Cari Blog Ini

Minggu, 26 Januari 2014

TENTANG SYI'AH - BAGIAN II

Pada Abad pertama Islam, ajaran Syi’ah masih terbatas pada pengutamaan Kholifah Keempat Ali - rodhiollohu ‘anhu - terhadap Kholifah Keempat Utsman (dinyatakan oleh Imam Sya’bi dan Ja’far Ash Shadiq) rodhiollohu ’anhu. Lama kelamaan ini berkembang menjadi madzhab tersendiri bahkan gerakan makar yang tak mau mengakui keKholifahan Kholifah Pertama Abu Bakar As Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, Kholifah Kedua Umar bin Khoththob - rodhiollohu ‘anhu -, dan Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, bahkan mengkafirkan ribuan sahabat Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam lain.

Termasuk karenanya menjadi bahkan tak mempercayai Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka, yang kemudian tentunya termasuk tak mempercayai bahkan mengkafirkan muslim pengikutnya (yang kemudian jamak disebut sebagai kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Sunni atau Al Ghuroba’ atau Ath Thoifatul Manshuroh atau Al Firqotun Najiyah dan sebagainya itu).

Syi’ah karenanya lebih mempercayai Hadits dan ajaran yang dibawa oleh imam mereka sendiri, yang sayangnya ternyata banyak yang tak melalui verifikasi Hadist yang ketat. Dan karenanya, terutama kaum atau sekte ekstrem dari Syi’ah juga menganggap Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai golongan Nawashib atau golongan yang membenci Ahlul Bait, satu hal yang tentu saja sangat tak masuk akal dituduhkan kepada kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, setidaknya karena jelas kaum ini menuruti Hadits, dan salah satu Hadits menyuruh muslim untuk mencintai kaum Ahlul Bait atau keturunan dari Rosulullah shollollohu ‘alaihi wasallam.

Jadi kemudian Syi’ah berlindung kepada kecintaan – berlebihan – terhadap golongan Ahlul Bait, dan pengikutnya. Dan sudah pula disampaikan di atas, namun, tak semua Ahlul Bait mau menjadi Syi’ah versi mereka ini, yang kemudian ritual ibadah dan akidahnya menjadi aneh dalam pandangan Sunni berdasarkan Al Quran dan Al Hadits.  

Perlu diketahui kemudian, bahwa sekte dalam Syi’ah ada banyak pula. Dan sekte yang paling moderat dari Syi’ah, masih mau bergaul dengan Sunni, bahkan beribadah bersama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), dan tak mengkafirkan Sunni.

Namun bagi kaum Syi’ah tertentu, harta dan darah kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah halal bagi kaum Syi’ah. Dan bahkan di akhir jaman, mereka percaya bahwa Imam Mahdi Syi’ah akan tinggal di Bumi selama 70 tahun untuk membalas dendam, menegakkan hukum keluarga Dawud (hukum Bani Israil), akan menyeru ke Allah dengan nama Ibraninya (Kitab ”Ushul Al Kafi”Jilid I, halaman 398), menghancurkan semua Masjid (Kitab ”Al Gharib” halaman 247 oleh Ath-Thusy), berdamai dengan Yahudi dan Nasrani, dan menghalalkan darah muslim (Kitab ”Bihar al-Anwar” Jilid 52 halaman 376).

Sebagai catatan, sebagian (kecil) dari kaum Syi’ah, ada yang tak mau menerima kitab ”Al Kafi” ini.

Apapun juga, mengenai sejarah munculnya Syi’ah, dalam sejarah dengan proses verifikasi yang ketat, dicatat bahwa sepeninggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, pemimpin atau Khulofahur Rosyidin (Kholifah yang diberi petunjuk) sebagai Kholifah penggantinya, adalah (I) Abu Bakar Ash-Shiddiq (Attiq bin Usman) - rodhiollohu ‘anhu - (dengan gelar Kholifatur Rosul atau Pengganti Rosul), (II) Umar bin Khottob - rodhiollohu ‘anhu -, (III) Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, dan (IV) Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -. Pemerintahan para Khulafahur Rosyidin, dipusatkan di Madinah al Munawaroh. Cerita sejarah ini ditulis dengan bagus di kitab ’Al Bidayah wan Nihayah” tulisan Ibnu Katsir dan ringkasannya adalah sebagaimana berikut.

Maka dipilih oleh umat, secara aklamasi, dan dicatat pula bahwa dalam masa pemerintahannya, Kholifah Abu Bakar - rodhiollohu ‘anhu – yang adalah mertua Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, hingga akhir hayatnya dan dalam pemerintahannya yang cukup singkat, terutama disibukkan memerangi kabilah-kabilah muslim yang murtad, mereka yang tak mau membayar zakat, munculnya para pengaku sebagai nabi baru walau belum lama ditinggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, lalu pembukuan Al Quran, dan administrasi umum umat, sepeninggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam. Beliau meninggal dunia setelah sekitar 2,5 tahun menjabat.

Beliau digantikan Kholifah Umar bin Khothtob - rodhiollohu ‘anhu -, atas dasar wasiat dari Kholifah Abu Bakar ash Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, yang juga adalah mertua Rosululloh sholollohu ’alaihi wasalla, dengan disetujui Umat pula. Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ’anhu, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, menolak untuk menjadi Kholifah, saat itu.

Pemerintahan Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - setelahnya, terutama disibukkan dalam urusan mengatur dan melembagakan dasar-dasar hukum bernegara serta perluasan syi’ar Islam dan wilayah muslim termasuk mengalahkan Romawi dan mendapatkan Persia serta Daarussalaam atau Yerusalem. Dengan sendirinya, Persia, yang saat itu mayoritas rakyatnya adalah penyembah api dalam agama Zarathustra (Zoroaster), serta ada pengaruh aneka Filsafat dan Mitos lain juga paham Yahudi, suka atau tidak suka, menjadi wilayah Islam. 

Beliau dibunuh oleh seorang budak, tawanan perang Persia yang menyaru masuk Islam, Abu Lu’lu’ah Fairuz al Majusi, saat sedang memipin sholat Subuh berjama’ah di Madinah. Abu Lu’lu’ah – laknatulloh (semoga Allah melaknatnya) - menikam berkali-kali Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - dari belakang, dengan belati beracun, dan kemudian juga menikami, melukai, juga membunuh banyak jama’ah lain, sebelum akhirnya membunuh dirinya sendiri.

Disebutkan Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - masih sempat menarik Abdurrohman bin Auf - rodhiollohu ‘anhu - untuk menggantikan dirinya memimpin sholat Subuh, dan setelah sampai rumahnya, sholat Subuh sendirian, dalam keadaan terluka, dan meninggal tiga hari kemudian. Kuburan Abu Lu’lu masih ada hingga kini di Iran, dan juga ada diziarahi kaum Syi’ah. 

Tugas Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - kemudian lebih-kurang dilanjutkan Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - yang adalah menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam sebanyak dua kali (karena istri pertamanya yang adalah anak Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam meninggal dunia dan istri keduanya yang dinikahinya setelahnya juga adalah anak Rosululloh solollohu ’alaihi wasallam), semakin merapikan ketatanegaraan. Di masa beliau pulalah sudah dikenal kompilasi Al Quran yang sudah melalui verifikasi sangat ketat, termasuk dicocokkan dengan standar hapalan ribuan Sahabat.

Sebagai catatan, penulisan Al Quran ini sudah dimulai sejak jaman Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang memang memiliki para Sekretaris penulis, dan verifikasinya diawasi langsung oleh Malaikat Jibril ’Alaihissalaam, namun finalisasinya kira-kira di masa antara Kholifah Umar dan Utsman, rodhiollohu ‘anhum. Jadi bukan dimulai di masa Utsman rodhiollohu ’anhu.

Para kaum Muslimiin generasi Salafus Sholih ini, mau membukukan Al Quran, yang selesai di masa Utsman, rodhiollohu ‘anhu karena sudah jelas bahwa dengan wafatnya Rosulloh shollollohu ‘alaihi wasallam, firman-ayat Al Quran tak akan turun lagi dan bahwa susunannya sudah paripurna seperti yang diajarkan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam.

Namun Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh oleh kaum yang menuduhnya melakukan Nepotisme tak adil dalam mengangkat para Pejabat, yang terutama dari kalangan kabilahnya sendiri, demikian tudingan kaum itu.

Ini suatu hal yang sebenarnya sudah terbantahkan dengan sendirinya, karena keputusan beliau biasanya sudah melalui rapat dengan Dewan Syuraa’ dan sudah melalui tahapan verifikasi bertahap dan juga berdasarkan penilaian berkelanjutan (ini semua dicatat di kitab Al Bidayah wal Nihayah tulisan Ibnu Katsir).

Kaum itu datang dari Fustat (Mesir) dan mengepung rumah Kholifah Ustman - rodhiollohu ‘anhu - dan membunuhnya, kemudian menyusup, berlindung ke umat dan termasuk menjadi pendukung Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -. Kaum ini adalah bentuk pertama dari Kaum yang kemudian dikenal luas sebagai kaum Khawarij, golongan ekstrem dalam Islam yang mudah mengkafirkan orang atau golongan yang dianggap berdosa oleh mereka, yang benihnya sebenarnya telah ada di jaman Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dimulai oleh Dzul Khuwaishirah.

Umat kemudian melantik Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ’ahu, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, menjadi Kholifah Keempat. Dan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang sudah diminta menjadi Kholifah sejak lama, akhirnya tak kuasa menolak.

Dan mengawali masa kekholifahannya dengan adanya kejadian pembunuhan terhadap Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - justru oleh sesama Muslimiin (kaum Khawarij) yang menggemparkan umat ini, Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - praktis berada dalam posisi sulit saat itu.

Walaupun sebagai orang beriman ia tentunya tidak dapat memaafkan pembunuhan terhadap Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu, namun para pendukungnya (yang termasuk juga yang sudah disusupi Khawarij) juga bersikeras bahwa Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu memanglah pantas dibunuh, kafir, setidaknya karena tidak memerintah dengan baik dan tidak sesuai dengan cita-cita luhur Islam, walau itu semua ternyata di kemudian hari terbukti adalah juga hasil dari kebohongan fitnah.

Sementara itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan rodhiyallahu ’anhu menuntut haknya untuk menuntut balas kematian saudara satu kabilahnya, Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - itu. Sebagai pimpinan Kabilah Bani Umayyah, sesuai tradisi Arab tradisional, tentu adalah tugas Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - untuk menuntut balas kematian Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - yang adalah termasuk kerabatnya.

Dan apapun pula, itu adalah pembunuhan besar, justru oleh kaum Muslimiin sendiri. Dan tuntutan ini, semakin lama, semakin mendapatkan dukungan sebagian dari sebagian umat juga.

Peristiwa perang saudara yang kemudian mengikuti rangkaian perselisihan ini selama sekitar lima tahun sesudah terbunuhnya Kholifah Ketiga Usman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - kemudian dikenal sebagai periode Fitnah (cobaan atau ujian atau bencana) Pertama dalam Sejarah Islam. Saat Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh, istri-istri nabi, para Umahatul Mu’minin (para ibunda orang-orang beriman) berangkat menunaikan haji pada tahun ke tiga puluh lima (35) hijriyah ke Makkah dari Madinah. Ketika sampai ke telinga orang banyak berita terbunuhnya Utsman rodhiollohu ‘anhu, yaitu ketika mereka hendak pulang dari haji, mereka kembali lagi ke Makkah dan menetap di sana. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh umat.

Ini setelah dibai'atnya Ali - rodhiollohu ‘anhu - dan orang-orang yang paling berpengaruh di sekitar beliau -yaitu karena desakan kondisi dan dominasi mereka bukan atas keinginan beliau pribadi – yang juga adalah para pemimpin-pemimpin Khawarij yang telah membunuh Utsman bin Affan rodhiollohu a’nhu.

Padahal Ali - rodhiollohu ‘anhu - sebenarnya tentu saja, sangat membenci mereka. Akan tetapi in syaa Allah demi pertimbangan strategis, maka beliau menunggu ketenangan umat, menunggu kehancuran mereka dan sangat ingin kalaulah berhasil menguasai mereka, beliau akan mengambil hak Allah dari mereka. Namun karena kondisinya seperti itu, justru mereka yang menguasai beliau dan bahkan mereka menghalangi para sahabat yang lainnya dari beliau, maka larilah sekelompok Bani Umayyah dan yang lainnya ke Makkah dari Madinah.

Setelah sedikit jeda waktu, ’Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq - rodhiyallahu ‘anha – kemudian mengajak orang-orang agar menuntut balas atas tertumpahnya darah Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu -, dan jumlah mereka menjadi sekitar tiga ribu orang. ’Aisyah rodhiyallahu ’anha yang adalah janda Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan juga anak Kholifah Abu Bakar Ash Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, bersama-sama kerabatnya yang juga adalah para sahabat Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam, Thalhah - rodhiollohu ‘anhu - dan Zubair - rodhiollohu ‘anhu -, berangkat untuk mendamaikan potensi peperangan antara Kholifah Ali dan Mu’awiyah.

Ummul Mu’minin (ibunda kaum beriman atau istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam) ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berada dalam haudaj (sekedup) unta yang bernama 'Askar yang dibeli oleh Ya'la bin Umayyah. Kedua belah pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan persoalan dengan baik. Namun malam harinya, mereka diserang oleh gerombolan penyusup pengadu-domba Khawarij pimpinan Yahudi ’Abdullah bin Saba’. Maka terjadilah peperangan yang kacau. Mereka diserang oleh gerombolan yang menamakan dirinya Syi’ah (pengikut) Ali, padahal adalah pengadu-domba pimpinan Yahudi ’Abdullah bin Saba’. Perang ini, kemudian lazim disebut sebagai Perang Unta (Harbul Jamal) karena ’Aisyah rodhiyallahu ’anha yang turut melakukan perjalanan dengan pasukannya itu menyaksikan pertempuran ini dari punggung untanya.

Saat Kholifah Ali rodhiollohu ’anhu mengetahui ini dan akhirnya datang ke sana, kedua sahabat besar Rosululloh shalollohu ’alaihi wasallam yang dijamin masuk surga itu telah terbunuh. Dicatat bahwa Ali sangat sedih meratap karenanya.

Salah satu ummahatul mu’minin (para ibunda kaum beriman atau para istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), ‘Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq rodhiyallahu ’anha itu pun tetap dimuliakan dan diantarkan ke Madinah, yang ternyata ini membuat kaum Khawarij marah atas kebijaksanaan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ’anhu karena seharusnya tawanan pun harus ditawan.

Kaum Khawarij ini kemudian dibantah serta diinsyafkan tiga perempat darinya oleh juru perunding Sahabat ‘Abdullah bin Abbas - rodhiyallahu ’anhu - kemudian, dengan menggunakan dalil-dalil  ayat-ayat Al Quran dan Hadits terutama mengenai keutamaan salah satu dari Ummahatul Mu’miniin, para ibunda kaum beriman, ‘Aisyah - rodhiyallahu ’anha - tersebut.    

Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang diduga oleh ahli sejarah secara manusiawi tak sedang dapat berpaling dari para pendukungnya dan harus menghadapi perpecahan umat, kemudian keluar dari Madinah ke Kufah dan menjadikannya sebagai ibukota pemerintahannya.

Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -, terutama didukung oleh antara lain golongan Anshar Madinah, orang-orang yang menolak kebangkitan Umayyah yang dipandang mempunyai reputasi buruk oleh mereka, dan oleh para Muslim tradisional yang masih menjalani kehidupan tradisional nomaden terutama mereka yang berada di Iraq tempat kota garnisun Kufah.

Dan periode perang saudara antar Muslimiin pun telah dimulai. Peristiwa perang saudara yang kemudian mengikuti rangkaian perselisihan ini selama lima tahun sesudah terbunuhnya Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - kemudian dikenal sebagai periode Fitnah (cobaan) Pertama dalam Sejarah Islam.

Hadits riwayat Usamah - rodhiollohu ’anhu -: Bahwa Nabi - shollollohu ‘alaihi wasallam - menaiki salah satu bangunan tinggi di Madinah, kemudian beliau bersabda: Apakah kalian melihat apa yang aku lihat? Sesungguhnya aku melihat tempat-tempat terjadinya fitnah di antara rumah-rumahmu bagaikan tempat turunnya air hujan. (Shahih Muslim No.5135)

Arti dari ”fitnah” dalam Bahasa Arab, adalah ”Ujian” namun juga dapat saja ujian itu berbentuk ”kebohongan” sebagaimana yang dipahami dalam Bahasa Indonesia.

Umatku ini dirahmati Allah dan tidak akan disiksa di akhirat, tetapi siksaan terhadap mereka di dunia berupa fitnah-fitnah, gempa bumi, peperangan dan musibah-musibah. (HR. Abu Dawud)

Hadits  riwayat Abu Hurairah - rodhiollohu ’anhu -, ia berkata: Bahwa Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - bersabda: Akan terjadi fitnah di mana orang yang duduk (menghindar dari fitnah itu) lebih baik daripada yang berdiri dan orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari (yang terlibat dalam fitnah). Orang yang mendekatinya akan dibinasakan. Barang siapa yang mendapatkan tempat berlindung darinya, hendaklah ia berlindung. (Shahih Muslim No.5136)

Pemerintahan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - juga tidak cukup diterima di Syam (Syria) yang berada dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - yang berkuasa di Damaskus, dan gelombang ketidakpuasan, perlawanan terhadap Kholifah Ali pun meningkat cepat di sana. Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - sendiri semakin memperoleh dukungan simpatisan, dan pendukungnya disebut Syi’ah Mu’awiyyah (artinya sekutu atau orang-orang yang bersimpati pada), walaupun di lain pihak masih banyak pula kaum Muslim yang bersikap netral terhadap kesemua pihak yang sedang bertentangan ini.

Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - didukung oleh kabilah-kabilah kaya Makkah dan Arab Syam (Syria) yang menghargai atmosfer pemerintahannya yang kuat dan bijaksana, dan dengan dukungan kuat ini, seusai perundingan arbitrase di Shiffin di dataran tinggi Eufrat pada tahun 657 Masehi yang menghasilkan keputusan yang banyak menentang kekholifahan Ali, Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - pun menggantikan kekuasaan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -.

Sebagian pendukung radikal-fanatik Kholifah Ali rodhiollohu ‘anhu  – yang masih menyisakan kaum Khawarij di dalamnya - sungguh terguncang dengan mundurnya Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - dari hak kekholifahannya, dan mereka menolak hasil Arbitrase itu.

Dalam pandangan mereka, Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - telah gagal hidup dalam standar Al Quran, karenanya pantas dibunuh, dan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - pun telah memberikan kelonggaran kepada para pendukung ketidakadilan dengan gagalnya ia membenarkan kesalahan yang dilakukan Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu -. Menurut pendapat mereka, ini tentunya bukanlah sikap seorang Muslim yang sejati.
Kaum ini kemudian keluar dari kelompok besar ummat yang dipimpin Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang mereka anggap mengkhianati semangat Al Quran dan mereka mendirikan perkampungan sendiri dengan pemimpin sendiri pula, dan dalam khazanah Islam kemudian mereka ’resmi’ dikenal sebagai kaum Khawarij.

Kaum Khawarij ini bersikeras bahwa pemimpin masyarakat Islam seharusnya bukanlah yang terkuat tetapi adalah seorang Muslim yang paling taat beragama. Pembunuh Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu – yang mereka anggap kafir - adalah dari golongan ini. Dan karenanya pula menurut mereka, seorang Kholifah seharusnya bukanlah seorang ’pencari kekuasaan’ seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu -.

Sehubungan dengan gerakan separatis ini, Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - kemudian bertindak menindas kaum yang dianggap sebagai ekstremis ini, dan mau tak mau tindakan ini kemudian menyebabkan hilangnya pula dukungan luas kepadanya, bahkan juga di Kufah, kota yang tadinya sangat banyak terdapat pendukung tradisionalnya.

Sementara itu, masih banyak pula kaum Muslim yang bersikap netral terhadap kesemua pihak yang sedang bertentangan ini. Kiranya Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - bermaksud menangani ini dengan hati-hati, termasuk dengan memerangi kaum Khawarij dan kaum ekstrem lainnya, bahkan pendukungnya sendiri, Syi’ah Ali, secara bertahap, dan tercapailah masa tenggang ketegangan ini dengan arbitrase gencatan senjata antara pihak yang bertikai.

Perundingan arbitrase kedua yang mencoba mencari kandidat lain untuk kekholifahan (atau dengan kata lain, untuk Daulah), mengalami kegagalan titik temu, dan dominasi Mu’awiyah mampu mengalahkan pengaruh Kholifah Ali. Mu’awiyah pun lalu diangkat pendukungnya sebagai Kholifah di Daarussalaam (Yerusalem).

Akhirnya pada tahun 661 Masehi, Kholifah Keempat dari Khulafahur Rosyidin (Kholifah Yang Diberi Petunjuk, atau empat Kalifah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, seorang sahabat, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam; dibunuh oleh al-Fasiq Ibnu Muljam, dari kaum Khawarij.

Sebagian umat yang tetap setia kepada Ali yang menyebut dirinya sebagai kaum Syi’ah Ali (pendukung Ali), kemudian mengangkat anak pertamanya, Hasan bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, sebagai Kholifah penerus.

Namun, Hasan bin Ali bin Abi Tholib kemudian membuat kebijakan untuk berdamai dengan Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - dengan sejumlah syarat penting yang diajukannya yang mengutamakan kemaslahatan kedamaian umat setelah puluhan-ratusan ribu dari dua golongan Muslim (antara pendukung Hasan dan pendukung Mu’awiyah) telah berhadap-hadapan untuk siap berberperang tumpas tuntas (antara lain disebutkan panjang-lebar di Kitab ”Al Bidayah wan Nihayah” Jilid VII hal 245 tulisan Ibnu Katsir). Ini adalah sebuah langkah luar-biasa. Demi kemaslahatan umat.

Dan beliau pun, Al Hasan, memilih mundur dari perseteruan tentang pemfitnahan dan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan rodhiyallahu ’anhu dan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - itu, yang berujung menjadi perebutan kekuasaan ini, untuk kemudian tinggal di Madinah tanpa terlibat gerakan politik apapun, sampai wafatnya pada tahun 669 Masehi.

Kiranya sangat penting untuk dicatat bahwa pendamaian umat oleh cucunya ini, yakni Hasan bin Ali bin Abi Tholib, bahkan telah diramalkan oleh Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam sendiri. Dalam kitab ash-Shahih telah diriwayatkan dari Abu Bakrah, demikian pula diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Abdillah bahwa Rosululloh sholalallahu ’alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid, kelak Allah subhanahu wa ta’aala akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimiin melalui dirinya."  

Maka, Al Hasan - rodhiollohu ‘anhu -, cucu Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - pun dicatat oleh sejarah, turun jabatan, dan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu'awiyah rodhiollohu ‘anhu. Terjadilah, apa yang dikatakan oleh Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dalam Haditsnya ini, dan Rosulullah  - shollollohu ‘alaihi wasallam - adalah Utusan Allah, manusia yang benar, dan dikenal jujur bahkan sebelum beliau menjadi Nabi.

Allahu akbar!

Maka secara praktis, kekuasaan Kekholifahan saat itu dipegang oleh Mu’awiyah rodhiollohu ‘anhu. Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - kemudian memindahkan pusat Kekholifahannya ke Damaskus, Syria. Dinastinya disebut sebagai Dinasti Umayyah.

Terus demikian, dengan pemerintahan yang cukup baik dinilai banyak kalangan, sempat hampir ditandingi oleh Dinasti Marwan, namun baru terdesak oleh kekuatan baru beberapa Abad kemudian oleh Dinasti Abbasiyah dari garis paman Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, Al Abbas - rodhiollohu ‘anhu - (yang juga diakui sebagai Ahlul Bait berdasarkan Hadits), dan Dinasti Umayyah ini berpindah ke Spanyol hingga masa akhir pemerintahan mereka yang diakhiri oleh serbuan Kristen Katolik Spanyol dan Eropa dalam proses Masa Inkuisisi Eropa.

Dinasti Abbasiyah sendiri mendirikan pusat pemerintahan di Baghdad, dan antara lain Kholifah yang terkenal darinya adalah Kholifah Harun al Rasyid sampai hancur beberapa Abad kemudian, menjelang masa akhir Abad Petengahan atau menjelang  masa Renaissance, oleh serbuan Mongol yang dibantu Syi’ah.

Sebagai catatan, bangsa Mongol itu kemudian masuk Islam, dan kembali ke daerah mereka di Asia Tengah, bercampur dengan berbagi bangsa, dan melahirkan wilayah-wilayah kedaulatan seperti India yang sempat diperintah Dinasti Mogul Islam (dan kini berpecah menjadi Pakistan yang Islam dan India yang Hindu), juga wilayah-wilayah lain yang masih ada hingga kini seperti Kazakshtan, Azerbaijan, Uzbekistan, Tarjikistan, Chechnya, dan lain-lain. 

Dan dengan menelaah sejarah, dinamika peristiwa kejayaan dan juga kemunduran dunia Islam yang silih berganti kiranya dapat mulai lebih jelas ditengarai (di antara berbagai sebab lain yang mungkin), katakanlah sejak pada waktu adanya bibit perpecahan di antara pertama, mereka yang kemudian menamakan dirinya golongan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah (lazim disebut Sunni) dengan golongan Islam yang kedua, yakni golongan Syi’ah Ali (lazim disebut Syi’ah), sesudah masa pemerintahan Khulafahur Rosyidin.

Dan apa yang kemudian disebut sebagai masa perang saudara periode Fitnah Kedua, dimulai saat di Kufah sewaktu umat yang setia kepada Kholifah Keempat dari Khulafahur Rosyidin, Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - (Syi’ah Ali) yang sebagian besar tinggal di Kufah, mendukung anak kedua Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -, yakni Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, untuk menjadi kholifah pengganti Ali (dan dengan sendirinya juga untuk menggantikan Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - serta Hasan bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -). Mereka, mengirimkan banyak surat dukungan kepada Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - untuk menjadi kholifah pengganti.

Dan akhirnya Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan rombongannya keluar dari Madinah ke Kufah untuk bersatu dengan para pendukungnya itu. Namun saat itu, kaum yang mengklaim sebagai Syi’ah (pendukung) Husain - rodhiollohu ‘anhu - penduduk Kufah yang telah diintimidasi oleh gubernur setempat dari Bani Umayyah menarik dukungannya dari Husain, dan tak muncul di Karbala mendukung Husain - rodhiollohu ‘anhu -.
Padahal Husain - rodhiollohu ‘anhu - bergerak ke Kufah, karena diberitahu akan adanya dukungan terhadapnya. Namun dukungan dari kaum yang menyebut dirinya sebagai Syi’ah itu, pendukungnya, tidak pernah muncul, di Karbala.

Tinggallah Husain - rodhiollohu ‘anhu - dan sedikit pendukung serta keluarganya berhadapan dengan pasukan besar suruhan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Yazid I), anak Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang dipersiapkan Mu’awiyah menjadi Kholifah penggantinya yang memintanya untuk kembali ke Madinah serta mendukung Yazid. Husain - rodhiollohu ‘anhu - menolak untuk mundur menyerah serta meyakinkan masyarakatnya akan teladan keluarga Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - pada perjalanan mencari nilai-nilai Islam sjati, dan terus mengingatkan umat akan tugas utama mereka.

Al Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu – kemudian meninggal dibantai bersama para pengikutnya, dan di antara sebabnya kiranya adalah justru karena tak menemukan bantuan yang dijanjikan kaum Syi’ah sendiri yang berjanji berbaiat kepadanya di Iraq yang konon mencapai ratusan ribu orang namun tak menjumpainya di Karbala, yang akhirnya menjadi tempat pembantaian Husain dan pengikutnya (termasuk juga yang syahid adalah anak-anak Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - lainnya yang di antaranya bernama Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengikuti nama-nama para sahabatnya dan sahabat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - itu). Disebutkan pula bahwa Husain bin Ali bin Abi Tholib, - rodhiollohu ‘anhu -, cucu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, meninggal paling akhir sambil menggendong bayi laki-lakinya.

Saya sedang memangku (Imam) Husain (bin Ali bin Abi Tholib) ketika Nabi – shololollohu ‘alaihi wasallam - datang dan memandangnya sambil menitikkan air mata. Saya bertanya kepada beliau mengapa menangis. Rasululloh – shololollohu ‘alaihi wasallam - mengungkapkan bahwa Jibril telah memberitahunya bahwa para pengikutnya akan membunuh cucunya, Husain – rodhiollohu ‘anhu -. (Baihaqi meriwayat dari Ummu al-Fadhl). 

Maka sebagian kalangan kemudian berasumsi menyebutnya sebagai pembunuhan terencana oleh Kholifah Yazid bin Mu’awiyah. Namun sebagian lainnya, yang lebih besar dan lebih didasarkan kepada sumber pustakan yang lebih terjaga meyakininya sebagai kesalahpahaman dan ketakjelasan tafsir perintah Kholifah Yazid bin Mu’awiyah terhadap panglimanya dan juga dikisahkan Yazid sangat menyesal dan kemudian bertobat atas ini,  karenanya.
Selain dicatat oleh sumber pustaka Ahlus Sunnah wal Jama’ah (misalnya oleh Ibnu Katsir di Al Bidayah wan Nihayah).

Ini dicatat bahkan oleh sumber Syi’ah, antara lain ini dapat ditemukan di ’Alaa Khutha Husain hal 94, Faaji’atu ath Thaff hal 6, Muntaha al Amaal (1 atau 430), Asy Syii’ah wa Asyuura; hal 67 oleh Ridha Husein Shubh Al Huseini, Siiratul Amimmati al Itsna’asyar 2 atau 57-58, Maqtal Husain oleh Al Muqarram hal 147, Ma’saatu Ihda wa Sittiin hal 24, Muntaha al Amaal 1 atau 437, Tadhallum Az Zahra hal 149, Bahru al’Ulum hal 191-192, Muntaha al Amaal 1 atau 466, An Nafsu al Mahmuum hal 177, Muntahaa al Amaal (1 atau 462), Majlisi di Bihaarul Anwar (44 atau 374), Muhsin al Amin dalam Lawaij al AsyHaan hal 67, Abdul Husein al Musawi dalam Al Majaalisal Faakhirah hal 85, Abdul Hadi ash Shalih dalam Khoirul Ashaab hal 37 dan hal 10, ’Ala Khutha Husain hal 130-131.

Sepeninggal Kholifah Ali bin Abi Tholib dan anaknya Hasan serta Husain rodhiollohu ‘anhum, setelah Masa Fitnah Kedua, di kemudian hari, kaum Syi’ah membentuk komunitas sendiri dan mengangkat Imam mereka sendiri. Syi’ah sendiri menjadi populer di kemudian hari di Iran dan Iraq.

Bahkan sebagian dari Syi’ah yang radikal dan ekstrim juga kemudian menimpakan tanggungjawab segala carut-marut kekacauan dunia Muslim dan bahkan kekacauan dunia, kepada ketiga Kholifah pertama Khulafahur Rosyidin yakni Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khottob, dan Utsman bin Affan, dan tak pelak juga mencaci-makinya alias tasyayyu’. Kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau yang lazim disebut sebagai Sunni, pada prinsipnya secara umum tentu sangat tidak menyetujui hal-hal ini.

Paling tidak ada dua pendapat dan golongan besar pula mengenai penyebab utama kekacauan antara Syi’ah dan Sunni ini:

Golongan pertama adalah mereka yang percaya bahwa sunguh ada Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang menyatakan bahwa Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - tidak menyatakan ada penggantinya yang beliau tunjuk secara khusus, dan golongan ini biasanya adalah golongan Sunni dan sebagian Ahlul Bait yang mendukung apa yang dapat disamakan sebagai paham demokrasi dan egaliterianisme, atau persamaan akan hak dan kewajiban dan musyawarah.

Golongan kedua, adalah mereka yang percaya bahwa sungguh ada Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang menyatakan bahwa Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - menunjuk dengan jelas penggantinya berasal dari golongan ahlul bait (keluarga atau keturunan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), dan penggantinya tersebut dengan sendirinya adalah Ali bin Abi Tholib, sebagai yang terdekat berdasarkan garis keturunan saat itu sepeninggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dan golongan kedua ini biasanya tergolongkan dalam golongan Syi’ah dan sebagian Ahlul Bait.

Hadits yang dimaksud itu adalah:

Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - (HR. Muslim) 


Mengenai Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang dimaksudkan keduanya ini, kedua golongan ini juga umumnya sangat berbeda pendapat mengenai redaksi kalimat lengkapnya (entah siapa sebenarnya yang menyebarkan fitnah kebohongan ini). Kaum Syi’ah mempercayai bahwa dalam Hadits tersebut jelas ada kalimat yang menunjuk kepada Ahlul Bait (keluarga atau keturunan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), Ali lah sebagai keluarga terdekat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang pantas memimpin, sebagai pemimpin pengganti Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dan ada yang berpendapat bahkan jelas disebutkan dalam Hadits tersebut.
Kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Sunni, secara umum tidak menemukannya dan karenanya juga tidak mengakui Hadits ini, lagipula menurut mereka, Rosululloh sholollohu‘alaihi wa salaam jelas tidak dikaruniai keturunan anak laki-laki yang hidup cukup lama untuk menjadi dewasa dan memimpin, sehingga azas kaidah pernasaban menjadi tidak kuat lagi dipakai untuk dijadikan landasan suksesi kepemimpinan, selain alasan makna Islam sebagai agama untuk seluruh umat manusia atau prinsip rahmatan lil ’alaamiin, sehingga siapapun berhak menjadi Kholifah, asalkan dipandang mampu.

Ada pula perbedaan tafsir mengenai peristiwa di Ghadir Khumm mengenai pengangkatan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -  sebagai Kholifah atau tidak, mengenai keutamaan Ali - rodhiyallahu ’anhu - terhadap yang lain, mengenai warisan Rosulullah  - shollollohu ‘alaihi wasallam - mengenai Tanah Fadak dan sikap Fathimah binti Muhammad terhadapnya, mengenai peristiwa pengangkatan Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallahu ’anhu sebagai Kholiah pertama, mengenai isu penyerangan terhadap Fathimah binti Muhammad, mengenai Perang Unta, dan lain sebagainya.

Beberapa hal ini, masih menjadi batu ganjalan yang relatif cukup besar dalam proses rekonsiliasi umat, bahkan hingga kini, walau sudah banyak bukti yang meluruskannya.

BERSAMBUNG KE BAGIAN KETIGA

TENTANG SYI'AH - BAGIAN I

Syi’ah

Definisi Syi’ah menurut Ensikoledi Islam (1997), adalah ”Syi’ah dari segi bahasa berarti Pengikut, Kelompok atau Golongan. Dari segi terminologi berarti satu golongan dalam Islam yang meyakini bahwa Kholifah Keempat dari empat Khulafahur Rosyidin (Kholifah yang diberi petunjuk) Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam”.

Disebutkan pula bahwa jumlah pengikutnya adalah sekitar 20% muslim seluruh dunia, dan berada tersebar di negara-negara Iran, Iraq, Afghanistan, Pakistan, India, Libanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, bekas negara Uni Soviet, serta beberap negara Amerika dan Eropa.

Di antara pengikutnya, terbagi-bagi menjadi berbagai Firqoh (perpecahan) yang in syaa Allah akan diterangkan. Ada yang masih mau beribadah bersama kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan golongan lain, namun ada pula yang memusuhi (bahkan menganggap kafir)  Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik secara sembunyi-sembunyi (taqiyyah) maupun terang-terangan.

Dalam perkembangannya, istilah Syi’ah ini melekat dengan pengikut (Syi’ah) Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang memilih beroposisi terhadap kekuasaan Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - pasca peristiwa arbitrase perdamaian antara Ali - rodhiollohu ‘anhu - dan Mu’awaiyah - rodhiollohu ‘anhu -, bahkan setelah perdamaian antara Hasan bin Ali bin Abi Tholib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, rodhiyallahu ’anhum.

Kaum ini berkeyakinan bahwa yang sesungguhnya berhak menggantikan Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - sebagai pemimpin adalah hanya keluarganya (ahl al-bait atau ahlul bait). Dan di antara keluarganya yang paling berhak, adalah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - sebagai menantu dan sepupu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, karena tak ada anak laki-laki Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang hidup sampai akil-baligh atau dewasa.

Pendeknya, sepeninggal Ali - rodhiollohu ‘anhu -, hak imamah (kepemimpinan umat Islam) tersebut semestinya beralih kepada anak-anak keturunannya dari Fatimah binti Muhammad al-Zahrah, putri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam; menurut mereka. Maka dalam paham Syi’ah, imamah (kepemimpinan umat), haruslah berdasar pada nash (keturunan) dan penunjukan.

Dan fenomena yang menarik, ada sebagian dari kalangan yang populer di Indonesia, yaitu kalangan Habib atau Haba’ib yang dikenal juga sebagai ’Alawiyyin atau Ba Al(a)wi atau Sayyid-Sayyidah atau Syarif-Syarifah, pendeknya mereka yang merasa masih termasuk sebagai Ahlul Bait (keturunan atau keluarga besar Nabi  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang bagi kalangan lain masih dapat diperdebatkan keabsahan nasabnya); bersimpati kepada, mengajarkan secara tak sengaja, atau bahkan sengaja dan terang-terangan mengikuti Syi’ah dan melakukan ritualnya serta mengajarkannya.

Maka golongan ini mempopulerkan Madzhab baru, yangdisebutkan Madzhab Ahlul Bait, dengan argumen bahwa siapapun juga dari keturunan Nabi shollollohu ‘alaihi wasallam (dan mungkin pula keturunan para Nabi yang lain), pasti benar, apapun juga yang terjadi, lebih-kurangsecara singkat.
Sebagai catatan penting, sebagian lain dari golongan Ahlul Bait ini, masih tetap Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan bahkan cukup banyak juga yang sangat menentang kaum mereka sendiri yang menjadi Syi’ah dan Madzhab baru itu.

Maka Syi’ah berlindung di balik pemahaman kecintaan terhadap Ahlul Bait.

Satu hal yang mengherankan, apakah Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) tidak harus dan patut mencintai Ahlul Bait sedangkan ini bagian dari akidah Sunni?

Mengapa Syi’ah berusaha menonjolkan ini sebagai ciri khas mereka, padahal Keduabelas Imam mereka tidak berusaha membenci dan menyebarluaskan kebencian terhadap Sahabat Nabi, yang sebenarnya juga adalah Ahlul Bait, dan mereka saling berkerabatan?

Saling berbesan? Saling bermenantu? Saling bermertua?

Dan ini termasuk Rosululloh Muhammad bin ’Abdullah bin Abdul Muthalib shollollohu ’alaihi wasallam sendiri?

Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - sendiri adalah anak dari bangsawan Quraisy Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu – kerabat dari Rosululloh – shollollohu ‘alaihi wasallam - yang dulu memerangi dengan sangat sengit kaum Muslimiin generasi pertama namun berhenti dan bertobat masuk Islam kira-kira pada masa dalam pembebasan atau pemenangan kota Makkah (Fathu Makkah) oleh kaum muslimiin, bahkan kemudian ikut berperang di pihak muslimiin dengan setia. Beliau, Mu’awiyah bin Abu Sufyan – rodhiollohu ’anhu - , adalah salah satu sahabat pula, tentu saja, dan bahkan juga meriwayatkan Hadits.

Pendapat yang paling menonjol tentang munculnya Syi’ah adalah bahwa golongan ini muncul setelah Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - terbunuh oleh kaum pemberontak Khawarij. Maka pada saat itu golongan umat menjadi terbagi antara lain lebih-kurang menjadi:

1)    Golongan Jumhur (mayoritas umat, yaitu para sahabat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan para tabi’in serta solihiin).
2)    Golongan Khawarij (yang menginginkan kehidupan agama idealis ekstrem dan mudah memvonis kafir orang yang melakukan dosa).
3)    Golongan Syi’ah (pendukung) Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - (yang oleh Ali - rodhiollohu ‘anhu - sendiri, dicermati dengan was-was, kiranya) untuk semakin menguat setelah ada pertentangan antara Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan Mu’awaiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - mengenai pembunuhan Kholifah Utsman dan lain-lain hal.

Jumhur ahli bersepakat bahwa ini juga terjadi akibat campur-tangan hasutan ‘Abdullah bin Saba’ (’Abdullah ibnu Saba’), Yahudi Madinah yang berpura-pura masuk Islam dan menghasut-mengacau dari dalam umat, di Abad Pertama Islam pada masa pemerintahan Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -. Adalah ‘Abdullah Ibnu Saba’, yang pertama kali dikenal mengakui Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - sebagai Kholifah, berkedudukan lebih tinggdir daripada kesemua Khulafahur Rosyidin yang lain dan bahkan – lebih jauh - sebagai jelmaan Tuhan.

Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi berasal dari Shan’a, Yaman yang datang ke Madinah kemudian berpura-pura setia kepada Islam pada masa Khilafah dari Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - padahal dialah yang sesungguhnya mempelopori kudeta berdarah dan melakukan pembunuhan kepada khalifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, dialah juga pencetus aliran Syi’ah yang kemudian mengkultuskan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -.

Kelahiran Syi`ah diawali ketika seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah Bin Saba muncul dan berpura-pura memeluk Islam, mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), berlebihan dalam menyanjung Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ‘anhu , dan menda’wahkan adanya wasiat khusus dari Nabi - shollollohu ‘alaihi wasallam - bagi Ali rodhiollohu ‘anhu untuk menjadi Kholifah sepeninggal beliau shollollohu ‘alaihi wasallam, serta pada akhirnya ia mengangkat Ali rodhiollohu ‘anhu  ke tingkat ketuhanan.

Ia mentransfer apa-apa yang ditemukannya dalam ide-ide Yahudi ke dalam ajaran Syi`ah, seperti Raj`ah (munculnya kembali Imam), menetapkan sifat bada` bagi Allahyaitu Allahbaru mengetahui sesuatu bila sudah terjadi, para Imam mengetahui hal-hal yang ghaib dan ide-ide lainnya. Ia pernah berkata ketika ia masih menganut agama Yahudi, bahwa Yusha Bin Nun telah mendapat wasiat dari Nabi Musa ‘alaihis salaam, sebagaimana dalam Islam bahwa Ali juga telah mendapat wasiat dari Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam.

‘Abdullah Bin Saba telah berpindah-pindah dari Madinah ke Mesir, Kufah, Fusthath dan Basrah, kemudian berkata kepada Ali: “Engkau, Engkau”, maksudnya “Engkau (Ali) adalah Allah”, sesuatu yang mendorong Ali memutuskan diri untuk membakarnya sebagai hukuman, tetapi Abdulloh bin Abbas rodhiollohu ‘anhu menasihatinya agar keputusan itu tidak di laksanakan. Kemudian ia di buang ke Madain.

Saif bin Umar at Tamimi mengatakan (lihat Tarikh ath-Thabari, 4 atau 340 dan sesudahnya) bahwa sebab terjadinya pemberontakan beberapa kelompok terhadap Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - adalah seorang Yahudi bernama ‘Abdullah bin Saba' yang berpura-pura beragama Islam dan pergi ke daerah Mesir untuk menyebarkan idenya sendiri di beberapa kalangan masyarakat.

la mengatakan kepada seseorang, "Bukankah ‘Isa bin Maryam akan kembali ke dunia?" Jawab orang itu, "Ya!" la berkata lagi, "Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - lebih baik daripada ‘Isa. Apakah kamu mengingkari bahwa beliau akan kembali ke dunia sementara beliau lebih mulia dari pada ‘Isa bin Maryam?", kemudian ia berkata, "Beliau telah memberikan wasiatnya kepada Ali bin Abi Tholib. Muhammad Nabi terakhir dan Ali penerima wasiat yang terakhir. Berarti Ali lebih berhak untuk menjabat sebagai kholifah dari pada Utsman bin Affan dan Utsman telah merampas hak yang bukan miliknya."

Demikian dicatat di Kitab “Al Bidayah wan Nihayah”.

Di antara isu-isu yang disebarkan oleh ‘Abdullah bin Saba’ untuk memecah belah Umat Islam pada saat itu antara lain:
  1. Bahwa Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - telah menerima wasiat sebagai pengganti Rosululloh sholollohu ‘alaihi wa sallam. (An Naubakhti , firaq As Syi’ah, hal. 44)
  2. Bahwa Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, rodhiollohu ‘anhum, adalah orang-orang zalim, karena telah merampas hak khilafah Ali - rodhiollohu ‘anhu - setelah wafatnya Rosululloh shalollohu ‘alaihi wa sallam. Umat Islam saat itu yang membai’at ketiga khilafah tersebut dinyatakan kafir. (An Naubakhti, op cit, hal. 44)
  3. Bahwa Ali bin Abi Thalib - rodhiollohu ‘anhu - adalah pencipta semua mahluk dan pemberi rezeki. (Ibnu Badran, Tahdzib al Tarikh al Dimasyq, Juz VII, hal. 430)
  4. Bahwa Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam akan kembali lagi ke dunia sebelum hari Kiamat, sebagaimana kepercayaan akan kembalinya Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam (Ibnu Badran, op cit, juz VIII, hal. 428)
  5. Bahwa Ali - rodhiollohu ‘anhu - tidak mati, melainkan tetap hidup di angkasa. Petir adalah suaranya ketika marah dan kilat adalah cemetinya. (Abdullah Al Thahir Ibnu Muhammad Al Baghdadi, Al Firaq Baina Al Firaq, hal. 234)
  6. Bahwa ruh Al Quds berinkarnasi ke dalam diri para Imam Syi’ah. (Al Bad’u wa Al Tarikh, juz V, hal. 129, th 1996)
  7. Dan lain-lain
Dapat ditambahkan pula bahwa Abu Muhammad  al Hasan Ibnu Musa An Naubakhti, seorang ulama Syi’ah yang terkemuka, di dalam bukunya  “Firaq As Syi’ah” hal. 41-42 mengatakan bahwa Ali – rodhiollohu ‘anhu - pernah hendak membunuh Abdullah bin Saba’ karena fitnah dan kebohongan yang disebarkan, yakni menganggap Ali sebagai tuhan dan mengaku dirinya sebagai Nabi, akan tetapi tidak jadi karena tidak ada yang setuju.

’Abdullah bin Saba’ sendiri justru kemudian dihukum mati oleh Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - namun melarikan diri ke Qarqisita. Ini dapat dilihat di Kitab Al Bidayah wan Nihayah dan Al Aqidah ath-Thohiriyah halaman 488.

Pengikutnya bahkan ada yang menyatakan bahwa Ali rodhiyallahu ’anhu adalah jelmaan Tuhan.

Namun beberapa kalangan Syi’ah - bahkan berkeras - mengatakan bahwa ’Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif. Di Indonesia, M. Hashem (sebagian orang mengatakan ia adalah O. Hashem) antara lain adalah satu di antaranya, dan ini ia tuliskan dalam bukunya yang berjudul “Abdullah bin Saba’ Benih Perpecahan Ummat” yang diterbitkan oleh YAPI, Bandar Lampung. Ini adalah saduran dari buku yang berjudul “Abdullah bin Saba’” yang ditulis oleh Murtadha Al Askari, seorang imam Syi’ah yang bermukim di Irak.

Menurutnya:
  1. Seluruh berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ yang ditulis dalam buku-buku sejarah baik oleh Ibnu Katsir, Ibnu Atsi, Ahmad Amin, Nicholson, Wehausen maupun yang lainnya, mengutip dari buku sejarah tulisan Ath Thabari.
  2. Sedangkan Ath Thabari memperoleh berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ melalui jalur Saif bin Umar At Tamimi.
  3. Padahal Saif bin Umar At Tamimi dikenal sebagai perawi yang lemah, suka berdusta dan tidak bisa dipercaya. Demikian menurut ahli-ahli hadits seperti Ibnu Hajar, Ibnu Hibban, Al Hakim, nasa’i dan lain-lain.

Oleh karena itu, menurut M. Hasem, berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ yang ditulis dalam buku sejarah dengan mengambil sumber buku Ath Thabari tak dapat dipercaya, karena dalam setiap jalur riwayat (sanad) yang diambil oleh Ath Thabari, terdapat Saif bin Umar At Tamimi yang tak dapat dipercaya.

Begitulah kata M. Hashem (lihat skema di halaman 81). Dan buku tersebut ternyata ada juga pengaruhnya di kalangan intelektual - kiranya yang kurang tahu atau tidak berpendirian kuat - di Indonesia seperti pada mendiang Nurcholis Majid (sebagaimana di tulisannya di majalah Tempo, 19 Desember 1987, hal. 102) atau yang serupa dengannya dan mereka yang tidak mempunyai pengetahuan cukup tentang sejarah Islam.

Sebenarnya yang mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif, sudah agak lama juga muncul.

Pendapat tersebut dipelopori oleh para Orientalis dan dikembangkan oleh Murtadha Al Askari, seorang tokoh Syi’ah pertengahan abad XX yang berasal dari Iraq itu. Kemudian diikuti oleh; Dr. Kamal Asy-Syibi, Dr. Ali Al-Wardi (keduanya murid orientalis dari Iraq). Dr. Thaha Husein, Dr. Muhammad Kamil Husein, Thalib Al Husein, Al Rifa’i (murid-murid orientalis dari mesir), Muhammad Jawad Al mughniyah, Dr. Abdullah Fayyah (murid-murid orientalis dari Libanon).

Maka mengenai ini, benarlah bahwa Saif bin Umar At Tamimi memang dinyatakan lemah, dan tidak dapat dipercaya oleh para ‘Ulama Ahlul Hadits. Akan tetapi ini dalam masalah yang ada hubungannya dengan hukum Syari’ah, Hadits, dan sama-sekali bukanlah dalam bidang Sejarah.

Yang mereka lemahkan adalah kualitas periwayatan haditsnya. Artinya, jika Saif bin Umar At Tamimi meriwayatkan hadits, kualitas periwayatan haditsnya lemah.

Namun dalam masalah Sejarah, maka beliau, Saif At Tamimi, justru dapat dijadikan sandaran dan rujukan dengan kualitas baik.

Dan perkara Syi’ah jelas adalah perkara Sejarah dan Politik, tentu saja, utamanya.

Imam Adz-Dzahabi yang juga adalah ‘ulama yang Syi’ah jadikan rujukan untuk melemahkan Saif bin Umar At-Tamimi juga berkata dalam kitabnya Mizanul I’tidal 2/ 255, “Ia (Saif bin Umar) adalah pakar sejarah yang paham.”
Jaminan kedudukan baik Saif bin Umar at Tamimi sebagai rujukan sejarah ini antara lain dinyatakan oleh Ibnu Hajar - yang beliau ironisnya termasuk ‘ulama Sunni yang Syi’ah jadikan rujukan untuk melemahkan kedudukan Saif bin Umar At-Tamimi dalam perkara ‘Abdullah bin Saba’ itu - dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib 1/408 dan Taqribut Tahdzib 1/408, sebagaimana berikut:

“Saif bin Umar At-Tamimi pengarang kitab Ar-Riddah, ada yang mengatakan dia Adh-Dhabi ada yang mengatakan selainnya, Al-Kufi Dha’if haditsnya, (akan tetapi) Umdah (bisa dijadikan sandaran) dalam bidang tarikh/sejarah.”
Demikian pula Syaikh Al-Mubarakfuri yang juga terkenal sebagai salah satu penulis Sirah Nabawiyyah atau Sejarah-Biografi Nabi dari berbagai buku Sirah Nabawiyyah dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi 10/249 menyebutkan seperti ucapan Ibnu Hajar di atas.

Umar Kahalah dalam kitabnya Mu’jamul Muallifin 4/288 juga mengatakan:

“Saif bin Umar At-Tamimi Al Burjumi, Ahli sejarah berasal dari Kufah.”

Dan lagipula, berita tentang adanya Abdullah bin Saba’ tidak hanya melalui jalur Saif bin Umar At Tamimi saja. Malah Abu Amr Muhammad ibnu Umar Al izz Al Kasyi (imam hadits dari kalangan Syi’ah sendiri) meriwayatkan Abdullah bin Saba’ melalui 7 jalur, dan ini tanpa melalui jalur periwayatan Saif bin Umar At tamimi, yang dianggap mereka lemah tak cukup dapat dipercaya itu.

Periwayatan adanya ‘Abdullah bin (ibnu) Saba’, yang tanpa jalur periwayatan dari Saif bin Umar At Tamimi itu yaitu:
  1. Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi Al Qummy dari Sa’ad ibnu Abdullah ibnu Abi Khalaf, dari Abdurrahman ibnu Sinan, dari Abdu Ja’far A.S.  Al Kisyi juga mengemukakan hal yang sama dalam bukunya Rijalul Kisyi hal 106-108 (Rijal Al Kasyi, tepatnya halaman 107). Dalam buku Al Maqolat wal Firoq halaman 10-21, Al Qummi mengakui keberadannya dan menganggap Ibnu Saba’ sebagai orang pertama yang mengatakan bahwa nabi telah mewasiatkan kepada Ali untuk menjadi imam , bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia setelah wafat, dan orang pertama yang memulai mencela dan memaki Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat nabi. Hal ini seperti dikemukakan Naubakhti dalam bukunya Firoqusyi’ah hal 19-20.
  2. Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi, dari Sa’ad ibnu Abdillah dari Ya’qub ibnu Yazid dan Muhammad ibnu Isa, dari Abu Umair, dari Hisyam Ibnu Salim dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 107).
  3. Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi, dari Sa’ad ibnu Abdillah dari Ya’qub ibnu Yazid dan Muhammad ibnu Isa dari Ali ibnu Mahzibad, dari Fudhallah ibnu Ayyud Al Azdi, dari Aban ibnu Utsman dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 107).
  4. Dari Ya’qub ibnu Yazid, dari Ibnu Abi Umair dan Ahmad ibnu Muhammad ibnu Isa dari Ayahnya dan Husein Ibnu Sa’id, dari Ibnu Abi Umair, dari Hisyam ibnu Salim, dari Abu Hamzah Ats Tsumali, dari Ali ibnu Husein. (Rijal Al Kasyi, halaman 108).
  5. Dari Sa’ad ibnu Abdillah, dari Muhammad ibnu Khalid Ath Thayalisi, dari Abdurrahman ibnu Abi Najras, dari Ibnu Sinan, dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 108).
  6. Dari Muhammad ibnu Al Hasan, dari Muhammad Al Hasan Ash Shafadi, dari Muhammad ibnu Isa, dari Qasim ibnu Yahya, dari kakeknya Al Hasan ibnu Rasyid, dari Abi Bashir, dari Abu Abdillah A.S. (Al Shaduq, Ila Al Syara’i’I, cetakan ke II, halaman 344).
  7. Dari Sa’ad ibnu Abdillah, dari Muhammad Isa ibnu Ubaid Al Yaqthumi, dari Al Qasim ibnu Yahya, dari kakeknya Al Hasan Ibnu Rasyid, dari Abi Bashir dan Muhammad ibnu Muslim, dari Abi Abdillah A.S. (Ash Shaduq, Al Khisal, cetakan tahun 1389 H, halaman 628).

Demikianlah, yang justru dari kalangan Syi’ah sendiri.

Adapun dari kalangan Sunni, Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam bukunya “Lisan al Mizan” (jilid III, halaman 289-290, cetakan I, tahun 1330 H) meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba’ melalui enam jalur, yang juga tanpa melalui jalur periwayatan dari Saif bin Umar At Tamimi itu. Yaitu:
  1. Dari Amr ibnu Marzuq, dari Syu’bah, dari Salamah ibnu Kuhail, dari Zaid ibnu Wahab, dari Ali bin Abi Thalib - rodhiollohu ‘anhu -
  2. Dari Abu Ya’la Al Muslihi, dari Abu Kuraib, dari Muhammad ibnu Al Hasan Al Aswad, dari Harun ibnu Shahih, dari Al Harits ibnu Abdirrahman, dari Abu Al Jallas, dari Ali bin Abi Thalib. - rodhiollohu ‘anhu -
  3. Dari Abu Ishaq al Fazari ibnu Syu’bah, dari Salamah ibnu Kuhail, dari Abu Zara’i’i dari Yazid ibnu Wahab.
  4. Dari Al Isyari dan Al Alka’i dari Ibrahim, dari Ali. - rodhiollohu ‘anhu -
  5. Dari Muhammad ibnu ‘Utsman Abi Syaiban, dari Muhammad ibnu Al  Ala’i, dari Abu Bakar Ayyash, dari Mujalid, dari Asy Sya’bi.
  6. Dari Abu Nu’aim, dari Ummu Musa (Yusuf Al Kandahlawai, hayatus shahabah).
Berdasarkan 13 riwayat yang sama-sekali tidak melalui Saif bin Umar At Tamimi ini (baik dari ‘ulama Syi’ah maupun ulama ‘Sunni), maka alasan mereka yang hendak menghilangkan figur Abdullah bin Saba’ dari catatan Sejarah, tentu saja sama-sekali tidak dapat dipertahankan.

Maka Abdullah bin Saba’ jelaslah bukan tokoh fiktif.

BERSAMBUNG KE BAGIAN II

Jumat, 08 November 2013

PERBEDAAN MUSLIM SUNNI DAN SYIAH




Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah
Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja'fariyah) dianggap
sekedar dalam masalah khilafiyah Furu'iyah, seperti perbedaan antara NU
dengan Muhammadiyah, antara Madzhab safi'i dengan Madzhab Maliki.
Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah,
mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu
dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan
Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi
Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak
dilakukan?.
Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka
menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah.
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya
pengetahuan mereka tentang aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah
(Ja'fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada
apa yang mereka ketahui.
Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat
ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja'fariyah). Disamping kebiasaan
berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.
Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh
Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti
perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi'i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi'i, hanya
dalam masalah Furu'iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah
Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja'fariyah), maka
perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu 'juga dalam Ushuul.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya
juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan
sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an
mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita ( Ahlussunnah).
Bila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa
Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat
berbeda dan berbeda.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah
mengatakan: Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja'fariyah) adalah
satu agama tersendiri.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan
sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan
aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja'fariyah).
1. Ahlussunnah: Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a) Syahadatain
b) As-Sholah
c) As-Shoum
d) Az-Zakah
e) Al-Haj
Syiah: Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a) As-Sholah
b) As-Shoum
c) Az-Zakah
d) Al-Haj
e) Al wilayah
2. Ahlussunnah: Rukun Iman ada 6 (enam):
a) Iman kepada Allah
b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c) Iman kepada Kitab-kitab Nya
d) Iman kepada Rasul Nya
e) Iman kepada Yaumil Akhir / kiamat
f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah: Rukun Iman Syiah ada 5 (lima) *
a) At-Tauhid
b) An Nubuwwah
c) Al Imamah
d) Al Adlu
e) Al Ma'ad
3. Ahlussunnah: Dua kalimat syahadat
Syiah: Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa
asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan
menyebut dua belas imam-imam mereka.
4. Ahlussunnah: Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman.
Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul
imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah
tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah: Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun
iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-
imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah
dianggap kafir dan akan masuk neraka.
5. Ahlussunnah: Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah:
a) Abu Bakar
b) Umar
c) Utsman
d) Ali Radhiallahu anhum
Syiah: Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah.
Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal
Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka).
6. Ahlussunnah: Khalifah (Imam) adalah manusia biasa, yang tidak
memiliki sifat Ma'shum.
Berarti mereka dapat berbuat salah / dosa / lupa. Karena sifat Ma'shum,
hanya dimiliki oleh para Nabi.
Syiah: Para imam yang jumlahnya dua belas tersebut memiliki sifat
Ma''hum, seperti para Nabi.
7. Ahlussunnah: Dilarang mencaci-maki para sahabat.
Syiah: Mencaci-maki para sahabat tidak apa-apa bahkan Syiah
berkeyakinan, bahwa para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat, mereka
menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya karena para
sahabat membai'at Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.
8. Ahlussunnah: Siti Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai.
Beliau adalah Ummul Mu'minin.
Syiah: Siti Aisyah dicaci-maki, difitnah, bahkan dikafirkan.
9. Ahlussunnah: Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan referensi
Ahlussunnah adalah Kutubussittah:
a) Bukhari
b) Muslim
c) Abu Daud
d) Turmudzi
e) Ibnu Majah
f) An Nasa'i
(Kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin
sedunia).
Syiah: Kitab-kitab Syi'ah ada empat:
a) Al Kaafi
b) Al Istibshor
c) Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih
d) Att Tahdziib
(Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui
oleh pengikut-pengikut Syiah).
10. Ahlussunnah: Al-Qur'an tetap orisinil
Syiah: Al-Qur'an yang ada sekarang ini menurut pengakuan ulama Syiah
tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).
11. Ahlussunnah: Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada
Allah dan Rasul Nya.
Neraka terdaftar untuk orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan
Rasul Nya.
Syiah: Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali,
meskipun orang tersebut tidak taat kepada Rasulullah.
Neraka terdaftar untuk orang-orang yang memusuhi Imam Ali, meskipun
orang tersebut taat kepada Rasulullah.
12. Ahlussunnah: Aqidah raj'ah tidak ada dalam ajaran Ahlussunnah. Raj'ah
adalah besok diakhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali.
Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
Syiah: raj'ah adalah salah satu aqidah Syiah. Dimana diceritakan: bahwa
nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya.
Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangun Rasulullah, Imam Ali,
Siti Fatimah dan Ahlul Bait yang lain.
Setelah mereka semuanya bai'at kepadanya, diapun selanjutnya
membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah. Kemudian ketiga orang tersebut
disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang sampai ribuan
kali. Sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.
Keterangan: Orang Syiah memiliki Imam Mahdi sendiri. Berbeda dengan
Imam Mahdinya Ahlussunnah, yang akan membawa keadilan dan
kedamaian.
13. Ahlussunnah: Mut'ah (kawin kontrak), sama dengan perbuatan zina dan
hukumnya haram.
Syiah: Mut'ah sangat dianjurkan dan hukumnya halal. Halalnya Mut'ah ini
dipakai oleh kaum Syiah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk
Syiah. Padahal haramnya Mut'ah juga terjadi di zaman Khalifah Ali bin Abi
Thalib.
14. Ahlussunnah: khamer / arak tidak suci.
Syiah: khamer / arak suci.
15. Ahlussunnah: Air yang telah dipakai istinja '(cebok) dianggap tidak suci.
Syiah: Air yang telah dipakai istinja '(cebok) dianggap suci dan
mensucikan.
16. Ahlussunnah: Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan
kiri hukumnya sunnah.
Syiah: Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri
membatalkan shalat.
(Jadi shalatnya bangsa Indonesia yang diajarkan Wali Songo oleh orang-
orang Syiah dihukum tidak sah / batal, sebab meletakkan tangan kanan
diatas tangan kiri).
17. Ahlussunnah: Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat
adalah sunnah.
Syiah: Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap
tidak sah / batal shalatnya.
(Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena
mengucapkan Amin dalam shalatnya).

Ritual Assyura Versi Syi'ah!

 
AYOO ... SEBARKAN !!! .. Ritual Assyura Versi Syi'ah !
" INILAH RITUAL-RITUAL AGAMA DUNGU BIN JAHIL : SYI'AH ! "
Ritual Hari ASSYURA : " Melukai ~ Menganiaya Diri Sendiri "
Ajaran Sesat-KAFIR : " SYI'AH LAKNATTULLAH ALAIHI "
Kenapa mereka berbuat TOLOL seperti itu ...???
Menurut "Ajaran Dusta" Versi Mereka :

" Semua ritual ini di Lakukan untuk Mengenang Hari Kesedihan atas tewasnya Cucu Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam, yaitu Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu di padang Karbala - Irak ."

Namun Adakah Ajaran dari Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam untuk melakukan Ritual-ritual 'Meratap' atas dasar Kesedihan yang Mendalam .. seperti itu ?

Adakah Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam Membolehkan / membenarkan perbuatan Jahil seperti itu ?

~ Mari Belajar (Tholabul Ilmi') Agama Islam Yang HAQ ~
-----------------------------------

INILAH AJARAN ISLAM YANG SESUNGGUHNYA :
LARANGAN MERATAPI ORANG MENINGGAL.

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melaknat orang yang suka melakukan ratapan berlebihan kepada mayit (kepada orang yang sudah meninggal).


َنْ أَبِى مَالِكٍ الأَشْعَرِى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : النِّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْ تِهَا، تُقَامُ يَوْمَ القِيَا مَةِ، وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانِ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Dari Abu Malik Al-Asy’ary Radahiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, Apabila wanita yang meratap tangis tidak bertaubat sebelum dia meninggal, maka dia akan dibangkitkan pada hari kiamat, dan ditubuhnya dikenakah jubah yang penuh ‘ter dan zirah’ yang penuh penyakit kudis”

--. ( Hadits shahih, ditakhrij Muslim 6/235, Ahmad 5/334, dari hadits Abu Malik, Ibnu Majah, hadits nomor 1582 dari hadits Ibnu Abbas)

Dari Abu Umamah Radhiallahu’anhu meriwayatkan :

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat wanita yang mencakar mukanya, merobek-robek bajunya, serta yang berteriak dan berkata : ‘celaka dan binasalah aku”

--. (HR Ibnu Majah : 1/505, Shahihul Jami’ : 5068)

Dan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi, yang merobek-robek pakaian dan yang menyeru dengan seruan jahiliyah”

--. (HR Al Bukhari, Fathul Bari : 3/163).

“Telah datang seorang perempuan kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, kemudian ia berkata: sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya dan matanya menjadi bengkak (karena menangis), apakah boleh saya suruh dia memakai celak? Maka jawab Rasulullah: Tidak! Dua kali atau tiga kali, tiap kali ditanya selalu menjawab "tidak.”

--. (Riwayat Bukhari dari Ummu Habibah)

Dari al-Mughirah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa yang ditangisi diiringi dengan ratapan, maka ia akan disiksa menurut kata-kata yang diucapkan dalam ratapan itu',"

--. (HR Bukhari [1291] dan Muslim [933]).


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ الْبَيْعَةِ أَنْ لَا نَنُوحَ فَمَا وَفَتْ مِنَّا امْرَأَةٌ غَيْرَ خَمْسِ نِسْوَةٍ أُمِّ سُلَيْمٍ وَأُمِّ الْعَلَاءِ وَابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ امْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَتَيْنِ أَوْ ابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ وَامْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَةٍ أُخْرَى

Nabi Shallallahu'alaihiwasallam mengambil sumpah setia dari kami ketika kami berbai'at yaitu kami dilarang meratap.

--. [HR. Bukhari No.1223].

Dari Ummu 'Athiyyah Radhiyallahu ‘anhu. ia berkata, "Ketika bai'at, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam meminta kami agar tidak meratapi mayit,"

--. (HR Bukhari (1306) dan Muslim (936).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. bersabda, 'Dua perkara yang dapat membuat manusia Kufur: mencela keturunan dan meratapi mayit',"

--. (HR Muslim [67]).

Dari Abu Malik al-Asy'ari Radhiyallahu ‘anhu. bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda, "Empat perkara yang terdapat pada ummat-ku yang termasuk perbuatan Jahiliyyah, yang tidak mereka tinggalkan, (1) Membanggakan kebesaran leluhur.
(2) Mencela keturunan.
(3) Menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang.
(4) Meratapi mayit."
Lalu beliau bersabda, "Wanita yang meratapi orang mati, apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, akan dibangkitkan pada hari Kiamat dan dikenakan kepadanya pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal,"

--. (HR Muslim [934]).

--------------------------------

Wahai kaum Muslimin,..
demikian sekumpulan Fatwa dari Dalil yang menjadi Hujjah bagi kita , Agar tidak meratapi Mayit / meninggalnya seseorang, siapapun dia, termasuk pada Baginda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam sendiri.

Maratapi sambil menangis meraung-raung / berteriak-teriak saja, atau sambil menampar pipi , merobek-robek baju , Itu perbuatan yang jelas di Larang !

Apalagi jika perbuatan seperti Kaum SYI'AH ....!!!
Mereka jelas sudah Berlebih-lebihan dalam Jahiliyah, meratap sambil melukai tubuh hingga bermandikan Darah ...!!! Sungguh Terlaknat ! .. Maka Jelas .. Syi'ah itu bukan Islam !!!

Padahal .. dalam Ajaran Islam, Kaum muslimin di perintahkan untuk bersabar atas segala Musibah yang menimpa diri kita. dan berusaha agar tidak melakukan hal-hal tercela seperti yang telah di sebutkan di atas.
Demikianlah , Allah dan RasulNya menyuruh kita agar bersabar, dan mencari keridhaan Allah, tidak guncang dan tidak marah. Sesuai FirmanNya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ وَلَا تَقُولُوا لِمَن يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan : ‘Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un”

--. [QS.Al-Baqarah : 153-156]

InsyaAllah , Semoga Bermanfaat.

~ALLAHUL MUSTA'AN~
('Hanya kepada ALLAH saja tempat kita minta Pertolongan')

KONSPIRASI PENGKHIANATAN SYI'AH !!!




"Kisah di Balik Tragedi Karbala dan Terbunuhnya Husain"
-----------------------------------

Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, atau yang dikenal sebagai Husain Radhiyallahu ‘anhu, adalah cucu Rosululloh Shallalahu alaihi wa sallam, buah hati dan kecintaannya di dunia. Ia adalah saudara Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, penghulu pemuda penduduk surga. Kedudukan tinggi tersebut tidak ia peroleh, kecuali ia lakoni dengan ujian dan cobaan, dan sungguh Husain Radhiyallahu ‘anhu telah berhasil melewati ujian tersebut secara penuh dengan kesabaran dan keteguhan (tsabat) yang sempurna hingga menemui Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Rosululloh Shallalahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya ini adalah malaikat yang belum pernah turun ke bumi sebelum ini, ia meminta izin kepada Robbnya untuk mengucapkan salam kepadaku dan menyampaikan kabar gembira bahwa Fathimah adalah penghulu kaum wanita penghuni surga dan bahwasanya Hasan serta Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga.”

--. (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani).

Husain Radhiyallahu ‘anhu dan Kronologis Syahidnya

Setelah kekhilafahan dilimpahkan kaum Muslimin kepada Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, kemudian ia turun (lengser) darinya untuk diberikan kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu untuk memelihara darah kaum Muslimin, dengan syarat selanjutnya Mu’awiyah sendiri yang akan menyerahkan kembali kekhilafahan kepada Hasan Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi Hasan meninggal dunia sebelum Mu’awiyah meninggal. Maka ketika itu Mu’awiyah memberikan kekhilafahan kepada anaknya, Yazid. Tatkala Mu’awiyah meninggal, maka Yazid memegang perintah, dan Husain enggan memba’iatnya, lalu ia keluar dari Madinah menuju ke Mekkah dan menetap di sana.

Kemudian golongan pendukung ayahnya dari Syi’ah Kufah mengirim surat kepada Husain agar ia keluar bergabung menemui mereka. Mereka menjanjikan akan menolongnya jika ia telah bergabung. Maka Husain tertipu dengan janji mereka, dan mengira bahwa mereka akan merealisasikannya untuk memperbaiki kebijakan yang buruk dan untuk meluruskan penyelisihan yang diawali pada kekhilafahan Yazid bin Mu’awiyah.

Perbuatan Husain Radhiyallahu ‘anhu untuk bergabung dengan penduduk Kufah sendiri dinilai salah oleh para penasehatnya. Di antara mereka adalah Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Abdulloh bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhum dan lainnya. Bahkan ‘Abdulloh bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu terus mendesak kepada Husain agar tetap tinggal di Mekkah dan tidak keluar. Namun dengan dilandasi baik sangka, Husain menyelisihi permusyawarahan mereka dan keluar, lalu Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Aku menitipkanmu kepada Alloh dari pembunuhan!”.

Begitu Husain Radhiyallahu ‘anhu keluar, ia menemui Farozdaq di jalan yang berkata kepadanya, “Berhati-hatilah engkau, mereka bersamamu namun pedang-pedang mereka bersama Bani Umayyah. Mereka adalah Syi’ah yang mengirim surat kepadamu, dan mereka menginginkanmu untuk keluar (ke tempat mereka), tetapi hati-hati mereka tidak bersamamu. Secara hakiki mereka mencintaimu, akan tetapi pedang-pedang mereka terhunus bersama Bani Umayyah!”

Akhirnya, sangat jelas sekali tampaklah pengkhianatan Syi’ah ahli Kufah, walau mereka sendiri yang mengharapkan kedatangan Husain Radhiyallahu ‘anhu. Maka wakil penguasa Bani Umayyah, ‘Ubaidillah bin Ziyad yang mengetahui sepak terjang Muslim bin ‘Aqil yang telah membai’at Husain, segera mendatangi Muslim dan langsung membunuhnya sekaligus tuan rumah yang menjamunya, Hani bin Urwah al-Muradi. Dan kaum Syi’ah Kufah hanya diam seribu bahasa melihat pembantaian dan tidak memberikan bantuan apa-apa, bahkan mereka mengingkari janji mereka terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhu. Hal itu mereka lakukan karena ‘Ubaidillah bin Ziyad telah memberikan segepok uang kepada mereka.

Maka ketika Husain Radhiyallahu ‘anhu keluar bersama keluarga dan pengikutnya, berangkat pula Ibnu Ziyad untuk menghancurkannya di medan peperangan, maka terbunuhlah Husain Radhiyallahu ‘anhu dan terbunuh pula semua sahabat yang mendampinginya secara terzhalimi dan dapat dianggap sebagai pembantaian sadis. Kepala mulianya terpotong, lalu diambil oleh para wanita dan anak-anak yang berada di antara pasukan dan diberikan paksa kepada Yazid di Damaskus. Ketika melihat kepala Husain dibawa ke hadapannya saat itu, Yazid pun sedih dan menangis. Kemudian para wanita dan anak-anak dikembalikan ke kota, sedangkan anak laki-laki ikut terbunuh, sehingga tidak tersisa dari anak-anak (Husain) kecuali ‘Ali Zainul Abidin yang ketika itu masih kecil.

Kemanakah Syi’ah Kufah Pendusta dan Pengkhianat?

Sejak pertama, Syi’ah Kufah sudah takut berperang dan telah “siap” menjual kehormatan mereka dengan harta. Mereka merencanakan pengkhianatan untuk mendapatkan kekayaan dan kedudukan semata, walaupun hal itu harus dibayar dengan menyerahkan salah seorang tokoh Ahlul Bait, Husain Radhiyallahu ‘anhu. Mereka tidak memberikan pertolongan kepada Muslim bin ‘Aqil, dan ternyata tidak pula ikut berperang membantu Husain Radhiyallahu ‘anhu.

Dalam tragedi mengenaskan ini, di antara Ahlul Bait lainnya yang gugur bersama Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah putera ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu lainnya, yaitu Abu Bakar bin ‘Ali, ‘Umar bin ‘Ali, dan ‘Utsman bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Juga putera Hasan sendiri, Abu Bakar bin Hasan Radhiyallahu ‘anhu. Namun anehnya, ketika kita mendengar kaset-kaset, ataupun membaca buku-buku Syi’ah yang menceritakan kisah pembunuhan Husain Radhiyallahu ‘anhu, keempat Ahlul Bait tersebut tidak pernah diungkit. Lantas, apa tujuannya ?

Tentu saja, agar para pengikut Syi’ah tidak memberi nama anak-anak mereka dengan tiga nama sahabat Rasululloh Shallalahualaihi wa sallam yang paling dibenci orang-orang Syi’ah, bahkan yang dilaknat oleh mereka setiap harinya.

Melihat kebusukan perangai dan pengkhinatan Syi’ah, Husain Radhiyallahu ‘anhu dalam doanya yang sangat terkenal sebelum wafat atas mereka adalah “Ya Alloh, apabila Engkau memberi mereka kenikmatan, maka cerai-beraikanlah mereka, jadikanlah mereka menempuh jalan yang berbeda-beda, dan janganlah restui para pemimpin mereka selamanya, karena mereka telah mengundang kami untuk menolong kami, namun ternyata malah memusuhi kami dan membunuh kami!”.

Konspirasi dibalik Terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhu
Di balik tragedi Karbala, yaitu terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhu dan banyak Ahlul Bait lainnya serta rombongan yang menyertainya, ada rahasia besar yang harus diketahui, yaitu:

1. Ternyata yang membunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah ‘Ubaidillah bin Ziyad yang berkolaborasi dengan Syi’ah Husain.
Fakta ini bahkan diakui oleh sejarawan Syi’ah sendiri, Mulla Baqir al-Majlisi, Qadhi Nurullah Syustri dan lainnya, tentunya selain fakta sejarah yang jelas dan mengedepankan nilai ilmiah yang selama ini telah banyak beredar.

Mereka adalah para pengkhianat, musuh-musuh semua kaum Muslimin, bukan hanya bagi Ahlus Sunnah saja.

2. Kecintaan Syi’ah terhadap Ahlul Bait hanyalah isapan jempol dan kebohongan yang dipropagandakan.
Bahkan yang Syi’ah da’wahkan tiada lain merupakan upaya untuk menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran Majusi Saba’iyah (pengikut Abdulloh bin Saba’).

3. Keadaan Syi’ah yang selalu diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang masa dalam sejarah membuktikan dikabulkannya doa Husain Radhiyallahu ‘anhu di medan Karbala akan adzab Syi’ah.

4. Upacara dan ritual Asyura’-an, seperti menyiksa badan dengan cara memukul-mukul tubuh dengan rantai, pisau dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh Syi’ah sehingga mengalirkan darah, juga merupakan bukti diterimanya doa Husain Radhiyallahu ‘anhu, bahkan mereka terhina dengan tangan mereka sendiri.

Dari upaya menelusuri tragedi terbunuhnya Husain Rahimahullah dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Syi’ah bukanlah Ahlul Bait, dan Ahlul Bait berlepas diri dari Syi’ah, diantara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jauh, bagaikan timur dan barat, bahkan lebih jauh lagi.

2. Barangsiapa yang mengaku-ngaku mencintai dan mengikuti jejak Ahlul Bait, namun ternyata mereka berlepas diri dari orang-orang yang dicintai Ahlul Bait tersebut, maka sebenarnya itu hanyalah klaim kedustaan dan propaganda kesesatan.
Mereka itulah Kaum Syi'ah !

Benarkah Kaum Syiah Mencintai Ahlul Bait?



Oleh, Ustadz Dzulqarnain M. Sanusi

Kaum Syi’ah menyangka bahwa mereka berloyalitas kepada Ahli Bait (keluarga) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan mencintai Ahlul Bait. Mereka juga menyangka bahwa madzhab mereka diambil dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Ahlul Bait dan dibangun di atas pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat dari Ahlul Bait. Karena alasan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Syi’ah mengafirkan para shahabat yang dianggap menzhalimi dan melanggar kehormatan Ahlul Bait. Inilah keyakinan yang tertanam pada akal-akal kaum Syi’ah.

Benarkah kaum Syi’ah mencintai Ahlul Bait?
Mari kita melihat bagaimana sebenarnya kecintaan kaum Syi’ah kepada Ahlul Bait dan bagaimana sikap Ahlul Bait itu sendiri terhadap kaum Syi’ah.
Definisi Ahlul Bait
Kaum Syi’ah Rafidhah bersepakat untuk membatasi Ahlul Bait Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam hanya pada Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhû, Fathimahradhiyallâhu‘anhâ, Al-Hasan radhiyallâhu‘anhumâ, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ. Kemudian, mereka memasukkan sembilan orang imam dari keturunan Al-Husain radhiyallâhu anhû dalam hal tersebut: (1) Ali Zainul ‘Âbidin, (2) Muhammad Al-Bâqir, (3) Ja’far Ash-Shâdiq, (4) Musa Al-Kâzhim, (5) Ali Ar-Ridhâ, (6) Muhammad Al-Jawwâd, (7) Ali Al-Hâdy, (8) Al-Hasan Al-‘Askar, dan Imam Mahdi mereka, (9) Muhammad Al-‘Askar. [Al-Anwâr An-Nu’mâniyah 1/133, Bihâr Al-Anwâr35/333, dan selainnya. Bacalah Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîdkarya Sulaimân As-Suhaimy hal. 352-356 dan Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 13-20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Hakikat definisi kaum Syi’ah tentang Ahlul Bait di atas adalah celaan terhadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husainradhiyallâhu‘anhum.
Mereka meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia menjadi murtad setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang.” Saya (perawi) bertanya, “Siapakan tiga orang itu?” Beliau menjawab, “Al-Miqdad, Abu Dzarr, dan Salman Al-Fârisy ….” [Raudhah Al-Kâfy 8/198]
Juga datang sebagian riwayat mereka tentang pengecualian untuk tujuh orang, yang Al-Hasan dan Al-Husain tidak tersebut dalam pengecualian itu.
Mereka meriwayatkan dari Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhûbahwa beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar gembira serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa alihi meninggal dan beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly hal. 726 karya Ash-Shadûq]
Kaum Syi’ah juga tidak mengakui putri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallamsebagai Ahlul Bait beliau, kecuali Fathimah saja. Mereka berkata, “Ahli tarikh menyebut bahwa Nabi (sha) memiliki empat putri. Berdasarkan urutan kelahirannya, mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Namun, menurut penelitian cermat tentang nash-nash tarikh, kami tidak menemukan dalil yang menunjukkan (keberadaan) anak (untuk beliau), kecuali Az-Zahrâ` (‘ain), Bahkan, yang tampak adalah bahwa anak-anak perempuan yang lain adalah anak-anak Khadijah dari suaminya yang pertama sebelum Nabi Muhammad (sha) ….” [Dâ`irah Al-Ma’ârif Al-Islâmiyah Asy-Syi’iyyah 1/27 karya Muhsin Al-Amin]
Demikianlah kedunguan kaum Syi’ah dalam menentang Allah Ta’âlâ, padahal Allah menyebut anak-anak perempuan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan konteks jamak yang menunjukkan jumlah lebih dari tiga sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin bahwa hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ….” [Al-Ahzâb: 59]
Kaum Syi’ah juga tidak memasukkan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamdalam lingkup Ahlul Bait, padahal ayat tentang keutamaan Ahlul Bait asalnya ada dalam konteks penyebutan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah firman-Nya,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌلرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا. وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain jika kalian bertakwa. Maka, janganlah kalian lembut dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Hendaklah kalian tetap berada di rumah-rumah kalian, janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu, serta dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa-apa yang dibacakan di rumah kalian berupa ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzâb: 32-34]
Kebencian kaum Syi’ah terhadap para istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamsangatlah besar, terkhusus terhadap Aisyah dan Hafshah radhiyallâhu‘anhmâ, sehingga salah seorang pembesar mereka dari Hauzah, Sayyid Ali Gharwy, berkata, “Sesungguhnya, sebagian kemaluan Nabi harus masuk ke dalam neraka karena beliau telah menggauli sebagian perempuan musyrik.” [Disebutkan dalam Kasyful Asrâr hal. 21 karya Husain Al-Musawy]
Mereka juga tidak memasukkan anak-anak Ali bin Abi Thalib –kecuali Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ – ke dalam golongan Ahlul Bait, padahal Ali memilliki beberapa anak selain Al-Hasan dan Al-Husain, yaitu Muhammad bin Al-Hanafiyyah, Abu Bakr, Umar, Utsman, Al-‘Abbâs, Ja’far, Abdullah, ‘Ubaidullah, dan Yahya. [Asy-Syi’ah Wa Ahlul Bait hal. 20 karya Ihsân Ilâhî Zhahîr]
Kaum Syi’ah juga tidak menganggap anak-anak Al-Hasan sebagai Ahlul Bait sebagaimana mereka juga tidak menganggap anak-anak Al-Husain sebagai Ahlul Bait, kecuali Ali Zainul ‘Abidin. Padahal, Al-Husain memiliki anak yang bernama Abdullah dan Ali (lebih tua daripada Ali Zainul ‘Abidin) yang keduanya ikut mati syahid bersama Al-Husain di Karbalâ`. [Huqbah Min At-Târikh hal. 242 karya Utsman Al-Khumayyis]
Sebagaimana pula, mereka juga tidak menganggap Bani Hasyim sebagai Ahlul Bait, padahal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memasukkan mereka ke dalam lingkup Ahlul Bait sebagaimana dalam kisah Abdul Muthlib bin Rabî’ah bin Harits bin Abdul Muthlib dan Al-Fadhl bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthlib, yang meminta untuk dipekerjakan terhadap harta sedekah agar keduanya memperoleh upah untuk menikah maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada keduanya,
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
“Sesungguhnya sedekah tidaklah pantas bagi keluarga Muhammad. Hal tersebut hanyalah kotoran-kotoran manusia.” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Bahkan, kaum Syi’ah menyebut bahwa Ali bin Abi Thalib berdoa, “Ya Allah, laknatlah dua anak Fulan -yaitu Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua anak Al-‘Abbâs, sebagaimana dalam catatan kaki-. Butakanlah mata keduanya sebagaimana engkau telah membutakan kedua hati mereka ….” [Rijâl Al-Kisysyi hal 52]
Juga sebagaimana mereka menghinakan ‘Âqil dan Al-‘Abbâs dalam sejumlah riwayat mereka.
Beberapa Penghinaan kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait[1]
Tidak pernah suatu hari pun kaum Syi’ah mencintai dan menaati Ahlul Bait. Bahkan, buku-buku mereka telah menetapkan penyelisihan dan penentangan mereka terhadap Ahlul Bait.
Perhatikanlah kelancangan mereka terhadap Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamdalam riwayat mereka, bahwa Ali memperbandingkan antara dirinya dan diri Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ali berkata, “Aku adalah pembagi Allah antara Surga dan Neraka. Aku adalah pembeda terbesar. Aku adalah pemilik tongkat dan misam. Sungguh seluruh malaikat dan rasul telah mengakui untukku apa yang mereka diakui untuk Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi. Sungguh aku telah dibebani seperti beban Ar-Rabb. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi akan dipanggil kemudian diberi pakaian, Aku juga dipanggil kemudian diberi pakaian. Beliau diminta berbicara dan Aku juga diminta berbicara. Hingga di sini, Kami adalah sama. Adapun Aku, sungguh Aku telah diberi beberapa sifat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun sebelumku. Aku mengetahui angan-angan, bencana-bencana, nasab-nasab, fashlul khithab. Tidaklah luput sesuatu yang telah mendahuluiku, dan tidaklah pergi sesuatu yang telah berlalu dariku.” [Ushûl Al-Kâfy, kitab Al-Hujjah 1/196-197]
Nash di atas bukanlah hal aneh dalam buku-buku kaum Syi’ah, bahkan buku-buku mereka berisi pengutamaan Ahlul Bait terhadap para nabi dan para malaikat.
Mereka juga menyebutkan riwayat tentang peremehan terhadap putra Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim. Simpulannya adalah bahwa Jibril mendatangi Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menimang-nimang anaknya, Ibrahim, dan cucunya, Al-Husain. Jibril pun berkata, “Allah telah mengutusku dan memberi salam kepadamu dan berfirman bahwa dua anak ini tidak berkumpul dalam satu waktu maka pilihlah salah satu di antara keduanya dan korbankanlah yang lainnya.” Kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memandangi Ibrahim dan menangis, lalu beliau melihat kepada penghulu para syahid (Al-Husain) dan menangis. Beliau pun berkata, “Sesungguhnya Ibrahim, ibunya hanyalah seorang budak. Kalau dia meninggal, tak seorang pun yang bersedih terhadapnya, kecuali Aku. Adapun Al-Husain, ibunya adalah Fathimah dan ayahnya adalah Ali, sedang (Ali) adalah anak pamanku dan seperti kedudukan ruhku, serta dia adalah darah dan dagingku. Kalau (Al-Husain) meninggal, (Ali) akan bersedih dan Fathimah akan bersedih.” Kemudian beliau berbicara kepada Jibril, “Wahai Jibril, Aku mengorbankan Ibrahim untuk Al-Husain, dan Aku meridhai kematiannya agar Al-Husain dan Yahya tetap hidup.” [Hayâh Al-Qulûb 1/593 karya Al-Majlisy]
Bahkan, terhadap Ali bin Abi Thalib sendiri, mereka menyebutkan kelemahan, ketakutan, dan kehinaan Ali saat Abu Bakr diangkat menjadi khalifah [kitab Salîm bin Qais hal 84, 89]. Ketika kaum Syi’ah menyikapi putri Ali, Ummu Kultsum, yang dinikahi oleh Umar, mereka menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa Ja’far berkata, “Itu adalah kemaluan yang telah Kami rampok.” [Furû’ Al-Kâfy 2/141 karya Al-Kulîny]. Dalam riwayat lain disebutkan, “Ali tidak ingin menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan Umar, tetapi (Ali) takut terhadap (Umar) sehingga (Ali) mewakilkan kepada pamannya, ‘Abbâs, untuk menikahkan (Umar).” [Hadîqah Asy-Syî’ah hal. 277 karya Muqaddas Al-Ardabîly]
Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr juga menyebutkan penghinaan kaum Syi’ah terhadap Fatimah, Al-Hasan, Al-Husain, dan keturunannya hingga imam kesepuluh mereka. Makalah ini tidak cukup memuat seluruh hal tersebut.
Sikap Ahlul Bait terhadap Kaum Syi’ah[2]
Dalam buku-buku kaum Syi’ah, mereka menyebutkan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû berkata, “Andaikata aku membedakan Syi’ahku, tidaklah Aku akan mendapati mereka, kecuali sifat yang jelas. Andaikata menguji mereka, tidaklah Aku mendapati mereka, kecuali bahwa mereka telah murtad. Andaikata menyaring mereka di antara seribu orang, tidak akan ada seorang pun yang selamat.” [Raudhah Al-Kâfy 8/338]
Mereka juga menyebutkan ucapan Ali bin Abi Thalib terhadap kaum Syi’ah tatkala mereka berkhianat terhadap beliau. Ali radhiyallâhu‘anhû berkata kepada kaum Syi’ah, “Wahai orang-orang yang mirip lelaki, tetapi bukan lelaki, orang-orang yang berakal anak-anak kecil, dan akal-akal para perempuan bergelang kaki, Aku sangatlah berharap agar tidak melihat kalian dan tidak mengenal kalian dengan pengenalan bergetir penyesalan, demi Allah, dan bertabrak celaan. Semoga Allah memerangi kalian. Sungguh kalian telah memenuhi hatiku dengan nanah, mengumpat dadaku dengan kemarahan, menegukkan tegukan kebusukan yang menyesakkan nafas-nafas kami, dan kalian telah merusak ideku dengan penentangan dan penggembosan sehingga orang-orang Quraisy berkata, ‘Sesungguhnya Ibnu Abi Thalib adalah seorang pemberani, tetapi tidak berilmu tentang peperangan dan tidak memiliki pendapat terhadap orang yang tidak ditaati.’.” [Nahj Al-Balâghah 70-71]
Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ juga mendoakan kejelekan terhadap kaum Syi’ah sebagaimana yang mereka sebutkan bahwa beliau berdoa, “Ya Allah, kalau Engkau memberi mereka tenggat waktu, cerai-beraikanlah mereka berkelompok-kelompok, jadikanlah mereka bergolongan-golongan yang beraneka ragam, dan janganlah Engkau menjadikan para pemerintah meridhai mereka selama-lamanya. Sesungguhnya mereka telah memanggil kami untuk menolong kami, tetapi mereka melampaui batas lalu memerangi kami.” [Al-Irsyâd hal. 241 karya Al-Mufîd]
Al-Hasan bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ berkata sebagaimana dalam riwayat mereka, “Demi Allah, aku melihat Mu’âwiyah lebih baik bagiku daripada mereka. Mereka menyangka bahwa mereka adalah Syi’ahku, (tetapi) mereka ingin membunuhku dan mengambil hartaku. Demi Allah, andaikata dari Mu’âwiyah aku mengambil sesuatu yang menjaga darahku dan aku melindungi keluargaku, hal itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluargaku akan terlantar. Demi Allah, andaikata aku memerangi Mu’âwiyah, pastilah mereka mengambil leherku hingga mereka menyerahkanku kepada (Mu’âwiyah) dengan selamat. Demi Allah, andaikata aku berdamai dengan (Mu’awiyah) dan berada dalam keadaan mulia, hal itu lebih baik daripada dia membunuhku sebagai tawanan.” [Al-Ihtijâj 2/10]
Ali bin Al-Husain Zainul Abidin berkata, “Bukankah kalian mengetahui bahwa kalian menulis kepada ayahku, tetapi kalian memperdaya beliau serta memberi janji dan persetujuan dari diri-diri kalian, kemudian kalian memerangi dan menelantarkan beliau. Dengan mata apa kalian memandang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi ketika beliau berkata, ‘Kalian telah membunuh keluargaku dan melanggar kehormatanku. Kalian bukanlah bagian dari umatku.” [Al-Ihtijâj 2/32]
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya mereka menangisi kami, tetapi siapa yang membunuh kami kalau bukan mereka?” [Al-Ihtijâj 2/29]
Muhammad bin Ali Al-Bâqir berkata, “Andaikata seluruh manusia adalah Syi’ah kami, pastilah tiga perempatnya adalah orang yang ragu terhadap kami, sedang seperempatnya adalah orang dungu.” [Rijâl Al-Kisysyi hal. 79]
Ja’far bin Muhammad Ash-Shâdiq berkata, “Demi Allah, ketahuila. Andaikata aku menemukan tiga orang mukmin di antara kalian yang (mampu) menyembunyikan pembicaraanku, tentu aku tidaklah halal menyembunyikan pembicaraan terhadap mereka.” [Ushûlul Kâfy 1/496]
Banyak lagi riwayat dari Ahlul Bait yang mengandung celaan dan penjelasan mereka tentang kaum Syi’ah yang mengaku mencintai Ahlul Bait.
Pengkhianatan Kaum Syi’ah terhadap Ahlul Bait tentang Sikap kepada Para Shahabat
Dalam Irsyâd Al-Ghâby Ilâ Madzhab Ahlil Bait Fî Shahbin Naby, Imam Asy-Syaukany menyebutkan dua belas jalur kesepakatan para Imam Ahlul Bait dari berbagai masa tentang sikap mereka yang sesungguhnya terhadap para shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Dalam riwayat-riwayat mereka sendiri, terdapat penyebutan ucapan-ucapan Ahlul Bait yang memuji dan memiliki hubungan baik dengan seluruh para shahabat, termasuk Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya.
Nash-nash dalam buku-buku Syi’ah tentang hal tersebut disebutkan dalam kitabAsy-Syî’ah Wa Ahlul Bait karya Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîr rahimahullâh.
Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhû sendiri memuji para shahabat dalam ucapan beliau, “Sungguh aku telah melihat para shahabat Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi. Aku tidak melihat seorang pun di antara kalian yang menyerupai mereka! Sungguh pada waktu pagi mereka kusut lagi berdebut, pada waktu malam mereka bersujud dan melakukan qiyâm. Mereka beristirahat antara dahi-dahi dan pipi-pipi mereka, dan berhenti seperti bara-bara api ketika mengingat hari kebangkitan, seakan-akan antara mata-mata mereka seperti bekasan kambing karena sujud mereka yang panjang. Apabila Allah disebut, berlinanglah mata-mata mereka sehingga membasahi dada-dada mereka, bergoyang seperti pepohonan bergoyang pada hari saat angin kencang, karena takut terhadap siksaan dan harapan akan pahala.” [Nahj Al-Balâghah hal. 143]
Selain itu, telah berlalu penyebutan beberapa anak dari Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, dan Al-Husain radhiyallâhu‘anhum yang bernama Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Hal ini menunjukkan kedekatan antara Ahlul Bait dan Khulafa` Ar-Rasyidin, yang berbeda dengan Syi’ah yang mengafirkan para shahabat, khususnya tiga Khulafa` Ar-Rasyidin.
Pembunuhan Al-Husain[3]
Di antara kamus pengkhianatan kaum Syi’ah adalah pembunuhan mereka terhadap Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu‘anhumâ. Berikut kisah tersebut secara ringkas.
Pada tahun 60 H, Yazîd bin Mu’âwiyah dibaiat sebagai khalifah, padahal umur beliau masih 34 tahun. Al-Husain dan Abdullah bin Az-Zubair tidak berbaiat kepada Yazîd bin Mu’âwiyah, padahal beliau berdua berada di Madinah. Kemudian keduanya keluar dari Madinah menuju Makkah tanpa berbaiat. Kejadian tersebut terdengar oleh penduduk Kufah yang notabene merupakan orang-orang yang mengaku loyal kepada Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya. Mereka pun mengirim berbagai surat kepada Al-Husain yang menyatakan, “Kami telah membaiatmu, kami tidak menginginkan, kecuali engkau. Di leher kami tiada baiat untuk Yazîd, tetapi baiat hanya untukmu.” Semakin banyak surat yang sampai kepada Al-Husain hingga lebih dari lima ratus surat. Semua surat itu berasal dari penduduk Kûfah.
Menanggapi hal tersebut, Al-Husain radhiyallâhu‘anhumâ mengirim anak pamannya, Muslim bin ‘Aqîl bin Abi Thalib, untuk mengetahui hakikat perkara. Begitu tiba di Kûfah, Muslim pun segera bertanya-tanya ke sana-sini sehingga Muslim mengetahui bahwa manusia tidak menginginkan Yazîd, tetapi menginginkan Al-Husain. Ketika Muslim berlabuh di rumah Hâni` bin ‘Urwah, manusia pun berbondong-bondong mendatangi rumah Hâni` dan membaiat Muslim di atas baiat kepada Al-Husain. Kemudian Muslim mengirim pesan kepada Al-Husain agar Al-Husain segera datang ke Kûfah.
Hal tersebut terdengar oleh Yazid, yang kemudian mengutus ‘Ubaidullah bin Ziyâd sebagai gubernur Kufah untuk menanggapi kejadian tersebut. Setelah memastikan dan menyelidiki kepastian berita, segeralah Ubaidullah menahan Hâni` bin ‘Urwah. Mendengar Hâni` bin ‘Urwah tertahan, Muslim keluar dengan membawa empat ribu orang penduduk Kûfah yang telah membaiat Al-Husain.
Hanya dalam hitungan beberapa saat, tidaklah tersisa di antara empat ribu, kecuali tiga puluh orang, setelah ‘Ubaidullah memberi janji-janji pemberian untuk sebagian orang terpandang agar membuat penduduk Kûfah takut terhadap tentara Syam, yang berada pada pihak Yazîd bin Mu’âwiyah. Setelah matahari terbenam, tidak tersisa seorang pun, kecuali Muslim bin ‘Aqîl seorang diri.
‘Ubaidullah bin Ziyâd kemudian menawan dan membunuh Muslim pada hari ‘Arafah. Namun, sebelumnya, Muslim telah mengirim wasiat kepada Al-Husain, menceritakan peristiwa tersebut agar Al-Husain kembali dan tidak tertipu oleh penduduk Kûfah.
Al-Husain, yang telah berangkat ke Kûfah semenjak hari Tarwiyah, menerima pesan dari Muslim bin Aqîl dan telah berniat kembali ke Makkah. Namun, sebagian anak Muslim yang ikut bersama rombongan memberi saran agar rombongan tetap berangkat supaya dia bisa menuntut darah ayahnya.
Akhirnya, Al-Husain tetap berangkat menuju Iraq hingga tiba di Karbalâ`, dan beliau terbunuh sebagai syahid di tempat tersebut berserta tujuh belas orang Ahlul Bait dari anak-anak Al-Husain, Al-Hasan, ‘Aqil, dan Abdullah bin Ja’far pada 10 Muharram 61 H.
Kaum Syi’ah bercerita, “Dua puluh ribu orang penduduk Iraq membaiat Al-Husain, tetapi kemudian berkhianat terhadap beliau dan keluar memerangi mereka, padahal baiat berada di leher-leher mereka, kemudian mereka membunuh (Al-Husain).” [Muhsin Al-Amin dalam bukunya, A’yân Asy-Syî’ah, bagian pertama hal. 34]
Al-Mas’ûdy berkata, “Seluruh tentara, yang menghadiri pembunuhan Al-Husain serta memerangi dan membunuh beliau, hanyalah penduduk Kufah. Tidak ada seorang penduduk Syam pun yang hadir.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/76]
Al-Mas’ûdy juga berkata, “Begitu bala tentara semakin banyak (mengepung) Al-Husain, dan beliau menyangka tidak akan selamat lagi, beliau berdoa, ‘Ya Allah, tetapkanlah hukum antara kami dan kaum yang memanggil kami, tetapi kemudian mereka sendiri yang membunuh kami.” [Murawwij Adz-Dzahab 3/75]
Setelah kita mengetahui siapa sebenarnya pembunuh Al-Husainradhiyallâhu‘anhumâ, ternyata kaum Syi’ah tidak mencukupkan diri dengan pengkhianatan mereka. Bahkan, mereka membuat kedustaan-kedustaan terhadap Ahlul Bait akan anjuran untuk merayakan dan memperingati hari Karbalâ`(hari Âsyûrâ`, 10 Muharram).
Rujukan kaum Syi’ah, Ath-Thûsy, meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Musa Ar-Ridha bahwa Ali bin Musa berkata, “Siapa saja yang meninggalkan upaya menunaikan hajatnya pada hari Âsyûrâ`, Allah akan menunaikan hajatnya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menjadikan hari Âsyûrâ` sebagai hari musibah, bersedih, dan menangisnya, Allah ‘Azza Wa Jalla akan menjadikannya pada hari kiamat sebagai hari kegembiraan dan kesenangan, serta menyejukkan mata kami di surga ….” [Amâlî Ath-Thûsy hal. 194, Bihâr Al-Anwâr 44/284]
Al-Barqy meriwayatkan dengan sanadnya hingga Ja’far Ash-Shâdiq, bahwa Ja’far berkata, “Siapa saja yang Al-Husain disebut di sisinya, kemudian meneteskan air mata, walaupun seperti sayap nyamuk, dosanya akan diampuni, meskipun seperti buih di lautan.” [Al-Mahâsin hal. 36, Bihâr Al-Anwâr 44/289]
Bahkan, Al-Mufid meriwayatkan dengan sanadnya hingga Al-Husain bin Ali sendiri, bahwa Al-Husain berkata, “Tidak ada seorang hamba pun yang berlinang air mata untuk kami atau meneteskan satu tetes air mata untuk kami, kecuali bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam Surga dalam kurun waktu yang panjang.” [Amâlî Al-Mufîd hal. 209, Bihâr Al-Anwâr 44/279]
Demikianlah segelintir kedustaan kaum Syi’ah dalam pembunuhan terhadap Al-Husain bin Ali radhiyallâhu‘anhumâ.
Kami Perlu mengingatkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ
“Bukanlah dari kami, orang yang memukul pipinya, menyobek kantong bajunya, serta menyeru dengan seruan jahiliyah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu‘anhû]

[1] Disadur dari kitab Asy-Syî’ah Wa Ahlul Bait karya Syaikh Ihsân Ilâhî Zhahîrrahimahullâh.
[2] Disadur dari Kasyf Al-Asrâr Wa Tabriah Al-A`immah Al-Athhâr hal. 14-18 karya Sayyid Husain Al-Musawy, seorang ulama Najaf.
[3] Diringkas dari Huqbah Min At-Târikh karya ‘Utsmân Al-Khumayyis hal. 229-259,Al-‘Aqidah Fî Ahlil Bait Bain Al-Ifrâd Wa At-Tafrîd karya Sulaimân As-Suhaimy hal. 490-504, dan Man Qatala Al-Husain karya Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz.