh Murtadha Al Askari, seorang tokoh Syi’ah pertengahan abad XX yang berasal dari Iraq itu. Kemudian diikuti oleh; Dr. Kamal Asy-Syibi, Dr. Ali Al-Wardi (keduanya murid orientalis dari Iraq). Dr. Thaha Husein, Dr. Muhammad Kamil Husein, Thalib Al Husein, Al Rifa’i (murid-murid orientalis dari mesir), Muhammad Jawad Al mughniyah, Dr. Abdullah Fayyah (murid-murid orientalis dari Libanon).

Maka mengenai ini, benarlah bahwa Saif bin Umar At Tamimi memang dinyatakan lemah, dan tidak dapat dipercaya oleh para ‘Ulama Ahlul Hadits. Akan tetapi ini dalam masalah yang ada hubungannya dengan hukum Syari’ah, Hadits, dan sama-sekali bukanlah dalam bidang Sejarah.

Yang mereka lemahkan adalah kualitas periwayatan haditsnya. Artinya, jika Saif bin Umar At Tamimi meriwayatkan hadits, kualitas periwayatan haditsnya lemah.

Namun dalam masalah Sejarah, maka beliau, Saif At Tamimi, justru dapat dijadikan sandaran dan rujukan dengan kualitas baik.

Dan perkara Syi’ah jelas adalah perkara Sejarah dan Politik, tentu saja, utamanya.

Imam Adz-Dzahabi yang juga adalah ‘ulama yang Syi’ah jadikan rujukan untuk melemahkan Saif bin Umar At-Tamimi juga berkata dalam kitabnya Mizanul I’tidal 2/ 255, “Ia (Saif bin Umar) adalah pakar sejarah yang paham.”
Jaminan kedudukan baik Saif bin Umar at Tamimi sebagai rujukan sejarah ini antara lain dinyatakan oleh Ibnu Hajar - yang beliau ironisnya termasuk ‘ulama Sunni yang Syi’ah jadikan rujukan untuk melemahkan kedudukan Saif bin Umar At-Tamimi dalam perkara ‘Abdullah bin Saba’ itu - dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib 1/408 dan Taqribut Tahdzib 1/408, sebagaimana berikut:

“Saif bin Umar At-Tamimi pengarang kitab Ar-Riddah, ada yang mengatakan dia Adh-Dhabi ada yang mengatakan selainnya, Al-Kufi Dha’if haditsnya, (akan tetapi) Umdah (bisa dijadikan sandaran) dalam bidang tarikh/sejarah.”
Demikian pula Syaikh Al-Mubarakfuri yang juga terkenal sebagai salah satu penulis Sirah Nabawiyyah atau Sejarah-Biografi Nabi dari berbagai buku Sirah Nabawiyyah dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi 10/249 menyebutkan seperti ucapan Ibnu Hajar di atas.

Umar Kahalah dalam kitabnya Mu’jamul Muallifin 4/288 juga mengatakan:

“Saif bin Umar At-Tamimi Al Burjumi, Ahli sejarah berasal dari Kufah.”

Dan lagipula, berita tentang adanya Abdullah bin Saba’ tidak hanya melalui jalur Saif bin Umar At Tamimi saja. Malah Abu Amr Muhammad ibnu Umar Al izz Al Kasyi (imam hadits dari kalangan Syi’ah sendiri) meriwayatkan Abdullah bin Saba’ melalui 7 jalur, dan ini tanpa melalui jalur periwayatan Saif bin Umar At tamimi, yang dianggap mereka lemah tak cukup dapat dipercaya itu.

Periwayatan adanya ‘Abdullah bin (ibnu) Saba’, yang tanpa jalur periwayatan dari Saif bin Umar At Tamimi itu yaitu:
  1. Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi Al Qummy dari Sa’ad ibnu Abdullah ibnu Abi Khalaf, dari Abdurrahman ibnu Sinan, dari Abdu Ja’far A.S.  Al Kisyi juga mengemukakan hal yang sama dalam bukunya Rijalul Kisyi hal 106-108 (Rijal Al Kasyi, tepatnya halaman 107). Dalam buku Al Maqolat wal Firoq halaman 10-21, Al Qummi mengakui keberadannya dan menganggap Ibnu Saba’ sebagai orang pertama yang mengatakan bahwa nabi telah mewasiatkan kepada Ali untuk menjadi imam , bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia setelah wafat, dan orang pertama yang memulai mencela dan memaki Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat nabi. Hal ini seperti dikemukakan Naubakhti dalam bukunya Firoqusyi’ah hal 19-20.
  2. Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi, dari Sa’ad ibnu Abdillah dari Ya’qub ibnu Yazid dan Muhammad ibnu Isa, dari Abu Umair, dari Hisyam Ibnu Salim dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 107).
  3. Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi, dari Sa’ad ibnu Abdillah dari Ya’qub ibnu Yazid dan Muhammad ibnu Isa dari Ali ibnu Mahzibad, dari Fudhallah ibnu Ayyud Al Azdi, dari Aban ibnu Utsman dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 107).
  4. Dari Ya’qub ibnu Yazid, dari Ibnu Abi Umair dan Ahmad ibnu Muhammad ibnu Isa dari Ayahnya dan Husein Ibnu Sa’id, dari Ibnu Abi Umair, dari Hisyam ibnu Salim, dari Abu Hamzah Ats Tsumali, dari Ali ibnu Husein. (Rijal Al Kasyi, halaman 108).
  5. Dari Sa’ad ibnu Abdillah, dari Muhammad ibnu Khalid Ath Thayalisi, dari Abdurrahman ibnu Abi Najras, dari Ibnu Sinan, dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 108).
  6. Dari Muhammad ibnu Al Hasan, dari Muhammad Al Hasan Ash Shafadi, dari Muhammad ibnu Isa, dari Qasim ibnu Yahya, dari kakeknya Al Hasan ibnu Rasyid, dari Abi Bashir, dari Abu Abdillah A.S. (Al Shaduq, Ila Al Syara’i’I, cetakan ke II, halaman 344).
  7. Dari Sa’ad ibnu Abdillah, dari Muhammad Isa ibnu Ubaid Al Yaqthumi, dari Al Qasim ibnu Yahya, dari kakeknya Al Hasan Ibnu Rasyid, dari Abi Bashir dan Muhammad ibnu Muslim, dari Abi Abdillah A.S. (Ash Shaduq, Al Khisal, cetakan tahun 1389 H, halaman 628).

Demikianlah, yang justru dari kalangan Syi’ah sendiri.

Adapun dari kalangan Sunni, Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam bukunya “Lisan al Mizan” (jilid III, halaman 289-290, cetakan I, tahun 1330 H) meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba’ melalui enam jalur, yang juga tanpa melalui jalur periwayatan dari Saif bin Umar At Tamimi itu. Yaitu:
  1. Dari Amr ibnu Marzuq, dari Syu’bah, dari Salamah ibnu Kuhail, dari Zaid ibnu Wahab, dari Ali bin Abi Thalib - rodhiollohu ‘anhu -
  2. Dari Abu Ya’la Al Muslihi, dari Abu Kuraib, dari Muhammad ibnu Al Hasan Al Aswad, dari Harun ibnu Shahih, dari Al Harits ibnu Abdirrahman, dari Abu Al Jallas, dari Ali bin Abi Thalib. - rodhiollohu ‘anhu -
  3. Dari Abu Ishaq al Fazari ibnu Syu’bah, dari Salamah ibnu Kuhail, dari Abu Zara’i’i dari Yazid ibnu Wahab.
  4. Dari Al Isyari dan Al Alka’i dari Ibrahim, dari Ali. - rodhiollohu ‘anhu -
  5. Dari Muhammad ibnu ‘Utsman Abi Syaiban, dari Muhammad ibnu Al  Ala’i, dari Abu Bakar Ayyash, dari Mujalid, dari Asy Sya’bi.
  6. Dari Abu Nu’aim, dari Ummu Musa (Yusuf Al Kandahlawai, hayatus shahabah).
Berdasarkan 13 riwayat yang sama-sekali tidak melalui Saif bin Umar At Tamimi ini (baik dari ‘ulama Syi’ah maupun ulama ‘Sunni), maka alasan mereka yang hendak menghilangkan figur Abdullah bin Saba’ dari catatan Sejarah, tentu saja sama-sekali tidak dapat dipertahankan.

Maka Abdullah bin Saba’ jelaslah bukan tokoh fiktif.

BERSAMBUNG KE BAGIAN II