Dan sungguh, daripada 10 orang yang dijamin Rosululloh -
shollollohu ‘alaihi wasallam - masuk surga, maka kaum Syi’ah lebih
menghargai 12 Imam mereka yang mereka anggap ma’shum (suci tak mungkin
salah dan berdosa) bahkan lebih daripada hanya itu, dengan berbagai
legenda tentang kehebatan, keutamaan mereka yang beredar.
Golongan ini dikenal sebagai kaum Syi’ah Itsna asy Asy’ariyah. Dan keduabelas Imam yang dianggap suci (ma’shum) dan mendapatkan mandat atau ijin memimpin dunia (dalam istilah Syi’ah adalah ”Ishmah”) oleh mereka itu adalah:
Maka ini sangat berbeda dengan nubuat akan kedatangan dari Imam Mahdi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), yang memang belum dilahirkan, Berasal dari garis keturunan Hasan bin Ali - rodhiollohu ‘anhum – dan akan menyebarkan kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran bersama Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihis salaam kelak di akhir jaman.
Perlu dicatat kiranya bahwa, ada literatur Syi’ah sendiri yang membahas mengenai sekte-sekte sempalan Syi’ah menyebutkan bahwa ada kelompok yang beriman pada 13 imam, bukannya 12 Imam.
Mereka disebut Syi’ah 13 imam, dan mendasarkan pendapatnya pada ”Kitab Al Kafi” jilid 1 hal 534 (Kitab Syi’ah) riwayat dari Imam Muhammad Al Baqir bahwa Nabi Muhammad - shollollohu ‘alaihi wasallam - bersabda pada Ali rodhiyallahu ’anhu, “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam), 12 imam dari keturunanku dan kamu hai Ali adalah rahasia bumi”.
Maka dari ’sabda’ ini, selain Ali rodhiyallahu ’anhu sendiri, berarti ada 12 Imam lain, dan berarti jumlah para imam seluruhnya adalah 13, bukan 12.
Dan juga riwayat lain dari Jabir yang tercantum adalam kitab Al Kafi jilid 1 hal 532, bahwa dia berkata, dia masuk menemui Fatimah rodhiollohu ‘anha dan didepannya ada papan yang berisi nama-nama penerima wasiat (washiy, imam), dan menghitung bahwa nama2 mereka ada 12 orang, yang terakhir adalah anak Mahdi yang akan bangkit, yang artinya adalah bahwa kata-kata ”12 Imam” di sini tidaklah benar.
Oleh karena itu dalam riwayat yang juga dari Jabir disebutkan: “Kuhitung nama-nama mereka ada duabelas, yang terakhir adalah Mahdi, tiga di antara mereka bernama Muhammad dan tiga di antara mereka bernama Ali”.
Ini semua memanglah masih menuai perdebatan, bahkan di kalangan Syi’ah sendiri.
Apapun juga, putra tertua Husain, Ali Zainal Abidin (wafat tahun 714 Masehi) dikenal sebagai Imam Keempat oleh kaum Syi’ah (sesudah Ali bin Abi Tholib yang dianggap sebagai Imam Pertama, lalu diteruskan Hasan bin Ali bin Abi Tholib, dan Husain bin Ali bin Abi Tholib), dan kepemimpinannya diteruskan oleh Muhammad al Baqir (wafat tahun 735 Masehi) sebagai Imam Kelima.
Sepeninggal Zainal Abidin, sebagian besar pengikut Syiah membaiat Muhammad al-Baqir dan sebagiannya lagi membaiat Zaid. Saudara laki-laki Muhammad al Baqir, Zaid ibnu Ali, berkecimpung dalam pergerakan politik revolusioner praktis, dan kemudian terbunuh dalam perangnya melawan Daulah KeKholifahan Bani Umayyah pada tahun 740 Masehi.
Zaid sendiri menyatakan dirinya sebagai Imam, namun ini dibantah oleh Muhammad al Baqir yang menyatakan bahwa ilmu khusus dari Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - hanya diwariskan kepada keturunan langsung Ali bin Abi Tholib, dan setiap Imam akan menunjuk secara khusus penggantinya.
Maka sehubungan dengan itu, Muhammad al Baqir lah yang menerimanya dan Zaid tidaklah demikian.
Walaupun demikian, gerakan revolusioner dan berani Zaid itu memanglah lebih populer di kalangan massa muslim Syi’ah, terutama di sekte Zaidiyah pengikutnya yang menginginkan perubahan nyata dan praktis, bukan retoris.
Sekte Zaidiyah karenanya tidak membedakan hak imamah antara keturunan Hasan maupun Husain rodhiyallahu ’anhum, karena keduanya sama-sama anak keturunan Fatimah dan Ali, walaupun Hasan rodhiyallahu ’anhu lebih tua. Mereka juga memperkenankan adanya kepemimpinan ganda untuk wilayah yang berbeda, sejauh memenuhi kriteria dan syarat-syarat sebagai imam.
Maka Syi’ah juga dikenal memiliki kelompok atau Madzhab yang berbeda-beda (antara lain ada madzhab Ja’fari yang dinisbatkan kepada ajaran Ja’far ash Shadiq), namun pembedaan seperti di atas, lalu keimaman Syi’ah dan simbol ketuhanan yang dijabat oleh pemimpin spiritual dan qadi yang sempurna (termasuk dalam pengambilan keputusan dan hukum), keyakinan Syi’ah akan keberadaan sesuatu yang suci yang hanya dapat dilihat dengan tafakur (lebih kurang serupa dengan meditasi), juga pemahaman filsafat serta spiritualitas yang cukup rumit yang menggunakan matematika dan ilmu pengetahuan sebagai sarana kebangkitan tanpa batas; kiranya dapat dipakai sebagai pegangan umum dalam memahami Syi’ah.
Dalam aliran Syi’ah muncul beberapa sekte yang sebagiannya ekstrim (ghulat) yang BAHKAN pernah menganggap Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu 'anhu - sebagai jelmaan Tuhan, dan sebagian lainnya moderat. Di antara sekte-sekte ekstrim tersebut ada yang berfaham bahwa Ali menempati derajat ketuhanan, seperti diyakini sebagian pengikut Saba’iyah (mengikuti paham ‘Abdullah ibnu Saba’ Yahudi dari Madinah itu).
Ada juga yang melebihkan kedudukannya di atas Nabi Muhammad - shollollohu ‘alaihi wasallam - seperti dipercaya Syi’ah Ghurabiyah. Sebagiannya lagi, seperti dilakukan aliran Kaisaniyah, mengangkat kedudukan cucu dan pewaris ilmu Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ’anhu, yaitu Muhammad bin al-Hanafiyah, sejajar dengan para nabi.
Tetapi dalam perkembangan sejarahnya, terdapat hanya dua sekte syiah yang terkenal, yaitu Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah. Sekte Imamiyah berkeyakinan bahwa imamah sesudah Nabi sudah menjadi hak dan harus diberikan kepada Ali. Umumnya kaum Syi’ah sekarang adalah para penganut sekte Imamiyah ini yang mempunyai dua aliran utama, yaitu Ismailiyah (Sab’iyah atau mengakui Imam yang tujuh) dan Itsna Asy’ariyah (mengakui Imam yang dua belas).
Dalam ajaran Syi’ah Imamiyah dikenal 5 doktrin fundamental, yaitu: imamah, ishmah, mahdiyah, raj’ah dan taqiyah. Imamah sudah menjadi salah satu rukun Islam bagi mereka. Maka barangsiapa meninggal dunia dan tidak mengetahui imamnya, ia termasuk dalam kategori mati secara jahiliyah.
Berbeda dengan sekte Imamiyah, Zaidiyah berpendapat bahwa nash tentang imamah Ali itu cenderung merujuk pada pengertian sifat, dan bukannya kepada pribadi Ali.
Atas dasar ini, sekte Zaidiyah melihat bolehnya umat mengangkat imam dari orang yang kurang utama, sekalipun di tengah-tengah mereka ada orang yang lebih utama. Maka dari itu pula, mereka masih memandang keabsahan atau mengakui kekholifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman rodhiyallahu ’anhum sekalipun secara pribadi, Ali rodhiyallahu ’anhu dinilai oleh mereka memiliki keutamaan lebih dibanding ketiga Kholifah sebelumnya.
Sifat ’moderat’ paham ini kemudian berubah menjadi ekstrim di tangan penganut Zaidiyah pada generasi selanjutnya, tetapi kaum Zaidiyah yang sekarang berkembang di Yaman lebih dekat kepada faham aliran Zaidiyah generasi pertama.
Dan bila Syi’ah Duabelas (Itsna Asy’ariyah) cenderung menarik diri dari politik dan kehidupan publik kebanyakan, maka Syi’ah Tujuh (Ismailiyah) justru mengembangkan sistem politik yang dapat dijabat secara aktif oleh pengikut mereka.
Dari masa itu mulai dikenal pula golongan Syi’ah yang terbagi-bagi (beberapa yang utama saja yang disebutkan di sini) antara lain menjadi – yang kiranya adalah yang terpenting dan terbesar - yakni Syi’ah (Imam) Keduabelas (atau tepatnya adalah Syi’ah Itsna Asy’ariyah yang juga dikenal sebagai juga dikenal sebagai Syi’ah al Rofidhah yang arti harfiahnya ”menolak”, karena sikap penolakan mereka atas keabsahan Khulafahur Rosyidin Abu Bakar, Umar dan Utsman dan para sahabat Rosululloh shalallahu ’alaihi wasallam rodhiyallahu ’anhum) yang percaya kepada mandat kekholifahan atau Daulah dari keduabelas Imam Syi’ah keturunan Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan atau Imam Ali bin Abi Tholib sampai Imam keduabelas dari keturunannya yang kemudian menghilang secara misterius dan kelak dipercaya akan kembali lagi membawa kedamaian, versi Syi’ah.
Imam terakhir ini diyakini Syi’ah berada dalam keadaan tidak hadir (mastur), ghaib, dan akan muncul kelak di waktu yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’aala. Maka pada masa ketidakhadirannya ini, kekuasaan dipegang oleh wakil imam yang memenuhi kriteria mujtahid.
Aliran ini dikenal juga dengan sebutan al-Musawiyah karena imamah itu berpindah dari imam Syi’ah VI yaitu Ja’far bin Muhammad kepada Musa al-Kadzim. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai Syi’ah al-Rofidhah yang arti harfiahnya adalah menolak, karena sikap penolakan mereka atas keabsahan kekholifahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kemudian juga terdapat Syi’ah Ismailiyah (yang dikenal juga sebagai golongan Syi’ah Ketujuh) yang percaya kepada kekholifahan atau Daulah imam-imam Syi’ah keturunan Ali bin Abi Tholib hanya sampai pada keturunan Imam Keenam Syiah yakni Imam Ja’far As Shadiq saja.
Perbedaannya adalah bahwa Syi’ah Ismailiyah hanya mengakui keimaman sampai Ismail, putra pertama Ja’far Ash Shadiq yang ditunjuk sebagai Imam namun dan seharusnya menjadi Imam VII Syi’ah namun meninggal dunia sebelum ayahnya meninggal dunia, dan tidak mengakui keabsahan Musa al Kazhim, putra kedua Ja’far ash Shadiq yang kemudian menjadi Imam dari Syi’ah Itsna Asy’asriyah, yang berlanjut sampai Imam Syi’ah yang Keduabelas melalui keturunannya, yang kemudian Imam Kedua Belas ini diberitakan dan dianggap telah menghilang secara misterius untuk nanti akan kembali lagi sebagai imam Mahdi versi Syi’ah.
Agaknya sebagai reaksi terhadap keimaman Syi’ah ini, Kholifah Abu Ja’far Al Mansur (memerintah dari tahun 754-775 Masehi) dari KeKholifahan Daulah Bani Abbasiyah (dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah), membunuhi semua pemimpin Syi’ah yang dipandang membahayakan kekuasaannya dan memenjarakan Imam Ja’far As Shadiq.
Ini tentu saja memicu ketegangan antara kaum Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun keturunan Kholifah Al Mansur, Kholifah Al Mahdi (memerintah dari tahun 775-785 Masehi), kemudian memindahkan ibukota Daulah Abbasiyah dari Damaskus ke Kufah lalu ke Baghdad, dan berusaha memperbaiki suasana tegang itu, mengambil hati kaum Syi’ah dengan berbagai cara, termasuk menggunakan julukan ’Al Mahdi’ tersebut.
Keturunan dari anaknya, Kholifah Al Ma’mun (anak dari Harun al Rasyid) yang telah memindahkan ibukota pemerintahannya dari Baghdad ke Samarrah, bahkan kemudian bergerak lebih jauh dalam mengambil hati meredam kemarahan kaum Syi’ah. Ia mencoba menunjuk Ali ar Ridha atau Imam Syiah VIII untuk menjadi penggantinya, sesudah menumpas pemberontakan Syi’ah dan Khawarij yang cukup hebat di masa pemerintahannya.
Namun kekerasan antara Syi’ah dan Daulah Abbasiyah terus berlangsung dan bahkan Kalifah Abbasiyah selanjutnya, Al Mutawakkil, menempatkan Imam Kesepuluh Syi’ah, Ali al Hadi dalam tahanan rumah. Akibatnya sang Imam tak dapat berhubungan dengan para pengikutnya secara langsung, dan komunikasi itu hanya dapat dilakukan melalui para perantara.
Dan ketika Imam XI Syi’ah meninggal dunia, dan tak meninggalkan keturunan laki-laki, muncul kabar bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki yang masih muda dan sedang bersembunyi demi keselamatannya.
Karena tak ada kabar resmi tentang keberadaannya yang misterius itu, ’para perantara’, ’para wakil ini’, memimpin kaum Syi’ah, membimbing studi esoterik Islam, mengumpulkan zakat, dan mengeluarkan pertimbangan hukum atas namanya.
Pada tahun 934 Masehi, ketika kehidupan fana Imam Yang Tersembunyi (mastur) itu akan segera berakhir, para wakil memberikan pesan bahwa sang Imam telah berada di alam ghaib, yang dengan suatu keajaiban, disembunyikan Tuhan dan akan kembali lagi satu saat nanti untuk memulai jaman keadilan, sebagai Imam Mahdi versi Syi’ah (Muhammad bin Hasan Al Asykari).
Seorang imam bagi Syi’ah dipercayai memiliki kualitas ishmah (keizinan) karena mewarisi posisi kenabian yang ma’shum (infallible, terjaga dari kesalahan). Jika mereka melakukan kesalahan, maka Allah pasti menurunkan wahyu untuk meluruskan kesalahannya.
Sedangkan doktrin mahdiyah (perihal al-mahdi) dan raj’ah (kedatangan kembali) dihubungkan dengan status imam mastur yang dipercaya akan muncul kembali sebagai mahdi yang membangun kerajaan Allah menjelang hari Kiamat kelak.
Ajaran ini tampaknya bagi sebagian kalangan ahli agama, memiliki akar dalam ajaran agama Zarathustra (Zoroaster) penyembah api yang lazim dianut bangsa Persia sebelum kedatangan Islam ke Persia.
Yang pantas pula dicatat kiranya, Syi’ah sendiri, mungkin terutama akibat pertentangannya dengan Kekholifahan Sunni Abbasiyah saat itu, Imam Ja’far Ash Shadiq salah seorang imam terkemuka Syi’ah, membenarkan perilaku Taqiyyah, atau berpura-pura, untuk melindungi diri dari musuh-musuh mereka, bahkan lebih jauh lagi, sebagian kalangan Syi’ah menerjemahkannya dan memanfaatkanya untuk tujuan yang kurang terpuji atau untuk menyebarkan pahamnya secara diam-diam, bahkan pada saat tidak sedang terancam bahaya, sampai saat ini.
Paham taqiyyah yang berarti ”perlindungan”, dimaksudkan sebagai taktik strategis untuk merahasiakan eksistensi kesyiahannya, dengan berpura-pura patuh di bawah dominasi kekuasaan Kholifah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memerangi mereka hingga kekuatan yang dipersiapkan cukup memadai untuk melakukan perlawanan terbuka.
Taqiyah ini pada awalnya bersifat politis, tetapi pada gilirannya menjadi corak yang kental dalam konstruksi keberagamaan mereka.
Perlu kiranya disadari, sebagai catatan penting, bahwa sikap berpura-pura ini juga adalah kebiasaan kaum Yahudi, dan mengingat bahwa campur-tangan Yahudi cukup dalam, dalam pembentukan agama ini, maka menarik untuk merenungkan premisa akan keterkaitannya.
Syi’ah juga memiliki apa yang dikenal sebagai budaya Irfan dengan metode riyadlah, yang lebih kurang serupa dengan kelompok-kelompok Thariqat Dzikr (Shufi) di golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (bahkan sebagian kalangan ahli menduga, sesungguhnya Shufi atau Tashawwuf dan Syi’ah berhubungan erat pada masa awalnya), dan tokohnya yang terkenal adalah Mullah Sadra.
Menarik untuk merenungkan bahwa Syi’ah berkembang pesat di Persia (Iran dan sebagian Iraq kini), wilayah yang diislamkan oleh tentara Islam pimpinan Kholifah Umar bin Khottob rodhiollohu ‘anhu, yang ini sudah diramalkan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dan dengan sendirinya menghancurkan agama Persia dan segala tiang-tiang dan budaya serta akidah agamanya, dan kemudian bahwa Kholifah Umar bin Khoththob - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh oleh tawanan perang Persia bernama Abu Lu’lu’ah al Majusi.
Dan saat ini, makam pahlawan tak dikenal yang dipercaya sebagai Abu Lu’lu’ah di Iran menjadi obyek wisata dan ziarah kaum Syi’ah.
Yang terbesar dari semua golongan kaum Syi’ah adalah yang disebut oleh Sunni sebagai kaum Syi’ah Rofidhoh. Kata “Rofdh” secara bahasa memiliki makna menolak. (“Qamus Al Muhith”, Fairuz Abadi 2 atau 332, “Maqayiis Allughoh”, Ibnu Faris 2 atau 422.) karena mereka tak sejalan dengan Imam Syi'ah mereka - keturunan Ali RA yang mereka jadikan imam - yang justru tak mau memaki para Sahabat.
Rofidhoh secara istilah bermakna, sebuah firqoh (kelompok) yang menyatakan diri mendukung dan mencintai ahlul bait dari Rosulullah - shollollohu ‘alaihi wasallam - dengan memusuhi Abu Bakar dan Umar serta Utsman rodhiollohu ‘anhu (padahal mereka adalah mertua, dan menantu dan masih kerabat Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam dan dijamin Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam masuk Surga dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) serta para sahabat rodhiollohu ‘anhum kecuali beberapa orang sangat sedikit darinya, mengkafirkan mereka, dan mencela, memaki, memusuhi para sahabat rodhiollohu ‘anhum, ribuan darinya.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulloh berkata bahwa golongan Syi’ah Rofidhoh adalah mereka yang memusuhi sahabat nabi shollollohu ‘alaihi wasallam, yang memaki-maki dan menghina mereka (“Tobaqot Al Hanabilah Ibn Abi Ya’la” 1 atau 33).
Anak beliau, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Aku bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal) tentang Rofidhoh maka dia menjawab bahwa mereka adalah yang memaki Abu Bakar dan Umar." (Riwayat Al Khollal dalam kitab “As Sunnah” no 777 dengan sanad sohih menurut peneliti kitab tsb).
Imam Abu Qosim Attaimiy yang dijuluki “Pembela Sunnah”, berkata tentang Rofidhoh, bahwa, "mereka adalah yang memaki Abubakar dan Umar rodhiollohu ‘anhuma, semoga Allah meridhoi mereka berdua dan para pecinta mereka berdua" (“Al Hujjah fi Bayan Al Mahajjah“ 2 atau 478). Tidak ada kelompok lain selain Rofidhoh yang mencela Abu Bakar dan Umar.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah kemudian berkata, "Hanya Rofidhoh yang memusuhi dan melaknat Abu Bakar dan Umar, tidak ada selain mereka yang membenci kedua sahabat tersebut." (“Majmu’ Fatawa” 4 atau 435)
Dalam literatur Rafidhoh telah dijelaskan bahwa cinta kepada Abubakar dan Umar adalah batasan yang membedakan mereka dengan kelompok lain yang mereka sebut sebagai Nawasib. Darrazi meriwayatkan dari Muhammad bin Ali bin Musa, "Aku menulis surat kepada Ali bin Muhammad Alaihissalam (Abul Hasan Ali Al Hadi bin Muhamad Al Jawad yang adalah salah seorang Imam Syi’ah) tentang masalah mengenai Nasibi, apakah perlu untuk mengujinya atau mengetahuinya dengan lebih jauh dari sekedar mendahulukan Jibt dan Toghut (yang dimaksud adalah Abubakar dan Umar, disebutkan dalam tafsir Al Ayyasyi 1 atau 246 dalam keterangan Al Quran surat Annisa’ ayat 51) daripada Ali dan meyakini bahwa mereka berdua adalah Imam? Maka beliau menjawab bahwa siapa saja yang begitu berarti nasibi." (“Al Mahasin Anifsaniyyah” karangan Muhamad Al Asfur Addarrozi hal. 145).
Sementara itu kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa sebab mereka disebut Rofidhoh adalah karena mereka menolak Zaid bin Ali dan keluar dari tentaranya setelah sebelumnya mereka adalah tentara Zaid bin Ali saat beliau memberontak kepada Kholifah Hisyam bin Abdul Malik tahun 121 Hijriyyah setelah mereka mengumumkan permusuhan terhadap Abubakar dan Umar lalu dilarang oleh Zaid.
Abul Hasan Al Asy’ari berkata, ”Zaid bin Ali berpendapat bahwa Ali adalah sahabat yang paling utama dan berpendapat boleh memberontak kepada pemerintahan yang zolim serta mencintai Abubakar dan Umar. Setelah muncul orang yang memaki Abu Bakar dan Umar di kalangan tentaranya maka dia memarahi mereka. Lalu sebagian tentaranya menolak perkataan Zaid dan memisahkan diri dari kelompoknya lalu Zaid berkata, "Kalian telah menolakku (rofadhtumuunii)", maka dikatakan bahwa mereka disebut sebagai Rofidhoh karena perkataan zaid di atas” (“Maqolatul Islamiyiin” 1 atau 137).
Qowamussunah (Alhujjah fi bayanil mahajjah 2/478), Arrozi (I’tiqod Firoqul Muslimin wal Musyrikin halaman 52), Syihristani (Al Milal wannihal 1/155), Ibnu Taymiyyah (Minhajussunnah 1/8 Majmu’ Fatawa 13/36) juga berpendapat demikian.
Sementara itu Abul Hasan Al Asy’ari memiliki pendapat lain, yaitu mereka disebut Rofidhoh karena mereka menolak kepemimpinan Abubakar dan Umar – rodhiollohu ‘anhu - [Maqolatul Islamiyin 1/89].
Kaum Rofidhoh sangat tidak senang dengan sebutan ini dan berpendapat bahwa julukan ini (rofidhoh) adalah sebutan yang berasal dari musuh mereka. Muhsin Al Amin berkata “Rofidhoh adalah ejekan kepada mereka yang mengutamakan Ali bin Abi Tolib dalam khilafah dan kebanyakan digunakan untuk ejekan” (A’yanu Syi’ah 1/20).
Dan Syi’ah Itsna asy Asy’ariyah (12 Imam) yang sekarang berkuasa di Iran, tentulah biasanya termasuk Rofidhoh ini.
Satu hal yang mengherankan, apakah Sunni tidak harus dan patut mencintai Ahlul Bait sedangkan ini bagian dari akidah Sunni? Mengapa sampai dikesankan demikian? Padahal jumlah hadits dari kaum Ahlul Bait dalam kitab-kitab Sunni amat-sangat lebih banyak daripada di kitab-kitab Syi’ah?
Dan ini pun dengan kualitas hadits yang terjaga verifikasinya? Berbeda dengan yang ada di kitab-kitab Syi’ah? Dan hadits-hadits itu pun dijalankan oleh Sunni.
Mengapa Syi’ah berusaha menonjolkan klaim mereka akan ’kecintaan kepada Ahlul Bait’ ini sebagai ciri khas mereka, padahal Keduabelas Imam mereka tidak berusaha membenci dan menyebarluaskan kebencian terhadap Sahabat Nabi, yang sebenarnya juga adalah Ahlul Bait, dan mereka pun saling berkerabatan?
Padahal mereka saling berbesan? Saling bermenantu? Saling bermertua?
Dan ini termasuk Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam yang mulia sendiri, yang demikian?
Maka sungguh, kaum Syi’ah, berlindung di balik klaim kecintaan terhadap Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam
dan kaum Ahlul Bait, namun justru sebenarnya memfitnahi mereka, menjerumuskan mereka, dengan halus, namun sebenarnya amat keji. Kejam.
BERSAMBUNG KE BAGIAN KEEMPAT.
Golongan ini dikenal sebagai kaum Syi’ah Itsna asy Asy’ariyah. Dan keduabelas Imam yang dianggap suci (ma’shum) dan mendapatkan mandat atau ijin memimpin dunia (dalam istilah Syi’ah adalah ”Ishmah”) oleh mereka itu adalah:
- Ali bin Abi Tolib Rodhiyallahu ‘Anhu, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam yang mereka juluki dengan Al Murtadho, Khulafa Rosyidin IV, Amirul Mu’miniin, mati dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljim si Khawarij di masjid Kufah tahun 17 Romadhon 40 H.
- Hasan bin Ali Radhiyallahu Anhuma yang dijuluki almujtaba.
- Husein bin Ali Radhiyalahu Anhuma yang dijuluki syahid.
- Ali Zainal Abidin bin Husein (80-122) yang dijuluki Al sajjad.
- Muhammad Al baqir bin Ali Zainal Abidin (meninggal th 114 H) yang dijuluki Al Baqir.
- Ja’far Asshodiq bin Muhammad Al Baqir (meninggal th 148 H) dijuluki Asshodiq.
- Musa Al Kazim bin Ja’far Asshodiq (meninggal th 183 H) dijuluki Al Kazim.
- Ali Arridho bin Musa AL Kazim (meninggal th 203 H)dijuluki Arrodhiy.
- Muhammad Al Jawwad bin Ali Arridho (195 H-226H)dijuluki Attaqiy.
- 10. Ali Al Hadi bin Muhammad Al Jawad (212-254 H) dijuluki Annaqiy.
- 11. Hasan Al Askari bin Al Alhadi (232-260 H) dijuluki Azzakiy.
- 12. Muhammad Al Mahdiy bin Hasan Al Askari, tidak diketahui kapan dilahirkan, ada yang berpendapat bahwa dia belum mati tapi menghilang di sirdaab dan akan kembai lagi membalas dendam. Dijuluki sebagai Alhujjah (Imam Mahdi) yang ditunggu-tunggu kaum Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjulukinya dengan sebutan “Mahdi Palsu” (*).
Maka ini sangat berbeda dengan nubuat akan kedatangan dari Imam Mahdi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), yang memang belum dilahirkan, Berasal dari garis keturunan Hasan bin Ali - rodhiollohu ‘anhum – dan akan menyebarkan kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran bersama Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihis salaam kelak di akhir jaman.
Perlu dicatat kiranya bahwa, ada literatur Syi’ah sendiri yang membahas mengenai sekte-sekte sempalan Syi’ah menyebutkan bahwa ada kelompok yang beriman pada 13 imam, bukannya 12 Imam.
Mereka disebut Syi’ah 13 imam, dan mendasarkan pendapatnya pada ”Kitab Al Kafi” jilid 1 hal 534 (Kitab Syi’ah) riwayat dari Imam Muhammad Al Baqir bahwa Nabi Muhammad - shollollohu ‘alaihi wasallam - bersabda pada Ali rodhiyallahu ’anhu, “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam), 12 imam dari keturunanku dan kamu hai Ali adalah rahasia bumi”.
Maka dari ’sabda’ ini, selain Ali rodhiyallahu ’anhu sendiri, berarti ada 12 Imam lain, dan berarti jumlah para imam seluruhnya adalah 13, bukan 12.
Dan juga riwayat lain dari Jabir yang tercantum adalam kitab Al Kafi jilid 1 hal 532, bahwa dia berkata, dia masuk menemui Fatimah rodhiollohu ‘anha dan didepannya ada papan yang berisi nama-nama penerima wasiat (washiy, imam), dan menghitung bahwa nama2 mereka ada 12 orang, yang terakhir adalah anak Mahdi yang akan bangkit, yang artinya adalah bahwa kata-kata ”12 Imam” di sini tidaklah benar.
Oleh karena itu dalam riwayat yang juga dari Jabir disebutkan: “Kuhitung nama-nama mereka ada duabelas, yang terakhir adalah Mahdi, tiga di antara mereka bernama Muhammad dan tiga di antara mereka bernama Ali”.
Ini semua memanglah masih menuai perdebatan, bahkan di kalangan Syi’ah sendiri.
Apapun juga, putra tertua Husain, Ali Zainal Abidin (wafat tahun 714 Masehi) dikenal sebagai Imam Keempat oleh kaum Syi’ah (sesudah Ali bin Abi Tholib yang dianggap sebagai Imam Pertama, lalu diteruskan Hasan bin Ali bin Abi Tholib, dan Husain bin Ali bin Abi Tholib), dan kepemimpinannya diteruskan oleh Muhammad al Baqir (wafat tahun 735 Masehi) sebagai Imam Kelima.
Sepeninggal Zainal Abidin, sebagian besar pengikut Syiah membaiat Muhammad al-Baqir dan sebagiannya lagi membaiat Zaid. Saudara laki-laki Muhammad al Baqir, Zaid ibnu Ali, berkecimpung dalam pergerakan politik revolusioner praktis, dan kemudian terbunuh dalam perangnya melawan Daulah KeKholifahan Bani Umayyah pada tahun 740 Masehi.
Zaid sendiri menyatakan dirinya sebagai Imam, namun ini dibantah oleh Muhammad al Baqir yang menyatakan bahwa ilmu khusus dari Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - hanya diwariskan kepada keturunan langsung Ali bin Abi Tholib, dan setiap Imam akan menunjuk secara khusus penggantinya.
Maka sehubungan dengan itu, Muhammad al Baqir lah yang menerimanya dan Zaid tidaklah demikian.
Walaupun demikian, gerakan revolusioner dan berani Zaid itu memanglah lebih populer di kalangan massa muslim Syi’ah, terutama di sekte Zaidiyah pengikutnya yang menginginkan perubahan nyata dan praktis, bukan retoris.
Sekte Zaidiyah karenanya tidak membedakan hak imamah antara keturunan Hasan maupun Husain rodhiyallahu ’anhum, karena keduanya sama-sama anak keturunan Fatimah dan Ali, walaupun Hasan rodhiyallahu ’anhu lebih tua. Mereka juga memperkenankan adanya kepemimpinan ganda untuk wilayah yang berbeda, sejauh memenuhi kriteria dan syarat-syarat sebagai imam.
Maka Syi’ah juga dikenal memiliki kelompok atau Madzhab yang berbeda-beda (antara lain ada madzhab Ja’fari yang dinisbatkan kepada ajaran Ja’far ash Shadiq), namun pembedaan seperti di atas, lalu keimaman Syi’ah dan simbol ketuhanan yang dijabat oleh pemimpin spiritual dan qadi yang sempurna (termasuk dalam pengambilan keputusan dan hukum), keyakinan Syi’ah akan keberadaan sesuatu yang suci yang hanya dapat dilihat dengan tafakur (lebih kurang serupa dengan meditasi), juga pemahaman filsafat serta spiritualitas yang cukup rumit yang menggunakan matematika dan ilmu pengetahuan sebagai sarana kebangkitan tanpa batas; kiranya dapat dipakai sebagai pegangan umum dalam memahami Syi’ah.
Dalam aliran Syi’ah muncul beberapa sekte yang sebagiannya ekstrim (ghulat) yang BAHKAN pernah menganggap Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu 'anhu - sebagai jelmaan Tuhan, dan sebagian lainnya moderat. Di antara sekte-sekte ekstrim tersebut ada yang berfaham bahwa Ali menempati derajat ketuhanan, seperti diyakini sebagian pengikut Saba’iyah (mengikuti paham ‘Abdullah ibnu Saba’ Yahudi dari Madinah itu).
Ada juga yang melebihkan kedudukannya di atas Nabi Muhammad - shollollohu ‘alaihi wasallam - seperti dipercaya Syi’ah Ghurabiyah. Sebagiannya lagi, seperti dilakukan aliran Kaisaniyah, mengangkat kedudukan cucu dan pewaris ilmu Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ’anhu, yaitu Muhammad bin al-Hanafiyah, sejajar dengan para nabi.
Tetapi dalam perkembangan sejarahnya, terdapat hanya dua sekte syiah yang terkenal, yaitu Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah. Sekte Imamiyah berkeyakinan bahwa imamah sesudah Nabi sudah menjadi hak dan harus diberikan kepada Ali. Umumnya kaum Syi’ah sekarang adalah para penganut sekte Imamiyah ini yang mempunyai dua aliran utama, yaitu Ismailiyah (Sab’iyah atau mengakui Imam yang tujuh) dan Itsna Asy’ariyah (mengakui Imam yang dua belas).
Dalam ajaran Syi’ah Imamiyah dikenal 5 doktrin fundamental, yaitu: imamah, ishmah, mahdiyah, raj’ah dan taqiyah. Imamah sudah menjadi salah satu rukun Islam bagi mereka. Maka barangsiapa meninggal dunia dan tidak mengetahui imamnya, ia termasuk dalam kategori mati secara jahiliyah.
Berbeda dengan sekte Imamiyah, Zaidiyah berpendapat bahwa nash tentang imamah Ali itu cenderung merujuk pada pengertian sifat, dan bukannya kepada pribadi Ali.
Atas dasar ini, sekte Zaidiyah melihat bolehnya umat mengangkat imam dari orang yang kurang utama, sekalipun di tengah-tengah mereka ada orang yang lebih utama. Maka dari itu pula, mereka masih memandang keabsahan atau mengakui kekholifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman rodhiyallahu ’anhum sekalipun secara pribadi, Ali rodhiyallahu ’anhu dinilai oleh mereka memiliki keutamaan lebih dibanding ketiga Kholifah sebelumnya.
Sifat ’moderat’ paham ini kemudian berubah menjadi ekstrim di tangan penganut Zaidiyah pada generasi selanjutnya, tetapi kaum Zaidiyah yang sekarang berkembang di Yaman lebih dekat kepada faham aliran Zaidiyah generasi pertama.
Dan bila Syi’ah Duabelas (Itsna Asy’ariyah) cenderung menarik diri dari politik dan kehidupan publik kebanyakan, maka Syi’ah Tujuh (Ismailiyah) justru mengembangkan sistem politik yang dapat dijabat secara aktif oleh pengikut mereka.
Dari masa itu mulai dikenal pula golongan Syi’ah yang terbagi-bagi (beberapa yang utama saja yang disebutkan di sini) antara lain menjadi – yang kiranya adalah yang terpenting dan terbesar - yakni Syi’ah (Imam) Keduabelas (atau tepatnya adalah Syi’ah Itsna Asy’ariyah yang juga dikenal sebagai juga dikenal sebagai Syi’ah al Rofidhah yang arti harfiahnya ”menolak”, karena sikap penolakan mereka atas keabsahan Khulafahur Rosyidin Abu Bakar, Umar dan Utsman dan para sahabat Rosululloh shalallahu ’alaihi wasallam rodhiyallahu ’anhum) yang percaya kepada mandat kekholifahan atau Daulah dari keduabelas Imam Syi’ah keturunan Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan atau Imam Ali bin Abi Tholib sampai Imam keduabelas dari keturunannya yang kemudian menghilang secara misterius dan kelak dipercaya akan kembali lagi membawa kedamaian, versi Syi’ah.
Imam terakhir ini diyakini Syi’ah berada dalam keadaan tidak hadir (mastur), ghaib, dan akan muncul kelak di waktu yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’aala. Maka pada masa ketidakhadirannya ini, kekuasaan dipegang oleh wakil imam yang memenuhi kriteria mujtahid.
Aliran ini dikenal juga dengan sebutan al-Musawiyah karena imamah itu berpindah dari imam Syi’ah VI yaitu Ja’far bin Muhammad kepada Musa al-Kadzim. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai Syi’ah al-Rofidhah yang arti harfiahnya adalah menolak, karena sikap penolakan mereka atas keabsahan kekholifahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kemudian juga terdapat Syi’ah Ismailiyah (yang dikenal juga sebagai golongan Syi’ah Ketujuh) yang percaya kepada kekholifahan atau Daulah imam-imam Syi’ah keturunan Ali bin Abi Tholib hanya sampai pada keturunan Imam Keenam Syiah yakni Imam Ja’far As Shadiq saja.
Perbedaannya adalah bahwa Syi’ah Ismailiyah hanya mengakui keimaman sampai Ismail, putra pertama Ja’far Ash Shadiq yang ditunjuk sebagai Imam namun dan seharusnya menjadi Imam VII Syi’ah namun meninggal dunia sebelum ayahnya meninggal dunia, dan tidak mengakui keabsahan Musa al Kazhim, putra kedua Ja’far ash Shadiq yang kemudian menjadi Imam dari Syi’ah Itsna Asy’asriyah, yang berlanjut sampai Imam Syi’ah yang Keduabelas melalui keturunannya, yang kemudian Imam Kedua Belas ini diberitakan dan dianggap telah menghilang secara misterius untuk nanti akan kembali lagi sebagai imam Mahdi versi Syi’ah.
Agaknya sebagai reaksi terhadap keimaman Syi’ah ini, Kholifah Abu Ja’far Al Mansur (memerintah dari tahun 754-775 Masehi) dari KeKholifahan Daulah Bani Abbasiyah (dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah), membunuhi semua pemimpin Syi’ah yang dipandang membahayakan kekuasaannya dan memenjarakan Imam Ja’far As Shadiq.
Ini tentu saja memicu ketegangan antara kaum Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun keturunan Kholifah Al Mansur, Kholifah Al Mahdi (memerintah dari tahun 775-785 Masehi), kemudian memindahkan ibukota Daulah Abbasiyah dari Damaskus ke Kufah lalu ke Baghdad, dan berusaha memperbaiki suasana tegang itu, mengambil hati kaum Syi’ah dengan berbagai cara, termasuk menggunakan julukan ’Al Mahdi’ tersebut.
Keturunan dari anaknya, Kholifah Al Ma’mun (anak dari Harun al Rasyid) yang telah memindahkan ibukota pemerintahannya dari Baghdad ke Samarrah, bahkan kemudian bergerak lebih jauh dalam mengambil hati meredam kemarahan kaum Syi’ah. Ia mencoba menunjuk Ali ar Ridha atau Imam Syiah VIII untuk menjadi penggantinya, sesudah menumpas pemberontakan Syi’ah dan Khawarij yang cukup hebat di masa pemerintahannya.
Namun kekerasan antara Syi’ah dan Daulah Abbasiyah terus berlangsung dan bahkan Kalifah Abbasiyah selanjutnya, Al Mutawakkil, menempatkan Imam Kesepuluh Syi’ah, Ali al Hadi dalam tahanan rumah. Akibatnya sang Imam tak dapat berhubungan dengan para pengikutnya secara langsung, dan komunikasi itu hanya dapat dilakukan melalui para perantara.
Dan ketika Imam XI Syi’ah meninggal dunia, dan tak meninggalkan keturunan laki-laki, muncul kabar bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki yang masih muda dan sedang bersembunyi demi keselamatannya.
Karena tak ada kabar resmi tentang keberadaannya yang misterius itu, ’para perantara’, ’para wakil ini’, memimpin kaum Syi’ah, membimbing studi esoterik Islam, mengumpulkan zakat, dan mengeluarkan pertimbangan hukum atas namanya.
Pada tahun 934 Masehi, ketika kehidupan fana Imam Yang Tersembunyi (mastur) itu akan segera berakhir, para wakil memberikan pesan bahwa sang Imam telah berada di alam ghaib, yang dengan suatu keajaiban, disembunyikan Tuhan dan akan kembali lagi satu saat nanti untuk memulai jaman keadilan, sebagai Imam Mahdi versi Syi’ah (Muhammad bin Hasan Al Asykari).
Seorang imam bagi Syi’ah dipercayai memiliki kualitas ishmah (keizinan) karena mewarisi posisi kenabian yang ma’shum (infallible, terjaga dari kesalahan). Jika mereka melakukan kesalahan, maka Allah pasti menurunkan wahyu untuk meluruskan kesalahannya.
Sedangkan doktrin mahdiyah (perihal al-mahdi) dan raj’ah (kedatangan kembali) dihubungkan dengan status imam mastur yang dipercaya akan muncul kembali sebagai mahdi yang membangun kerajaan Allah menjelang hari Kiamat kelak.
Ajaran ini tampaknya bagi sebagian kalangan ahli agama, memiliki akar dalam ajaran agama Zarathustra (Zoroaster) penyembah api yang lazim dianut bangsa Persia sebelum kedatangan Islam ke Persia.
Yang pantas pula dicatat kiranya, Syi’ah sendiri, mungkin terutama akibat pertentangannya dengan Kekholifahan Sunni Abbasiyah saat itu, Imam Ja’far Ash Shadiq salah seorang imam terkemuka Syi’ah, membenarkan perilaku Taqiyyah, atau berpura-pura, untuk melindungi diri dari musuh-musuh mereka, bahkan lebih jauh lagi, sebagian kalangan Syi’ah menerjemahkannya dan memanfaatkanya untuk tujuan yang kurang terpuji atau untuk menyebarkan pahamnya secara diam-diam, bahkan pada saat tidak sedang terancam bahaya, sampai saat ini.
Paham taqiyyah yang berarti ”perlindungan”, dimaksudkan sebagai taktik strategis untuk merahasiakan eksistensi kesyiahannya, dengan berpura-pura patuh di bawah dominasi kekuasaan Kholifah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memerangi mereka hingga kekuatan yang dipersiapkan cukup memadai untuk melakukan perlawanan terbuka.
Taqiyah ini pada awalnya bersifat politis, tetapi pada gilirannya menjadi corak yang kental dalam konstruksi keberagamaan mereka.
Perlu kiranya disadari, sebagai catatan penting, bahwa sikap berpura-pura ini juga adalah kebiasaan kaum Yahudi, dan mengingat bahwa campur-tangan Yahudi cukup dalam, dalam pembentukan agama ini, maka menarik untuk merenungkan premisa akan keterkaitannya.
Syi’ah juga memiliki apa yang dikenal sebagai budaya Irfan dengan metode riyadlah, yang lebih kurang serupa dengan kelompok-kelompok Thariqat Dzikr (Shufi) di golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (bahkan sebagian kalangan ahli menduga, sesungguhnya Shufi atau Tashawwuf dan Syi’ah berhubungan erat pada masa awalnya), dan tokohnya yang terkenal adalah Mullah Sadra.
Menarik untuk merenungkan bahwa Syi’ah berkembang pesat di Persia (Iran dan sebagian Iraq kini), wilayah yang diislamkan oleh tentara Islam pimpinan Kholifah Umar bin Khottob rodhiollohu ‘anhu, yang ini sudah diramalkan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dan dengan sendirinya menghancurkan agama Persia dan segala tiang-tiang dan budaya serta akidah agamanya, dan kemudian bahwa Kholifah Umar bin Khoththob - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh oleh tawanan perang Persia bernama Abu Lu’lu’ah al Majusi.
Dan saat ini, makam pahlawan tak dikenal yang dipercaya sebagai Abu Lu’lu’ah di Iran menjadi obyek wisata dan ziarah kaum Syi’ah.
Yang terbesar dari semua golongan kaum Syi’ah adalah yang disebut oleh Sunni sebagai kaum Syi’ah Rofidhoh. Kata “Rofdh” secara bahasa memiliki makna menolak. (“Qamus Al Muhith”, Fairuz Abadi 2 atau 332, “Maqayiis Allughoh”, Ibnu Faris 2 atau 422.) karena mereka tak sejalan dengan Imam Syi'ah mereka - keturunan Ali RA yang mereka jadikan imam - yang justru tak mau memaki para Sahabat.
Rofidhoh secara istilah bermakna, sebuah firqoh (kelompok) yang menyatakan diri mendukung dan mencintai ahlul bait dari Rosulullah - shollollohu ‘alaihi wasallam - dengan memusuhi Abu Bakar dan Umar serta Utsman rodhiollohu ‘anhu (padahal mereka adalah mertua, dan menantu dan masih kerabat Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam dan dijamin Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam masuk Surga dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) serta para sahabat rodhiollohu ‘anhum kecuali beberapa orang sangat sedikit darinya, mengkafirkan mereka, dan mencela, memaki, memusuhi para sahabat rodhiollohu ‘anhum, ribuan darinya.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulloh berkata bahwa golongan Syi’ah Rofidhoh adalah mereka yang memusuhi sahabat nabi shollollohu ‘alaihi wasallam, yang memaki-maki dan menghina mereka (“Tobaqot Al Hanabilah Ibn Abi Ya’la” 1 atau 33).
Anak beliau, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Aku bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal) tentang Rofidhoh maka dia menjawab bahwa mereka adalah yang memaki Abu Bakar dan Umar." (Riwayat Al Khollal dalam kitab “As Sunnah” no 777 dengan sanad sohih menurut peneliti kitab tsb).
Imam Abu Qosim Attaimiy yang dijuluki “Pembela Sunnah”, berkata tentang Rofidhoh, bahwa, "mereka adalah yang memaki Abubakar dan Umar rodhiollohu ‘anhuma, semoga Allah meridhoi mereka berdua dan para pecinta mereka berdua" (“Al Hujjah fi Bayan Al Mahajjah“ 2 atau 478). Tidak ada kelompok lain selain Rofidhoh yang mencela Abu Bakar dan Umar.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah kemudian berkata, "Hanya Rofidhoh yang memusuhi dan melaknat Abu Bakar dan Umar, tidak ada selain mereka yang membenci kedua sahabat tersebut." (“Majmu’ Fatawa” 4 atau 435)
Dalam literatur Rafidhoh telah dijelaskan bahwa cinta kepada Abubakar dan Umar adalah batasan yang membedakan mereka dengan kelompok lain yang mereka sebut sebagai Nawasib. Darrazi meriwayatkan dari Muhammad bin Ali bin Musa, "Aku menulis surat kepada Ali bin Muhammad Alaihissalam (Abul Hasan Ali Al Hadi bin Muhamad Al Jawad yang adalah salah seorang Imam Syi’ah) tentang masalah mengenai Nasibi, apakah perlu untuk mengujinya atau mengetahuinya dengan lebih jauh dari sekedar mendahulukan Jibt dan Toghut (yang dimaksud adalah Abubakar dan Umar, disebutkan dalam tafsir Al Ayyasyi 1 atau 246 dalam keterangan Al Quran surat Annisa’ ayat 51) daripada Ali dan meyakini bahwa mereka berdua adalah Imam? Maka beliau menjawab bahwa siapa saja yang begitu berarti nasibi." (“Al Mahasin Anifsaniyyah” karangan Muhamad Al Asfur Addarrozi hal. 145).
Sementara itu kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa sebab mereka disebut Rofidhoh adalah karena mereka menolak Zaid bin Ali dan keluar dari tentaranya setelah sebelumnya mereka adalah tentara Zaid bin Ali saat beliau memberontak kepada Kholifah Hisyam bin Abdul Malik tahun 121 Hijriyyah setelah mereka mengumumkan permusuhan terhadap Abubakar dan Umar lalu dilarang oleh Zaid.
Abul Hasan Al Asy’ari berkata, ”Zaid bin Ali berpendapat bahwa Ali adalah sahabat yang paling utama dan berpendapat boleh memberontak kepada pemerintahan yang zolim serta mencintai Abubakar dan Umar. Setelah muncul orang yang memaki Abu Bakar dan Umar di kalangan tentaranya maka dia memarahi mereka. Lalu sebagian tentaranya menolak perkataan Zaid dan memisahkan diri dari kelompoknya lalu Zaid berkata, "Kalian telah menolakku (rofadhtumuunii)", maka dikatakan bahwa mereka disebut sebagai Rofidhoh karena perkataan zaid di atas” (“Maqolatul Islamiyiin” 1 atau 137).
Qowamussunah (Alhujjah fi bayanil mahajjah 2/478), Arrozi (I’tiqod Firoqul Muslimin wal Musyrikin halaman 52), Syihristani (Al Milal wannihal 1/155), Ibnu Taymiyyah (Minhajussunnah 1/8 Majmu’ Fatawa 13/36) juga berpendapat demikian.
Sementara itu Abul Hasan Al Asy’ari memiliki pendapat lain, yaitu mereka disebut Rofidhoh karena mereka menolak kepemimpinan Abubakar dan Umar – rodhiollohu ‘anhu - [Maqolatul Islamiyin 1/89].
Kaum Rofidhoh sangat tidak senang dengan sebutan ini dan berpendapat bahwa julukan ini (rofidhoh) adalah sebutan yang berasal dari musuh mereka. Muhsin Al Amin berkata “Rofidhoh adalah ejekan kepada mereka yang mengutamakan Ali bin Abi Tolib dalam khilafah dan kebanyakan digunakan untuk ejekan” (A’yanu Syi’ah 1/20).
Dan Syi’ah Itsna asy Asy’ariyah (12 Imam) yang sekarang berkuasa di Iran, tentulah biasanya termasuk Rofidhoh ini.
Satu hal yang mengherankan, apakah Sunni tidak harus dan patut mencintai Ahlul Bait sedangkan ini bagian dari akidah Sunni? Mengapa sampai dikesankan demikian? Padahal jumlah hadits dari kaum Ahlul Bait dalam kitab-kitab Sunni amat-sangat lebih banyak daripada di kitab-kitab Syi’ah?
Dan ini pun dengan kualitas hadits yang terjaga verifikasinya? Berbeda dengan yang ada di kitab-kitab Syi’ah? Dan hadits-hadits itu pun dijalankan oleh Sunni.
Mengapa Syi’ah berusaha menonjolkan klaim mereka akan ’kecintaan kepada Ahlul Bait’ ini sebagai ciri khas mereka, padahal Keduabelas Imam mereka tidak berusaha membenci dan menyebarluaskan kebencian terhadap Sahabat Nabi, yang sebenarnya juga adalah Ahlul Bait, dan mereka pun saling berkerabatan?
Padahal mereka saling berbesan? Saling bermenantu? Saling bermertua?
Dan ini termasuk Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam yang mulia sendiri, yang demikian?
Maka sungguh, kaum Syi’ah, berlindung di balik klaim kecintaan terhadap Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam
dan kaum Ahlul Bait, namun justru sebenarnya memfitnahi mereka, menjerumuskan mereka, dengan halus, namun sebenarnya amat keji. Kejam.
BERSAMBUNG KE BAGIAN KEEMPAT.