Cari Blog Ini

Minggu, 26 Januari 2014

TENTANG SYI'AH - BAGIAN I

Syi’ah

Definisi Syi’ah menurut Ensikoledi Islam (1997), adalah ”Syi’ah dari segi bahasa berarti Pengikut, Kelompok atau Golongan. Dari segi terminologi berarti satu golongan dalam Islam yang meyakini bahwa Kholifah Keempat dari empat Khulafahur Rosyidin (Kholifah yang diberi petunjuk) Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam”.

Disebutkan pula bahwa jumlah pengikutnya adalah sekitar 20% muslim seluruh dunia, dan berada tersebar di negara-negara Iran, Iraq, Afghanistan, Pakistan, India, Libanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, bekas negara Uni Soviet, serta beberap negara Amerika dan Eropa.

Di antara pengikutnya, terbagi-bagi menjadi berbagai Firqoh (perpecahan) yang in syaa Allah akan diterangkan. Ada yang masih mau beribadah bersama kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan golongan lain, namun ada pula yang memusuhi (bahkan menganggap kafir)  Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik secara sembunyi-sembunyi (taqiyyah) maupun terang-terangan.

Dalam perkembangannya, istilah Syi’ah ini melekat dengan pengikut (Syi’ah) Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang memilih beroposisi terhadap kekuasaan Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - pasca peristiwa arbitrase perdamaian antara Ali - rodhiollohu ‘anhu - dan Mu’awaiyah - rodhiollohu ‘anhu -, bahkan setelah perdamaian antara Hasan bin Ali bin Abi Tholib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, rodhiyallahu ’anhum.

Kaum ini berkeyakinan bahwa yang sesungguhnya berhak menggantikan Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - sebagai pemimpin adalah hanya keluarganya (ahl al-bait atau ahlul bait). Dan di antara keluarganya yang paling berhak, adalah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - sebagai menantu dan sepupu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, karena tak ada anak laki-laki Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang hidup sampai akil-baligh atau dewasa.

Pendeknya, sepeninggal Ali - rodhiollohu ‘anhu -, hak imamah (kepemimpinan umat Islam) tersebut semestinya beralih kepada anak-anak keturunannya dari Fatimah binti Muhammad al-Zahrah, putri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam; menurut mereka. Maka dalam paham Syi’ah, imamah (kepemimpinan umat), haruslah berdasar pada nash (keturunan) dan penunjukan.

Dan fenomena yang menarik, ada sebagian dari kalangan yang populer di Indonesia, yaitu kalangan Habib atau Haba’ib yang dikenal juga sebagai ’Alawiyyin atau Ba Al(a)wi atau Sayyid-Sayyidah atau Syarif-Syarifah, pendeknya mereka yang merasa masih termasuk sebagai Ahlul Bait (keturunan atau keluarga besar Nabi  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang bagi kalangan lain masih dapat diperdebatkan keabsahan nasabnya); bersimpati kepada, mengajarkan secara tak sengaja, atau bahkan sengaja dan terang-terangan mengikuti Syi’ah dan melakukan ritualnya serta mengajarkannya.

Maka golongan ini mempopulerkan Madzhab baru, yangdisebutkan Madzhab Ahlul Bait, dengan argumen bahwa siapapun juga dari keturunan Nabi shollollohu ‘alaihi wasallam (dan mungkin pula keturunan para Nabi yang lain), pasti benar, apapun juga yang terjadi, lebih-kurangsecara singkat.
Sebagai catatan penting, sebagian lain dari golongan Ahlul Bait ini, masih tetap Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan bahkan cukup banyak juga yang sangat menentang kaum mereka sendiri yang menjadi Syi’ah dan Madzhab baru itu.

Maka Syi’ah berlindung di balik pemahaman kecintaan terhadap Ahlul Bait.

Satu hal yang mengherankan, apakah Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) tidak harus dan patut mencintai Ahlul Bait sedangkan ini bagian dari akidah Sunni?

Mengapa Syi’ah berusaha menonjolkan ini sebagai ciri khas mereka, padahal Keduabelas Imam mereka tidak berusaha membenci dan menyebarluaskan kebencian terhadap Sahabat Nabi, yang sebenarnya juga adalah Ahlul Bait, dan mereka saling berkerabatan?

Saling berbesan? Saling bermenantu? Saling bermertua?

Dan ini termasuk Rosululloh Muhammad bin ’Abdullah bin Abdul Muthalib shollollohu ’alaihi wasallam sendiri?

Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - sendiri adalah anak dari bangsawan Quraisy Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu – kerabat dari Rosululloh – shollollohu ‘alaihi wasallam - yang dulu memerangi dengan sangat sengit kaum Muslimiin generasi pertama namun berhenti dan bertobat masuk Islam kira-kira pada masa dalam pembebasan atau pemenangan kota Makkah (Fathu Makkah) oleh kaum muslimiin, bahkan kemudian ikut berperang di pihak muslimiin dengan setia. Beliau, Mu’awiyah bin Abu Sufyan – rodhiollohu ’anhu - , adalah salah satu sahabat pula, tentu saja, dan bahkan juga meriwayatkan Hadits.

Pendapat yang paling menonjol tentang munculnya Syi’ah adalah bahwa golongan ini muncul setelah Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - terbunuh oleh kaum pemberontak Khawarij. Maka pada saat itu golongan umat menjadi terbagi antara lain lebih-kurang menjadi:

1)    Golongan Jumhur (mayoritas umat, yaitu para sahabat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan para tabi’in serta solihiin).
2)    Golongan Khawarij (yang menginginkan kehidupan agama idealis ekstrem dan mudah memvonis kafir orang yang melakukan dosa).
3)    Golongan Syi’ah (pendukung) Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - (yang oleh Ali - rodhiollohu ‘anhu - sendiri, dicermati dengan was-was, kiranya) untuk semakin menguat setelah ada pertentangan antara Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan Mu’awaiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - mengenai pembunuhan Kholifah Utsman dan lain-lain hal.

Jumhur ahli bersepakat bahwa ini juga terjadi akibat campur-tangan hasutan ‘Abdullah bin Saba’ (’Abdullah ibnu Saba’), Yahudi Madinah yang berpura-pura masuk Islam dan menghasut-mengacau dari dalam umat, di Abad Pertama Islam pada masa pemerintahan Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -. Adalah ‘Abdullah Ibnu Saba’, yang pertama kali dikenal mengakui Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - sebagai Kholifah, berkedudukan lebih tinggdir daripada kesemua Khulafahur Rosyidin yang lain dan bahkan – lebih jauh - sebagai jelmaan Tuhan.

Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi berasal dari Shan’a, Yaman yang datang ke Madinah kemudian berpura-pura setia kepada Islam pada masa Khilafah dari Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - padahal dialah yang sesungguhnya mempelopori kudeta berdarah dan melakukan pembunuhan kepada khalifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, dialah juga pencetus aliran Syi’ah yang kemudian mengkultuskan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -.

Kelahiran Syi`ah diawali ketika seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah Bin Saba muncul dan berpura-pura memeluk Islam, mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), berlebihan dalam menyanjung Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ‘anhu , dan menda’wahkan adanya wasiat khusus dari Nabi - shollollohu ‘alaihi wasallam - bagi Ali rodhiollohu ‘anhu untuk menjadi Kholifah sepeninggal beliau shollollohu ‘alaihi wasallam, serta pada akhirnya ia mengangkat Ali rodhiollohu ‘anhu  ke tingkat ketuhanan.

Ia mentransfer apa-apa yang ditemukannya dalam ide-ide Yahudi ke dalam ajaran Syi`ah, seperti Raj`ah (munculnya kembali Imam), menetapkan sifat bada` bagi Allahyaitu Allahbaru mengetahui sesuatu bila sudah terjadi, para Imam mengetahui hal-hal yang ghaib dan ide-ide lainnya. Ia pernah berkata ketika ia masih menganut agama Yahudi, bahwa Yusha Bin Nun telah mendapat wasiat dari Nabi Musa ‘alaihis salaam, sebagaimana dalam Islam bahwa Ali juga telah mendapat wasiat dari Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam.

‘Abdullah Bin Saba telah berpindah-pindah dari Madinah ke Mesir, Kufah, Fusthath dan Basrah, kemudian berkata kepada Ali: “Engkau, Engkau”, maksudnya “Engkau (Ali) adalah Allah”, sesuatu yang mendorong Ali memutuskan diri untuk membakarnya sebagai hukuman, tetapi Abdulloh bin Abbas rodhiollohu ‘anhu menasihatinya agar keputusan itu tidak di laksanakan. Kemudian ia di buang ke Madain.

Saif bin Umar at Tamimi mengatakan (lihat Tarikh ath-Thabari, 4 atau 340 dan sesudahnya) bahwa sebab terjadinya pemberontakan beberapa kelompok terhadap Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - adalah seorang Yahudi bernama ‘Abdullah bin Saba' yang berpura-pura beragama Islam dan pergi ke daerah Mesir untuk menyebarkan idenya sendiri di beberapa kalangan masyarakat.

la mengatakan kepada seseorang, "Bukankah ‘Isa bin Maryam akan kembali ke dunia?" Jawab orang itu, "Ya!" la berkata lagi, "Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - lebih baik daripada ‘Isa. Apakah kamu mengingkari bahwa beliau akan kembali ke dunia sementara beliau lebih mulia dari pada ‘Isa bin Maryam?", kemudian ia berkata, "Beliau telah memberikan wasiatnya kepada Ali bin Abi Tholib. Muhammad Nabi terakhir dan Ali penerima wasiat yang terakhir. Berarti Ali lebih berhak untuk menjabat sebagai kholifah dari pada Utsman bin Affan dan Utsman telah merampas hak yang bukan miliknya."

Demikian dicatat di Kitab “Al Bidayah wan Nihayah”.

Di antara isu-isu yang disebarkan oleh ‘Abdullah bin Saba’ untuk memecah belah Umat Islam pada saat itu antara lain:
  1. Bahwa Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - telah menerima wasiat sebagai pengganti Rosululloh sholollohu ‘alaihi wa sallam. (An Naubakhti , firaq As Syi’ah, hal. 44)
  2. Bahwa Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, rodhiollohu ‘anhum, adalah orang-orang zalim, karena telah merampas hak khilafah Ali - rodhiollohu ‘anhu - setelah wafatnya Rosululloh shalollohu ‘alaihi wa sallam. Umat Islam saat itu yang membai’at ketiga khilafah tersebut dinyatakan kafir. (An Naubakhti, op cit, hal. 44)
  3. Bahwa Ali bin Abi Thalib - rodhiollohu ‘anhu - adalah pencipta semua mahluk dan pemberi rezeki. (Ibnu Badran, Tahdzib al Tarikh al Dimasyq, Juz VII, hal. 430)
  4. Bahwa Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam akan kembali lagi ke dunia sebelum hari Kiamat, sebagaimana kepercayaan akan kembalinya Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam (Ibnu Badran, op cit, juz VIII, hal. 428)
  5. Bahwa Ali - rodhiollohu ‘anhu - tidak mati, melainkan tetap hidup di angkasa. Petir adalah suaranya ketika marah dan kilat adalah cemetinya. (Abdullah Al Thahir Ibnu Muhammad Al Baghdadi, Al Firaq Baina Al Firaq, hal. 234)
  6. Bahwa ruh Al Quds berinkarnasi ke dalam diri para Imam Syi’ah. (Al Bad’u wa Al Tarikh, juz V, hal. 129, th 1996)
  7. Dan lain-lain
Dapat ditambahkan pula bahwa Abu Muhammad  al Hasan Ibnu Musa An Naubakhti, seorang ulama Syi’ah yang terkemuka, di dalam bukunya  “Firaq As Syi’ah” hal. 41-42 mengatakan bahwa Ali – rodhiollohu ‘anhu - pernah hendak membunuh Abdullah bin Saba’ karena fitnah dan kebohongan yang disebarkan, yakni menganggap Ali sebagai tuhan dan mengaku dirinya sebagai Nabi, akan tetapi tidak jadi karena tidak ada yang setuju.

’Abdullah bin Saba’ sendiri justru kemudian dihukum mati oleh Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - namun melarikan diri ke Qarqisita. Ini dapat dilihat di Kitab Al Bidayah wan Nihayah dan Al Aqidah ath-Thohiriyah halaman 488.

Pengikutnya bahkan ada yang menyatakan bahwa Ali rodhiyallahu ’anhu adalah jelmaan Tuhan.

Namun beberapa kalangan Syi’ah - bahkan berkeras - mengatakan bahwa ’Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif. Di Indonesia, M. Hashem (sebagian orang mengatakan ia adalah O. Hashem) antara lain adalah satu di antaranya, dan ini ia tuliskan dalam bukunya yang berjudul “Abdullah bin Saba’ Benih Perpecahan Ummat” yang diterbitkan oleh YAPI, Bandar Lampung. Ini adalah saduran dari buku yang berjudul “Abdullah bin Saba’” yang ditulis oleh Murtadha Al Askari, seorang imam Syi’ah yang bermukim di Irak.

Menurutnya:
  1. Seluruh berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ yang ditulis dalam buku-buku sejarah baik oleh Ibnu Katsir, Ibnu Atsi, Ahmad Amin, Nicholson, Wehausen maupun yang lainnya, mengutip dari buku sejarah tulisan Ath Thabari.
  2. Sedangkan Ath Thabari memperoleh berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ melalui jalur Saif bin Umar At Tamimi.
  3. Padahal Saif bin Umar At Tamimi dikenal sebagai perawi yang lemah, suka berdusta dan tidak bisa dipercaya. Demikian menurut ahli-ahli hadits seperti Ibnu Hajar, Ibnu Hibban, Al Hakim, nasa’i dan lain-lain.

Oleh karena itu, menurut M. Hasem, berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ yang ditulis dalam buku sejarah dengan mengambil sumber buku Ath Thabari tak dapat dipercaya, karena dalam setiap jalur riwayat (sanad) yang diambil oleh Ath Thabari, terdapat Saif bin Umar At Tamimi yang tak dapat dipercaya.

Begitulah kata M. Hashem (lihat skema di halaman 81). Dan buku tersebut ternyata ada juga pengaruhnya di kalangan intelektual - kiranya yang kurang tahu atau tidak berpendirian kuat - di Indonesia seperti pada mendiang Nurcholis Majid (sebagaimana di tulisannya di majalah Tempo, 19 Desember 1987, hal. 102) atau yang serupa dengannya dan mereka yang tidak mempunyai pengetahuan cukup tentang sejarah Islam.

Sebenarnya yang mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif, sudah agak lama juga muncul.

Pendapat tersebut dipelopori oleh para Orientalis dan dikembangkan oleh Murtadha Al Askari, seorang tokoh Syi’ah pertengahan abad XX yang berasal dari Iraq itu. Kemudian diikuti oleh; Dr. Kamal Asy-Syibi, Dr. Ali Al-Wardi (keduanya murid orientalis dari Iraq). Dr. Thaha Husein, Dr. Muhammad Kamil Husein, Thalib Al Husein, Al Rifa’i (murid-murid orientalis dari mesir), Muhammad Jawad Al mughniyah, Dr. Abdullah Fayyah (murid-murid orientalis dari Libanon).

Maka mengenai ini, benarlah bahwa Saif bin Umar At Tamimi memang dinyatakan lemah, dan tidak dapat dipercaya oleh para ‘Ulama Ahlul Hadits. Akan tetapi ini dalam masalah yang ada hubungannya dengan hukum Syari’ah, Hadits, dan sama-sekali bukanlah dalam bidang Sejarah.

Yang mereka lemahkan adalah kualitas periwayatan haditsnya. Artinya, jika Saif bin Umar At Tamimi meriwayatkan hadits, kualitas periwayatan haditsnya lemah.

Namun dalam masalah Sejarah, maka beliau, Saif At Tamimi, justru dapat dijadikan sandaran dan rujukan dengan kualitas baik.

Dan perkara Syi’ah jelas adalah perkara Sejarah dan Politik, tentu saja, utamanya.

Imam Adz-Dzahabi yang juga adalah ‘ulama yang Syi’ah jadikan rujukan untuk melemahkan Saif bin Umar At-Tamimi juga berkata dalam kitabnya Mizanul I’tidal 2/ 255, “Ia (Saif bin Umar) adalah pakar sejarah yang paham.”
Jaminan kedudukan baik Saif bin Umar at Tamimi sebagai rujukan sejarah ini antara lain dinyatakan oleh Ibnu Hajar - yang beliau ironisnya termasuk ‘ulama Sunni yang Syi’ah jadikan rujukan untuk melemahkan kedudukan Saif bin Umar At-Tamimi dalam perkara ‘Abdullah bin Saba’ itu - dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib 1/408 dan Taqribut Tahdzib 1/408, sebagaimana berikut:

“Saif bin Umar At-Tamimi pengarang kitab Ar-Riddah, ada yang mengatakan dia Adh-Dhabi ada yang mengatakan selainnya, Al-Kufi Dha’if haditsnya, (akan tetapi) Umdah (bisa dijadikan sandaran) dalam bidang tarikh/sejarah.”
Demikian pula Syaikh Al-Mubarakfuri yang juga terkenal sebagai salah satu penulis Sirah Nabawiyyah atau Sejarah-Biografi Nabi dari berbagai buku Sirah Nabawiyyah dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi 10/249 menyebutkan seperti ucapan Ibnu Hajar di atas.

Umar Kahalah dalam kitabnya Mu’jamul Muallifin 4/288 juga mengatakan:

“Saif bin Umar At-Tamimi Al Burjumi, Ahli sejarah berasal dari Kufah.”

Dan lagipula, berita tentang adanya Abdullah bin Saba’ tidak hanya melalui jalur Saif bin Umar At Tamimi saja. Malah Abu Amr Muhammad ibnu Umar Al izz Al Kasyi (imam hadits dari kalangan Syi’ah sendiri) meriwayatkan Abdullah bin Saba’ melalui 7 jalur, dan ini tanpa melalui jalur periwayatan Saif bin Umar At tamimi, yang dianggap mereka lemah tak cukup dapat dipercaya itu.

Periwayatan adanya ‘Abdullah bin (ibnu) Saba’, yang tanpa jalur periwayatan dari Saif bin Umar At Tamimi itu yaitu:
  1. Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi Al Qummy dari Sa’ad ibnu Abdullah ibnu Abi Khalaf, dari Abdurrahman ibnu Sinan, dari Abdu Ja’far A.S.  Al Kisyi juga mengemukakan hal yang sama dalam bukunya Rijalul Kisyi hal 106-108 (Rijal Al Kasyi, tepatnya halaman 107). Dalam buku Al Maqolat wal Firoq halaman 10-21, Al Qummi mengakui keberadannya dan menganggap Ibnu Saba’ sebagai orang pertama yang mengatakan bahwa nabi telah mewasiatkan kepada Ali untuk menjadi imam , bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia setelah wafat, dan orang pertama yang memulai mencela dan memaki Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat nabi. Hal ini seperti dikemukakan Naubakhti dalam bukunya Firoqusyi’ah hal 19-20.
  2. Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi, dari Sa’ad ibnu Abdillah dari Ya’qub ibnu Yazid dan Muhammad ibnu Isa, dari Abu Umair, dari Hisyam Ibnu Salim dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 107).
  3. Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi, dari Sa’ad ibnu Abdillah dari Ya’qub ibnu Yazid dan Muhammad ibnu Isa dari Ali ibnu Mahzibad, dari Fudhallah ibnu Ayyud Al Azdi, dari Aban ibnu Utsman dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 107).
  4. Dari Ya’qub ibnu Yazid, dari Ibnu Abi Umair dan Ahmad ibnu Muhammad ibnu Isa dari Ayahnya dan Husein Ibnu Sa’id, dari Ibnu Abi Umair, dari Hisyam ibnu Salim, dari Abu Hamzah Ats Tsumali, dari Ali ibnu Husein. (Rijal Al Kasyi, halaman 108).
  5. Dari Sa’ad ibnu Abdillah, dari Muhammad ibnu Khalid Ath Thayalisi, dari Abdurrahman ibnu Abi Najras, dari Ibnu Sinan, dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 108).
  6. Dari Muhammad ibnu Al Hasan, dari Muhammad Al Hasan Ash Shafadi, dari Muhammad ibnu Isa, dari Qasim ibnu Yahya, dari kakeknya Al Hasan ibnu Rasyid, dari Abi Bashir, dari Abu Abdillah A.S. (Al Shaduq, Ila Al Syara’i’I, cetakan ke II, halaman 344).
  7. Dari Sa’ad ibnu Abdillah, dari Muhammad Isa ibnu Ubaid Al Yaqthumi, dari Al Qasim ibnu Yahya, dari kakeknya Al Hasan Ibnu Rasyid, dari Abi Bashir dan Muhammad ibnu Muslim, dari Abi Abdillah A.S. (Ash Shaduq, Al Khisal, cetakan tahun 1389 H, halaman 628).

Demikianlah, yang justru dari kalangan Syi’ah sendiri.

Adapun dari kalangan Sunni, Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam bukunya “Lisan al Mizan” (jilid III, halaman 289-290, cetakan I, tahun 1330 H) meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba’ melalui enam jalur, yang juga tanpa melalui jalur periwayatan dari Saif bin Umar At Tamimi itu. Yaitu:
  1. Dari Amr ibnu Marzuq, dari Syu’bah, dari Salamah ibnu Kuhail, dari Zaid ibnu Wahab, dari Ali bin Abi Thalib - rodhiollohu ‘anhu -
  2. Dari Abu Ya’la Al Muslihi, dari Abu Kuraib, dari Muhammad ibnu Al Hasan Al Aswad, dari Harun ibnu Shahih, dari Al Harits ibnu Abdirrahman, dari Abu Al Jallas, dari Ali bin Abi Thalib. - rodhiollohu ‘anhu -
  3. Dari Abu Ishaq al Fazari ibnu Syu’bah, dari Salamah ibnu Kuhail, dari Abu Zara’i’i dari Yazid ibnu Wahab.
  4. Dari Al Isyari dan Al Alka’i dari Ibrahim, dari Ali. - rodhiollohu ‘anhu -
  5. Dari Muhammad ibnu ‘Utsman Abi Syaiban, dari Muhammad ibnu Al  Ala’i, dari Abu Bakar Ayyash, dari Mujalid, dari Asy Sya’bi.
  6. Dari Abu Nu’aim, dari Ummu Musa (Yusuf Al Kandahlawai, hayatus shahabah).
Berdasarkan 13 riwayat yang sama-sekali tidak melalui Saif bin Umar At Tamimi ini (baik dari ‘ulama Syi’ah maupun ulama ‘Sunni), maka alasan mereka yang hendak menghilangkan figur Abdullah bin Saba’ dari catatan Sejarah, tentu saja sama-sekali tidak dapat dipertahankan.

Maka Abdullah bin Saba’ jelaslah bukan tokoh fiktif.

BERSAMBUNG KE BAGIAN II