Cari Blog Ini

Minggu, 26 Januari 2014

TENTANG SYI'AH - BAGIAN II

Pada Abad pertama Islam, ajaran Syi’ah masih terbatas pada pengutamaan Kholifah Keempat Ali - rodhiollohu ‘anhu - terhadap Kholifah Keempat Utsman (dinyatakan oleh Imam Sya’bi dan Ja’far Ash Shadiq) rodhiollohu ’anhu. Lama kelamaan ini berkembang menjadi madzhab tersendiri bahkan gerakan makar yang tak mau mengakui keKholifahan Kholifah Pertama Abu Bakar As Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, Kholifah Kedua Umar bin Khoththob - rodhiollohu ‘anhu -, dan Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, bahkan mengkafirkan ribuan sahabat Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam lain.

Termasuk karenanya menjadi bahkan tak mempercayai Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka, yang kemudian tentunya termasuk tak mempercayai bahkan mengkafirkan muslim pengikutnya (yang kemudian jamak disebut sebagai kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Sunni atau Al Ghuroba’ atau Ath Thoifatul Manshuroh atau Al Firqotun Najiyah dan sebagainya itu).

Syi’ah karenanya lebih mempercayai Hadits dan ajaran yang dibawa oleh imam mereka sendiri, yang sayangnya ternyata banyak yang tak melalui verifikasi Hadist yang ketat. Dan karenanya, terutama kaum atau sekte ekstrem dari Syi’ah juga menganggap Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai golongan Nawashib atau golongan yang membenci Ahlul Bait, satu hal yang tentu saja sangat tak masuk akal dituduhkan kepada kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, setidaknya karena jelas kaum ini menuruti Hadits, dan salah satu Hadits menyuruh muslim untuk mencintai kaum Ahlul Bait atau keturunan dari Rosulullah shollollohu ‘alaihi wasallam.

Jadi kemudian Syi’ah berlindung kepada kecintaan – berlebihan – terhadap golongan Ahlul Bait, dan pengikutnya. Dan sudah pula disampaikan di atas, namun, tak semua Ahlul Bait mau menjadi Syi’ah versi mereka ini, yang kemudian ritual ibadah dan akidahnya menjadi aneh dalam pandangan Sunni berdasarkan Al Quran dan Al Hadits.  

Perlu diketahui kemudian, bahwa sekte dalam Syi’ah ada banyak pula. Dan sekte yang paling moderat dari Syi’ah, masih mau bergaul dengan Sunni, bahkan beribadah bersama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni), dan tak mengkafirkan Sunni.

Namun bagi kaum Syi’ah tertentu, harta dan darah kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah halal bagi kaum Syi’ah. Dan bahkan di akhir jaman, mereka percaya bahwa Imam Mahdi Syi’ah akan tinggal di Bumi selama 70 tahun untuk membalas dendam, menegakkan hukum keluarga Dawud (hukum Bani Israil), akan menyeru ke Allah dengan nama Ibraninya (Kitab ”Ushul Al Kafi”Jilid I, halaman 398), menghancurkan semua Masjid (Kitab ”Al Gharib” halaman 247 oleh Ath-Thusy), berdamai dengan Yahudi dan Nasrani, dan menghalalkan darah muslim (Kitab ”Bihar al-Anwar” Jilid 52 halaman 376).

Sebagai catatan, sebagian (kecil) dari kaum Syi’ah, ada yang tak mau menerima kitab ”Al Kafi” ini.

Apapun juga, mengenai sejarah munculnya Syi’ah, dalam sejarah dengan proses verifikasi yang ketat, dicatat bahwa sepeninggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, pemimpin atau Khulofahur Rosyidin (Kholifah yang diberi petunjuk) sebagai Kholifah penggantinya, adalah (I) Abu Bakar Ash-Shiddiq (Attiq bin Usman) - rodhiollohu ‘anhu - (dengan gelar Kholifatur Rosul atau Pengganti Rosul), (II) Umar bin Khottob - rodhiollohu ‘anhu -, (III) Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, dan (IV) Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -. Pemerintahan para Khulafahur Rosyidin, dipusatkan di Madinah al Munawaroh. Cerita sejarah ini ditulis dengan bagus di kitab ’Al Bidayah wan Nihayah” tulisan Ibnu Katsir dan ringkasannya adalah sebagaimana berikut.

Maka dipilih oleh umat, secara aklamasi, dan dicatat pula bahwa dalam masa pemerintahannya, Kholifah Abu Bakar - rodhiollohu ‘anhu – yang adalah mertua Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, hingga akhir hayatnya dan dalam pemerintahannya yang cukup singkat, terutama disibukkan memerangi kabilah-kabilah muslim yang murtad, mereka yang tak mau membayar zakat, munculnya para pengaku sebagai nabi baru walau belum lama ditinggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, lalu pembukuan Al Quran, dan administrasi umum umat, sepeninggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam. Beliau meninggal dunia setelah sekitar 2,5 tahun menjabat.

Beliau digantikan Kholifah Umar bin Khothtob - rodhiollohu ‘anhu -, atas dasar wasiat dari Kholifah Abu Bakar ash Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, yang juga adalah mertua Rosululloh sholollohu ’alaihi wasalla, dengan disetujui Umat pula. Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ’anhu, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, menolak untuk menjadi Kholifah, saat itu.

Pemerintahan Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - setelahnya, terutama disibukkan dalam urusan mengatur dan melembagakan dasar-dasar hukum bernegara serta perluasan syi’ar Islam dan wilayah muslim termasuk mengalahkan Romawi dan mendapatkan Persia serta Daarussalaam atau Yerusalem. Dengan sendirinya, Persia, yang saat itu mayoritas rakyatnya adalah penyembah api dalam agama Zarathustra (Zoroaster), serta ada pengaruh aneka Filsafat dan Mitos lain juga paham Yahudi, suka atau tidak suka, menjadi wilayah Islam. 

Beliau dibunuh oleh seorang budak, tawanan perang Persia yang menyaru masuk Islam, Abu Lu’lu’ah Fairuz al Majusi, saat sedang memipin sholat Subuh berjama’ah di Madinah. Abu Lu’lu’ah – laknatulloh (semoga Allah melaknatnya) - menikam berkali-kali Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - dari belakang, dengan belati beracun, dan kemudian juga menikami, melukai, juga membunuh banyak jama’ah lain, sebelum akhirnya membunuh dirinya sendiri.

Disebutkan Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - masih sempat menarik Abdurrohman bin Auf - rodhiollohu ‘anhu - untuk menggantikan dirinya memimpin sholat Subuh, dan setelah sampai rumahnya, sholat Subuh sendirian, dalam keadaan terluka, dan meninggal tiga hari kemudian. Kuburan Abu Lu’lu masih ada hingga kini di Iran, dan juga ada diziarahi kaum Syi’ah. 

Tugas Kholifah Umar - rodhiollohu ‘anhu - kemudian lebih-kurang dilanjutkan Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - yang adalah menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam sebanyak dua kali (karena istri pertamanya yang adalah anak Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam meninggal dunia dan istri keduanya yang dinikahinya setelahnya juga adalah anak Rosululloh solollohu ’alaihi wasallam), semakin merapikan ketatanegaraan. Di masa beliau pulalah sudah dikenal kompilasi Al Quran yang sudah melalui verifikasi sangat ketat, termasuk dicocokkan dengan standar hapalan ribuan Sahabat.

Sebagai catatan, penulisan Al Quran ini sudah dimulai sejak jaman Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang memang memiliki para Sekretaris penulis, dan verifikasinya diawasi langsung oleh Malaikat Jibril ’Alaihissalaam, namun finalisasinya kira-kira di masa antara Kholifah Umar dan Utsman, rodhiollohu ‘anhum. Jadi bukan dimulai di masa Utsman rodhiollohu ’anhu.

Para kaum Muslimiin generasi Salafus Sholih ini, mau membukukan Al Quran, yang selesai di masa Utsman, rodhiollohu ‘anhu karena sudah jelas bahwa dengan wafatnya Rosulloh shollollohu ‘alaihi wasallam, firman-ayat Al Quran tak akan turun lagi dan bahwa susunannya sudah paripurna seperti yang diajarkan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam.

Namun Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh oleh kaum yang menuduhnya melakukan Nepotisme tak adil dalam mengangkat para Pejabat, yang terutama dari kalangan kabilahnya sendiri, demikian tudingan kaum itu.

Ini suatu hal yang sebenarnya sudah terbantahkan dengan sendirinya, karena keputusan beliau biasanya sudah melalui rapat dengan Dewan Syuraa’ dan sudah melalui tahapan verifikasi bertahap dan juga berdasarkan penilaian berkelanjutan (ini semua dicatat di kitab Al Bidayah wal Nihayah tulisan Ibnu Katsir).

Kaum itu datang dari Fustat (Mesir) dan mengepung rumah Kholifah Ustman - rodhiollohu ‘anhu - dan membunuhnya, kemudian menyusup, berlindung ke umat dan termasuk menjadi pendukung Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -. Kaum ini adalah bentuk pertama dari Kaum yang kemudian dikenal luas sebagai kaum Khawarij, golongan ekstrem dalam Islam yang mudah mengkafirkan orang atau golongan yang dianggap berdosa oleh mereka, yang benihnya sebenarnya telah ada di jaman Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dimulai oleh Dzul Khuwaishirah.

Umat kemudian melantik Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ’ahu, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, menjadi Kholifah Keempat. Dan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang sudah diminta menjadi Kholifah sejak lama, akhirnya tak kuasa menolak.

Dan mengawali masa kekholifahannya dengan adanya kejadian pembunuhan terhadap Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - justru oleh sesama Muslimiin (kaum Khawarij) yang menggemparkan umat ini, Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - praktis berada dalam posisi sulit saat itu.

Walaupun sebagai orang beriman ia tentunya tidak dapat memaafkan pembunuhan terhadap Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu, namun para pendukungnya (yang termasuk juga yang sudah disusupi Khawarij) juga bersikeras bahwa Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu memanglah pantas dibunuh, kafir, setidaknya karena tidak memerintah dengan baik dan tidak sesuai dengan cita-cita luhur Islam, walau itu semua ternyata di kemudian hari terbukti adalah juga hasil dari kebohongan fitnah.

Sementara itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan rodhiyallahu ’anhu menuntut haknya untuk menuntut balas kematian saudara satu kabilahnya, Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - itu. Sebagai pimpinan Kabilah Bani Umayyah, sesuai tradisi Arab tradisional, tentu adalah tugas Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - untuk menuntut balas kematian Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - yang adalah termasuk kerabatnya.

Dan apapun pula, itu adalah pembunuhan besar, justru oleh kaum Muslimiin sendiri. Dan tuntutan ini, semakin lama, semakin mendapatkan dukungan sebagian dari sebagian umat juga.

Peristiwa perang saudara yang kemudian mengikuti rangkaian perselisihan ini selama sekitar lima tahun sesudah terbunuhnya Kholifah Ketiga Usman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - kemudian dikenal sebagai periode Fitnah (cobaan atau ujian atau bencana) Pertama dalam Sejarah Islam. Saat Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh, istri-istri nabi, para Umahatul Mu’minin (para ibunda orang-orang beriman) berangkat menunaikan haji pada tahun ke tiga puluh lima (35) hijriyah ke Makkah dari Madinah. Ketika sampai ke telinga orang banyak berita terbunuhnya Utsman rodhiollohu ‘anhu, yaitu ketika mereka hendak pulang dari haji, mereka kembali lagi ke Makkah dan menetap di sana. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh umat.

Ini setelah dibai'atnya Ali - rodhiollohu ‘anhu - dan orang-orang yang paling berpengaruh di sekitar beliau -yaitu karena desakan kondisi dan dominasi mereka bukan atas keinginan beliau pribadi – yang juga adalah para pemimpin-pemimpin Khawarij yang telah membunuh Utsman bin Affan rodhiollohu a’nhu.

Padahal Ali - rodhiollohu ‘anhu - sebenarnya tentu saja, sangat membenci mereka. Akan tetapi in syaa Allah demi pertimbangan strategis, maka beliau menunggu ketenangan umat, menunggu kehancuran mereka dan sangat ingin kalaulah berhasil menguasai mereka, beliau akan mengambil hak Allah dari mereka. Namun karena kondisinya seperti itu, justru mereka yang menguasai beliau dan bahkan mereka menghalangi para sahabat yang lainnya dari beliau, maka larilah sekelompok Bani Umayyah dan yang lainnya ke Makkah dari Madinah.

Setelah sedikit jeda waktu, ’Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq - rodhiyallahu ‘anha – kemudian mengajak orang-orang agar menuntut balas atas tertumpahnya darah Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu -, dan jumlah mereka menjadi sekitar tiga ribu orang. ’Aisyah rodhiyallahu ’anha yang adalah janda Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan juga anak Kholifah Abu Bakar Ash Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, bersama-sama kerabatnya yang juga adalah para sahabat Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam, Thalhah - rodhiollohu ‘anhu - dan Zubair - rodhiollohu ‘anhu -, berangkat untuk mendamaikan potensi peperangan antara Kholifah Ali dan Mu’awiyah.

Ummul Mu’minin (ibunda kaum beriman atau istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam) ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berada dalam haudaj (sekedup) unta yang bernama 'Askar yang dibeli oleh Ya'la bin Umayyah. Kedua belah pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan persoalan dengan baik. Namun malam harinya, mereka diserang oleh gerombolan penyusup pengadu-domba Khawarij pimpinan Yahudi ’Abdullah bin Saba’. Maka terjadilah peperangan yang kacau. Mereka diserang oleh gerombolan yang menamakan dirinya Syi’ah (pengikut) Ali, padahal adalah pengadu-domba pimpinan Yahudi ’Abdullah bin Saba’. Perang ini, kemudian lazim disebut sebagai Perang Unta (Harbul Jamal) karena ’Aisyah rodhiyallahu ’anha yang turut melakukan perjalanan dengan pasukannya itu menyaksikan pertempuran ini dari punggung untanya.

Saat Kholifah Ali rodhiollohu ’anhu mengetahui ini dan akhirnya datang ke sana, kedua sahabat besar Rosululloh shalollohu ’alaihi wasallam yang dijamin masuk surga itu telah terbunuh. Dicatat bahwa Ali sangat sedih meratap karenanya.

Salah satu ummahatul mu’minin (para ibunda kaum beriman atau para istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), ‘Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq rodhiyallahu ’anha itu pun tetap dimuliakan dan diantarkan ke Madinah, yang ternyata ini membuat kaum Khawarij marah atas kebijaksanaan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ’anhu karena seharusnya tawanan pun harus ditawan.

Kaum Khawarij ini kemudian dibantah serta diinsyafkan tiga perempat darinya oleh juru perunding Sahabat ‘Abdullah bin Abbas - rodhiyallahu ’anhu - kemudian, dengan menggunakan dalil-dalil  ayat-ayat Al Quran dan Hadits terutama mengenai keutamaan salah satu dari Ummahatul Mu’miniin, para ibunda kaum beriman, ‘Aisyah - rodhiyallahu ’anha - tersebut.    

Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang diduga oleh ahli sejarah secara manusiawi tak sedang dapat berpaling dari para pendukungnya dan harus menghadapi perpecahan umat, kemudian keluar dari Madinah ke Kufah dan menjadikannya sebagai ibukota pemerintahannya.

Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -, terutama didukung oleh antara lain golongan Anshar Madinah, orang-orang yang menolak kebangkitan Umayyah yang dipandang mempunyai reputasi buruk oleh mereka, dan oleh para Muslim tradisional yang masih menjalani kehidupan tradisional nomaden terutama mereka yang berada di Iraq tempat kota garnisun Kufah.

Dan periode perang saudara antar Muslimiin pun telah dimulai. Peristiwa perang saudara yang kemudian mengikuti rangkaian perselisihan ini selama lima tahun sesudah terbunuhnya Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - kemudian dikenal sebagai periode Fitnah (cobaan) Pertama dalam Sejarah Islam.

Hadits riwayat Usamah - rodhiollohu ’anhu -: Bahwa Nabi - shollollohu ‘alaihi wasallam - menaiki salah satu bangunan tinggi di Madinah, kemudian beliau bersabda: Apakah kalian melihat apa yang aku lihat? Sesungguhnya aku melihat tempat-tempat terjadinya fitnah di antara rumah-rumahmu bagaikan tempat turunnya air hujan. (Shahih Muslim No.5135)

Arti dari ”fitnah” dalam Bahasa Arab, adalah ”Ujian” namun juga dapat saja ujian itu berbentuk ”kebohongan” sebagaimana yang dipahami dalam Bahasa Indonesia.

Umatku ini dirahmati Allah dan tidak akan disiksa di akhirat, tetapi siksaan terhadap mereka di dunia berupa fitnah-fitnah, gempa bumi, peperangan dan musibah-musibah. (HR. Abu Dawud)

Hadits  riwayat Abu Hurairah - rodhiollohu ’anhu -, ia berkata: Bahwa Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - bersabda: Akan terjadi fitnah di mana orang yang duduk (menghindar dari fitnah itu) lebih baik daripada yang berdiri dan orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari (yang terlibat dalam fitnah). Orang yang mendekatinya akan dibinasakan. Barang siapa yang mendapatkan tempat berlindung darinya, hendaklah ia berlindung. (Shahih Muslim No.5136)

Pemerintahan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - juga tidak cukup diterima di Syam (Syria) yang berada dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - yang berkuasa di Damaskus, dan gelombang ketidakpuasan, perlawanan terhadap Kholifah Ali pun meningkat cepat di sana. Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - sendiri semakin memperoleh dukungan simpatisan, dan pendukungnya disebut Syi’ah Mu’awiyyah (artinya sekutu atau orang-orang yang bersimpati pada), walaupun di lain pihak masih banyak pula kaum Muslim yang bersikap netral terhadap kesemua pihak yang sedang bertentangan ini.

Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - didukung oleh kabilah-kabilah kaya Makkah dan Arab Syam (Syria) yang menghargai atmosfer pemerintahannya yang kuat dan bijaksana, dan dengan dukungan kuat ini, seusai perundingan arbitrase di Shiffin di dataran tinggi Eufrat pada tahun 657 Masehi yang menghasilkan keputusan yang banyak menentang kekholifahan Ali, Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - pun menggantikan kekuasaan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -.

Sebagian pendukung radikal-fanatik Kholifah Ali rodhiollohu ‘anhu  – yang masih menyisakan kaum Khawarij di dalamnya - sungguh terguncang dengan mundurnya Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - dari hak kekholifahannya, dan mereka menolak hasil Arbitrase itu.

Dalam pandangan mereka, Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - telah gagal hidup dalam standar Al Quran, karenanya pantas dibunuh, dan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - pun telah memberikan kelonggaran kepada para pendukung ketidakadilan dengan gagalnya ia membenarkan kesalahan yang dilakukan Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu -. Menurut pendapat mereka, ini tentunya bukanlah sikap seorang Muslim yang sejati.
Kaum ini kemudian keluar dari kelompok besar ummat yang dipimpin Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang mereka anggap mengkhianati semangat Al Quran dan mereka mendirikan perkampungan sendiri dengan pemimpin sendiri pula, dan dalam khazanah Islam kemudian mereka ’resmi’ dikenal sebagai kaum Khawarij.

Kaum Khawarij ini bersikeras bahwa pemimpin masyarakat Islam seharusnya bukanlah yang terkuat tetapi adalah seorang Muslim yang paling taat beragama. Pembunuh Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu – yang mereka anggap kafir - adalah dari golongan ini. Dan karenanya pula menurut mereka, seorang Kholifah seharusnya bukanlah seorang ’pencari kekuasaan’ seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu -.

Sehubungan dengan gerakan separatis ini, Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - kemudian bertindak menindas kaum yang dianggap sebagai ekstremis ini, dan mau tak mau tindakan ini kemudian menyebabkan hilangnya pula dukungan luas kepadanya, bahkan juga di Kufah, kota yang tadinya sangat banyak terdapat pendukung tradisionalnya.

Sementara itu, masih banyak pula kaum Muslim yang bersikap netral terhadap kesemua pihak yang sedang bertentangan ini. Kiranya Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - bermaksud menangani ini dengan hati-hati, termasuk dengan memerangi kaum Khawarij dan kaum ekstrem lainnya, bahkan pendukungnya sendiri, Syi’ah Ali, secara bertahap, dan tercapailah masa tenggang ketegangan ini dengan arbitrase gencatan senjata antara pihak yang bertikai.

Perundingan arbitrase kedua yang mencoba mencari kandidat lain untuk kekholifahan (atau dengan kata lain, untuk Daulah), mengalami kegagalan titik temu, dan dominasi Mu’awiyah mampu mengalahkan pengaruh Kholifah Ali. Mu’awiyah pun lalu diangkat pendukungnya sebagai Kholifah di Daarussalaam (Yerusalem).

Akhirnya pada tahun 661 Masehi, Kholifah Keempat dari Khulafahur Rosyidin (Kholifah Yang Diberi Petunjuk, atau empat Kalifah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, seorang sahabat, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam; dibunuh oleh al-Fasiq Ibnu Muljam, dari kaum Khawarij.

Sebagian umat yang tetap setia kepada Ali yang menyebut dirinya sebagai kaum Syi’ah Ali (pendukung Ali), kemudian mengangkat anak pertamanya, Hasan bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, sebagai Kholifah penerus.

Namun, Hasan bin Ali bin Abi Tholib kemudian membuat kebijakan untuk berdamai dengan Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - dengan sejumlah syarat penting yang diajukannya yang mengutamakan kemaslahatan kedamaian umat setelah puluhan-ratusan ribu dari dua golongan Muslim (antara pendukung Hasan dan pendukung Mu’awiyah) telah berhadap-hadapan untuk siap berberperang tumpas tuntas (antara lain disebutkan panjang-lebar di Kitab ”Al Bidayah wan Nihayah” Jilid VII hal 245 tulisan Ibnu Katsir). Ini adalah sebuah langkah luar-biasa. Demi kemaslahatan umat.

Dan beliau pun, Al Hasan, memilih mundur dari perseteruan tentang pemfitnahan dan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan rodhiyallahu ’anhu dan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - itu, yang berujung menjadi perebutan kekuasaan ini, untuk kemudian tinggal di Madinah tanpa terlibat gerakan politik apapun, sampai wafatnya pada tahun 669 Masehi.

Kiranya sangat penting untuk dicatat bahwa pendamaian umat oleh cucunya ini, yakni Hasan bin Ali bin Abi Tholib, bahkan telah diramalkan oleh Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam sendiri. Dalam kitab ash-Shahih telah diriwayatkan dari Abu Bakrah, demikian pula diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Abdillah bahwa Rosululloh sholalallahu ’alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid, kelak Allah subhanahu wa ta’aala akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimiin melalui dirinya."  

Maka, Al Hasan - rodhiollohu ‘anhu -, cucu Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - pun dicatat oleh sejarah, turun jabatan, dan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu'awiyah rodhiollohu ‘anhu. Terjadilah, apa yang dikatakan oleh Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dalam Haditsnya ini, dan Rosulullah  - shollollohu ‘alaihi wasallam - adalah Utusan Allah, manusia yang benar, dan dikenal jujur bahkan sebelum beliau menjadi Nabi.

Allahu akbar!

Maka secara praktis, kekuasaan Kekholifahan saat itu dipegang oleh Mu’awiyah rodhiollohu ‘anhu. Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - kemudian memindahkan pusat Kekholifahannya ke Damaskus, Syria. Dinastinya disebut sebagai Dinasti Umayyah.

Terus demikian, dengan pemerintahan yang cukup baik dinilai banyak kalangan, sempat hampir ditandingi oleh Dinasti Marwan, namun baru terdesak oleh kekuatan baru beberapa Abad kemudian oleh Dinasti Abbasiyah dari garis paman Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, Al Abbas - rodhiollohu ‘anhu - (yang juga diakui sebagai Ahlul Bait berdasarkan Hadits), dan Dinasti Umayyah ini berpindah ke Spanyol hingga masa akhir pemerintahan mereka yang diakhiri oleh serbuan Kristen Katolik Spanyol dan Eropa dalam proses Masa Inkuisisi Eropa.

Dinasti Abbasiyah sendiri mendirikan pusat pemerintahan di Baghdad, dan antara lain Kholifah yang terkenal darinya adalah Kholifah Harun al Rasyid sampai hancur beberapa Abad kemudian, menjelang masa akhir Abad Petengahan atau menjelang  masa Renaissance, oleh serbuan Mongol yang dibantu Syi’ah.

Sebagai catatan, bangsa Mongol itu kemudian masuk Islam, dan kembali ke daerah mereka di Asia Tengah, bercampur dengan berbagi bangsa, dan melahirkan wilayah-wilayah kedaulatan seperti India yang sempat diperintah Dinasti Mogul Islam (dan kini berpecah menjadi Pakistan yang Islam dan India yang Hindu), juga wilayah-wilayah lain yang masih ada hingga kini seperti Kazakshtan, Azerbaijan, Uzbekistan, Tarjikistan, Chechnya, dan lain-lain. 

Dan dengan menelaah sejarah, dinamika peristiwa kejayaan dan juga kemunduran dunia Islam yang silih berganti kiranya dapat mulai lebih jelas ditengarai (di antara berbagai sebab lain yang mungkin), katakanlah sejak pada waktu adanya bibit perpecahan di antara pertama, mereka yang kemudian menamakan dirinya golongan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah (lazim disebut Sunni) dengan golongan Islam yang kedua, yakni golongan Syi’ah Ali (lazim disebut Syi’ah), sesudah masa pemerintahan Khulafahur Rosyidin.

Dan apa yang kemudian disebut sebagai masa perang saudara periode Fitnah Kedua, dimulai saat di Kufah sewaktu umat yang setia kepada Kholifah Keempat dari Khulafahur Rosyidin, Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - (Syi’ah Ali) yang sebagian besar tinggal di Kufah, mendukung anak kedua Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -, yakni Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, untuk menjadi kholifah pengganti Ali (dan dengan sendirinya juga untuk menggantikan Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - serta Hasan bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -). Mereka, mengirimkan banyak surat dukungan kepada Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - untuk menjadi kholifah pengganti.

Dan akhirnya Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan rombongannya keluar dari Madinah ke Kufah untuk bersatu dengan para pendukungnya itu. Namun saat itu, kaum yang mengklaim sebagai Syi’ah (pendukung) Husain - rodhiollohu ‘anhu - penduduk Kufah yang telah diintimidasi oleh gubernur setempat dari Bani Umayyah menarik dukungannya dari Husain, dan tak muncul di Karbala mendukung Husain - rodhiollohu ‘anhu -.
Padahal Husain - rodhiollohu ‘anhu - bergerak ke Kufah, karena diberitahu akan adanya dukungan terhadapnya. Namun dukungan dari kaum yang menyebut dirinya sebagai Syi’ah itu, pendukungnya, tidak pernah muncul, di Karbala.

Tinggallah Husain - rodhiollohu ‘anhu - dan sedikit pendukung serta keluarganya berhadapan dengan pasukan besar suruhan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Yazid I), anak Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang dipersiapkan Mu’awiyah menjadi Kholifah penggantinya yang memintanya untuk kembali ke Madinah serta mendukung Yazid. Husain - rodhiollohu ‘anhu - menolak untuk mundur menyerah serta meyakinkan masyarakatnya akan teladan keluarga Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - pada perjalanan mencari nilai-nilai Islam sjati, dan terus mengingatkan umat akan tugas utama mereka.

Al Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu – kemudian meninggal dibantai bersama para pengikutnya, dan di antara sebabnya kiranya adalah justru karena tak menemukan bantuan yang dijanjikan kaum Syi’ah sendiri yang berjanji berbaiat kepadanya di Iraq yang konon mencapai ratusan ribu orang namun tak menjumpainya di Karbala, yang akhirnya menjadi tempat pembantaian Husain dan pengikutnya (termasuk juga yang syahid adalah anak-anak Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - lainnya yang di antaranya bernama Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengikuti nama-nama para sahabatnya dan sahabat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - itu). Disebutkan pula bahwa Husain bin Ali bin Abi Tholib, - rodhiollohu ‘anhu -, cucu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, meninggal paling akhir sambil menggendong bayi laki-lakinya.

Saya sedang memangku (Imam) Husain (bin Ali bin Abi Tholib) ketika Nabi – shololollohu ‘alaihi wasallam - datang dan memandangnya sambil menitikkan air mata. Saya bertanya kepada beliau mengapa menangis. Rasululloh – shololollohu ‘alaihi wasallam - mengungkapkan bahwa Jibril telah memberitahunya bahwa para pengikutnya akan membunuh cucunya, Husain – rodhiollohu ‘anhu -. (Baihaqi meriwayat dari Ummu al-Fadhl). 

Maka sebagian kalangan kemudian berasumsi menyebutnya sebagai pembunuhan terencana oleh Kholifah Yazid bin Mu’awiyah. Namun sebagian lainnya, yang lebih besar dan lebih didasarkan kepada sumber pustakan yang lebih terjaga meyakininya sebagai kesalahpahaman dan ketakjelasan tafsir perintah Kholifah Yazid bin Mu’awiyah terhadap panglimanya dan juga dikisahkan Yazid sangat menyesal dan kemudian bertobat atas ini,  karenanya.
Selain dicatat oleh sumber pustaka Ahlus Sunnah wal Jama’ah (misalnya oleh Ibnu Katsir di Al Bidayah wan Nihayah).

Ini dicatat bahkan oleh sumber Syi’ah, antara lain ini dapat ditemukan di ’Alaa Khutha Husain hal 94, Faaji’atu ath Thaff hal 6, Muntaha al Amaal (1 atau 430), Asy Syii’ah wa Asyuura; hal 67 oleh Ridha Husein Shubh Al Huseini, Siiratul Amimmati al Itsna’asyar 2 atau 57-58, Maqtal Husain oleh Al Muqarram hal 147, Ma’saatu Ihda wa Sittiin hal 24, Muntaha al Amaal 1 atau 437, Tadhallum Az Zahra hal 149, Bahru al’Ulum hal 191-192, Muntaha al Amaal 1 atau 466, An Nafsu al Mahmuum hal 177, Muntahaa al Amaal (1 atau 462), Majlisi di Bihaarul Anwar (44 atau 374), Muhsin al Amin dalam Lawaij al AsyHaan hal 67, Abdul Husein al Musawi dalam Al Majaalisal Faakhirah hal 85, Abdul Hadi ash Shalih dalam Khoirul Ashaab hal 37 dan hal 10, ’Ala Khutha Husain hal 130-131.

Sepeninggal Kholifah Ali bin Abi Tholib dan anaknya Hasan serta Husain rodhiollohu ‘anhum, setelah Masa Fitnah Kedua, di kemudian hari, kaum Syi’ah membentuk komunitas sendiri dan mengangkat Imam mereka sendiri. Syi’ah sendiri menjadi populer di kemudian hari di Iran dan Iraq.

Bahkan sebagian dari Syi’ah yang radikal dan ekstrim juga kemudian menimpakan tanggungjawab segala carut-marut kekacauan dunia Muslim dan bahkan kekacauan dunia, kepada ketiga Kholifah pertama Khulafahur Rosyidin yakni Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khottob, dan Utsman bin Affan, dan tak pelak juga mencaci-makinya alias tasyayyu’. Kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau yang lazim disebut sebagai Sunni, pada prinsipnya secara umum tentu sangat tidak menyetujui hal-hal ini.

Paling tidak ada dua pendapat dan golongan besar pula mengenai penyebab utama kekacauan antara Syi’ah dan Sunni ini:

Golongan pertama adalah mereka yang percaya bahwa sunguh ada Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang menyatakan bahwa Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - tidak menyatakan ada penggantinya yang beliau tunjuk secara khusus, dan golongan ini biasanya adalah golongan Sunni dan sebagian Ahlul Bait yang mendukung apa yang dapat disamakan sebagai paham demokrasi dan egaliterianisme, atau persamaan akan hak dan kewajiban dan musyawarah.

Golongan kedua, adalah mereka yang percaya bahwa sungguh ada Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang menyatakan bahwa Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - menunjuk dengan jelas penggantinya berasal dari golongan ahlul bait (keluarga atau keturunan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), dan penggantinya tersebut dengan sendirinya adalah Ali bin Abi Tholib, sebagai yang terdekat berdasarkan garis keturunan saat itu sepeninggal Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dan golongan kedua ini biasanya tergolongkan dalam golongan Syi’ah dan sebagian Ahlul Bait.

Hadits yang dimaksud itu adalah:

Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - (HR. Muslim) 


Mengenai Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang dimaksudkan keduanya ini, kedua golongan ini juga umumnya sangat berbeda pendapat mengenai redaksi kalimat lengkapnya (entah siapa sebenarnya yang menyebarkan fitnah kebohongan ini). Kaum Syi’ah mempercayai bahwa dalam Hadits tersebut jelas ada kalimat yang menunjuk kepada Ahlul Bait (keluarga atau keturunan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), Ali lah sebagai keluarga terdekat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - yang pantas memimpin, sebagai pemimpin pengganti Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, dan ada yang berpendapat bahkan jelas disebutkan dalam Hadits tersebut.
Kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Sunni, secara umum tidak menemukannya dan karenanya juga tidak mengakui Hadits ini, lagipula menurut mereka, Rosululloh sholollohu‘alaihi wa salaam jelas tidak dikaruniai keturunan anak laki-laki yang hidup cukup lama untuk menjadi dewasa dan memimpin, sehingga azas kaidah pernasaban menjadi tidak kuat lagi dipakai untuk dijadikan landasan suksesi kepemimpinan, selain alasan makna Islam sebagai agama untuk seluruh umat manusia atau prinsip rahmatan lil ’alaamiin, sehingga siapapun berhak menjadi Kholifah, asalkan dipandang mampu.

Ada pula perbedaan tafsir mengenai peristiwa di Ghadir Khumm mengenai pengangkatan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -  sebagai Kholifah atau tidak, mengenai keutamaan Ali - rodhiyallahu ’anhu - terhadap yang lain, mengenai warisan Rosulullah  - shollollohu ‘alaihi wasallam - mengenai Tanah Fadak dan sikap Fathimah binti Muhammad terhadapnya, mengenai peristiwa pengangkatan Abu Bakar ash-Shiddiq rodhiyallahu ’anhu sebagai Kholiah pertama, mengenai isu penyerangan terhadap Fathimah binti Muhammad, mengenai Perang Unta, dan lain sebagainya.

Beberapa hal ini, masih menjadi batu ganjalan yang relatif cukup besar dalam proses rekonsiliasi umat, bahkan hingga kini, walau sudah banyak bukti yang meluruskannya.

BERSAMBUNG KE BAGIAN KETIGA